Categories
Uncategorized

[Hello Stanger] Get Lost in Ujung Kulon (1)

Tiga hari di pulau tak berpenghuni, cukup membuat saya menghilang dari peradaban untuk sejenak. Rasanya ruar biasa.. hehee

Saat itu H+1 lebaran, jalanan Jakarta tidak sepadat ketika hari biasa. Tidak ada aktivitas orang kantoran yang lalu lalang memadati jalanan dan trotoar. Saya berangkat sendiri. Ini peetama kalinya saya pergi ke tempat yang belum pernah saya kunjungi bersama orang lain yang tak satu pun saya jumpai sebelumnya. Saya sangat bersemangat. Saya penasaran, orang-orang seperti apa yang akan saya temui.

Pertemuan kami di Dunkin Donuts Plaza Semanggi. Tiba disana, saya tidak bisa membedakan yang mana orang yang menunggu ‘teman’ lainnya untuk berangkat ke Ujung Kulon dan mana yang memang pengunjung Dunkin. Saya hanya menerka dari gaya pakaian ( siap liburan) dan tas bawaan mereka. Saya mendekati meja bundar di depan saya, ada dua orang dsitu sedang bercakap – cakap santai. Saya beranikan diri menyapa dan ternyata benar, mereka salah satu dari kami yang akan ke Ujung Kulon.

Dari perkenalan, mereka adalah Jaki dan Ike. Setelah bercakap-cakap khas orang yang baru kenalan, ternyata mereka jg baru kenal di meja bundar tadi. Dan mereka pun datang sendiri. Merasa senasib, kami akhirnya duduk bertiga di bus. Saling ngobrol kesana kemari. Tidak susah membuat suasana percakapan kami pecah. Cerita traveling memang selalu seru sebagai penghantar keakraban.

Bus kami akhirnya berangkat setelah perlengkapan dan kebutuhan makanan dimasukkan ke bagasi bus. Banyak banget ternyata, tentu saja karena akmi ternyata mencapai 50 orang. Yuhuuu…
Mba Evi sebagai dalang dari perjalanan ini. Kami sharecost jadi susah senang dirasakan rame-rame. Tapi sebenarnya sebagian besar andil diambil alih Mba Evi. Bus perlahan melaju di jalanan Jakarta dan meninggalkan kota. Kami menuju Ujung Kulon.

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) berada di wilayah Banten yang menjadi ujung barat Pulau Jawa. Untuk mencapai TNUK  cukup melakukan perjalanan darat selama 6 jam dari Jakarta. Agar waktu lebih efisien berangkatlah malam hari, sehingga kita bisa beristirahat di bus dan bangun-bangun udah nyampe di Dermaga Sumur. Disinilah titik awal perjalanan ini akan dipenuhi dengan naik kapal, naik kapal lagi.

Saya selalu meyakini bahwa indahnya melakukan perjalanan bergantung dengan siapa kita melakukannya dan bagaimana kita memaknainya. Beruntungnya saya, saya bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Yah, luar biasa unik. Orang asing yang kini menjadi teman perjalanan. Kami berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan dan gaya hidup. Namun, di Pulau tak berpenghuni ini, kami menyatu dalam canda tawa dan susah senang.

Berhubung kami mencapai 50 orang maka bus yang mengangkut kami menuju TNUK adalah bus besar. Sebenarnya siy tidak masalah, namun setelah melewati perjalanan ini dan melihat kontur jalan yang menanjak dan berkelok  semakin mendekati daerah Banten, menurut saya lebih cocok menggunakan mobil pribadi atau mobil elf. Karena kalau menggunakan bus besar, badan bus akan terbanting ke kiri dan ke kanan seolah oleng. Sempat juga bus yang kami tumpangi harus parkir sebentar di daerah Serang karena busnya mogok. Ughh.. mata udah hampir merem tp harus melek lagi karena semua pada turun dan kalaupun menunggu didalam bus keadaannya panaaass. Tengah malam di Serang, jalanan sudah sepi, dan kami harus menunggu pak supir dan asistennya memperbaiki mesin bus.

Perjalanan masih panjang. Setelah yakin bus sudah siap melaju, kami masuk kembali ke dalam bus. Mengambil posisi terbaik untuk tidur. Syukur saja kami aman sampai tujuan.

Sekitar jam 4 pagi kami tiba di Dermaga Sumur, belum ada aktivitas di daerah ini. Setelah menurunkan barang-barang dari bus kami berjalan menuju dermaga yang tidak terlalu jauh. Fyi, kami membawa perbekalan bahan makanan mentah dari Jakarta. Hal ini tentu saja untuk menghemat biaya perjalanan. Kalau dihitung-hitung biaya makan disana jauh lebih mahal dibanding kita bawa bahan makanan dan tinggal bayar upah masak untuk ibu-ibu yang jadi koki kita disana.

Dermaga ini ternyata gelap banget, ga ada lampu sama sekali. Permukaan laut saja tak terlihat, hanya deru ombak yang menghempas pantai, itu saja yang terdengar. Kami menyebar di sekitar dermaga untuk mencari posisi duduk sambil menanti mentari pagi datang. Kami akan berlayar sekitar pukul 7 pagi. Saya duduk di saung dekat dermaga bersama teman-teman. Berkenalan menjadi topik hangat untuk membunuh gelap menuju terang sang mentari datang.
Lampu senter kecil menjadi penerang saung itu. Rasa kantuk saya mulai hilang dengan pembicaraan hangat. Apalagi sarapan pagi datang pukul 4 pagi. Menyantap makanan yang terlihat seadanya ini rasanya nikmaaat banget. (Lapar apa doyan?!!) Hahahaa..

Pagi kini datang, wajah dermaga ini mulai terlihat, ada beberapa kapal kecil bersender di bibir dermaga. Tak jauh dari bibir pantai, banyak tambak yang bertebaran. Melihat hanya kapal-kapal kecil yang bersender, kami sontak berfikir kalau kami akan menyeberang ke pulau seberang menggunakan kapal kecil ini. Saya sempat tak habis pikir, apa bener!
Satu persatu kami naik ke kapal kecil. Karena kami banyak dan muatan kapal sedikit, jadi dibagi menjadi 3 kloter untuk dihantarkan ke kapal yang lebih besar. Kapal yang lebih besar tidak bisa bersender tepat di bibir pantai, kapal itu disenderkan di dekat tambak sekitar 100 meter dari bibir pantai.
Saya naik kloter 2. Kapal kecil melaju perlahan dan mulai meninggalkan Sumur. Sesampainya di kapal yang lebih besar, kami bergabung dengan kloter 1. Cukup lama kami menunggu kloter 3 nyampe di kapal besar. Kami cukup bersabar sambil menikmati laut yang tenang.
Sang mentari mulai menunjukkan kemegahannya. Semburat cahaya keemasan perlahan muncul dari Timur. Menikmati matahari terbit dari sini cukup memukau kami. Sungguh sunrise kali ini sempurna. Cuaca pagi ini dengan kehadiran mentari memang sangat mendukung perjalanan kami.

image
Kehangatan sunrise di dermaga Sumur

Tak lama berselang, kloter 3 muncul dengan wajah yang tak secerah sang surya pagi ini. Kenapa?
Mbak Evi mulai cerita sedikit akan insinden yang terjadi yang hampir merusak mood perjalanan ini. Eits, tapi itu jadi satu cerita dan pengalaman berharga jadinya.
Kloter 3 lama tiba di kapal karena harus beli solar dulu, lah?! Kenapa… setelah mba Evi konfirmasi ke pemilik kapal, ternyata pemilik kapal bilang kalau tidak akan semua destinasi yang telah disepakati sebelumnya akan kita datangi, solar ngga cukup! Loh loh… kita kan udah bayar penuuh, sedikit emosi kita membuncah. Namun bagaimana pun kita tak ingin berdebat panjang dan ngga ingin perjalanan ini rusak karna solar.. yah, akhirnya kita beli tambahan solar lagi agar semua destinasi yang ingin kita kunjungi dapat dijangkau.

Ah,sudahlah, nikmati saja sajian indah pagi ini. Sang surya yang tanpa malu malu memecah keheningan pagi ini.
Setelah semuanya tiba, kapal bersiap untuk lepas landas. Kami kadang terdiam dalam hening dan hanya menikmati suasana kapal. Mendengar ombak yang berderu dibelah kapal. Memandangi dermaga Sumur yang kian lama menjauh. Dan satu yang penting, kami akan hidup tanpa sinyal dan medsos selama 3 hari di ujung barat Pulau Jawa.Bisakahh? Lets do it. 😀 Yeeehaaa, Kini saatnya Get lost in Ujung Kuloooon.. !

Categories
Hiking

Pendakian Gunung Guntur 2.249 mdpl

< pendakian yang menegangkan, perosotan maut namun menantang, gunung kecil mnamun menggigit, para penakut, taklukkanlah ketakutanmu di gunung ini >

Jumat sore, ingat belum packing, saya buru-buru pulang ke kosan. Weekend itu saya tidak ingin berdiam diri di kota ini. Mumpung masih muda dan masih sehat, saya ingin pergi kemana saja saya bisa. Naik gunung guntur menjadi tujuanku saat itu. Saya bersama kak Dabe menemukan seorang teman yang bersedia menemani kami kesana. Namanya Chiong yang hobinya memang naik gunung. Maklum saja, saya belum pernah sekalipun ke gunung Guntur.

image
Kota Garut dari Puncak 1

Gunung Guntur merupakan aalah satu gunung di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Walaupun ketinggiannya hanya 2.249 mdpl, jangan pernah ambil enteng karena kita tak pernah tahu tantangan dibalik pesonanya.

Kami sepakat bertemu di terminal Kampung Rambutan. Terminal ini menjadi awal dari perjalanan kami. Terminal malam itu tampak sangat sibuk. Banyak banget yang membawa carrier lengkap dengan kostum seperti siap mendaki puncak puncak gunung. Entah mau kemana saja mereka, saya sibuk celingak celinguk mencari teman rombongan saya. Terminal remang-remang ditengah malam temaram, akhirnya saya menemukan teman-teman saya dipojokan sambil melambaikan tangan ke arah saya.

Kami masih menunggu, saat itu detik-detik perubahan harga bahan bakar. Menurut kabar yang beredar, tepat tengah malam bahan bakar akan naik, hal ini tentu berpengaruh dengan ongkos bus yang akan kami tumpangi. Jelas sekali, para supir bus menggunakan momen tersebut mencari keuntungan sebelum waktunya. Ongkos sudah mulai dinaikkan walaupun BBM baru akan naik tengah malam nanti.

Mereka bersikukuh menaikkan harga dengan alasan tersebut. Maka jadilah aksi tawar menawar antara kami dan supir bus. Hadeeuuhh, saya baru kali ini nih merasakan naik bus tapi mesti nego ongkos dulu sama si supir. Chiong masih belum sepakat dengan ongkos yang ditawarkan beberapa supir kepadanya.

Akhirnya kami masih berdiam di bangku-bangku yang disediakan di terminal. Sudah hampir jam 11 malam seorang supir akhirnya menawarkan harga ongkos lebih murah sedikit dibandingkan dengan harga supir-supir sebelumnya, yah walaupun tetap saja harganya masih tetap mahal hampir dua kali lipat dari harga sebelum BBM naik. Kami akhirnya pasrah dan naik bus. Saya pikir bus nya akan langsung berangkat, eh ternyata ngetem dulu sampai lamaaa..

Dari dalam bus, saya melihat para pembawa carrier lainnya masih berusaha nego ongkos kesana kemari, namun berakhir dengan naik bus yang saya tumpangi. Haha

Kebiasaan, saat sudah nempel di bangku bus, mata ini memang maunya langsung merem. Hadeuuh, susah banget rasanya melawan rasa kantuk, dan saya pun tepar tak berdaya. Sayup-sayup saya masih mendengar kak Dabe ngobrol dengan teman lainnya. Chiong duduk di bangku paling belakang sedangkan kami duduk di bangku paling depan dibelakang supir.

Chiong bilang, kita bakal berenti di pom bensin Tanjung dan jangan sampe kelewatan sampe terminal Garut, bangunin gw kalo udah sampe pom bensin. Kami pun mengangguk tanda mengerti.

Entah sudah berapa lama saya tidur, ketika bangun rupa-rupanya bus sudah berhenti di terminal Garut, dan kami satu bus yang ternyata mempunyai tujuan yang sama mau berhenti di terminal Tanjung, kompak ketiduran dan baru terbangun ketika supir teriak terminal-terminal, terakhir-terakhir.

Chiong menghampiri kami ke depan dan bilang, “kak kok ga bangunin gw, kita kelewatan dah” hahaa.. cuma bisa pasrah dan turun bus. Saat itu sekitar pukul setengah 3 subuh. Mataku masih setengah terpejam sambil turun dari bus. Terminal Garut tidak terlalu sepi. Tidak susah mencari angkutan yang bersedia menghantarkan kami walaupun tarifnya agak mahal.

Di terminal Tanjung ada semacam ruangan kosong yang biasa digunakan para pendaki menanti pagi. Ruangan gelap gulita tanpa lampu, ada rombongan lain disalah satu pojok ruangan. Kami juga mencari spot untuk meletakkan barang-barang dan merebahkan diri sejenak. Disini kami juga masih menunggu beberapa teman Chiong yang belum tiba.

Pagi hari, kami mulai berkemas, bersiap mengangkat carrier masing-masing menuju jalanan. Sarapan pagi sangat penting sebagai sumber tenaga untuk perjalanan panjang nanti. Untung ada yang jualan di seberang jalan. Makan seadanya yang penting perut terisi. Kami menunggu truk-truk pasir yang bisa ditumpangi sampai kaki gunung Guntur.

Fyi, disepanjang kaki gunung Guntur banyak banget aksi penambangan pasir ilegal. Hal ini sebenarnya cukup membuat prihatin apalagi setelah melihat keadaan sekitar kaki gunung sampai ke lereng semakin tergerus erosi akibat praktek ilegal ini. Kata supir truk waktu saya mendapat tumpangan setelah turun gunung, siapa saja bebas menambang disini, tidak ada aturan dan ini sudah berlangsung lama. Ckckckck, mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam akibat tindakan mereka sendiri.

Akhirnya kami mendapat truk tumpangan. Satu per satu naik ke atas, kalo ditotal tak disangka ternyata kami ada 20 orang, wah wah.. rame yak hehehe…

Perjalanan ini ternyata banyak kejutan. Tidak ada yang menyangka jalanan mulus secara drastis berubah setelah desa terakhir kami lewati. Truk melewati jalanan yang tidak biasa, yang tidak selayaknya dilewati. Truk kemudian terjungkal ke kiri dan ke kanan, dan kabar kami di dalam truk, sungguh tidak baik. Berpegangan agar tidak merosot kebelakang karena jalan yang menanjak terjal dan berbatu cukup membuat kami terpental kesana kemari.

Tidak cukup penderitaan itu, perut saya mulai mules akibat guncangan keras. Beberapa sampai terduduk lemas dan Ali mulai mual. Aaahh, belum apa-apa perjalanan ini sudah menyiksa. Karena baru sarapan jadi perut jadi sangat tak karuan, mual sambil menahan badan agar tak terpental, keadaan ini sangat menyiksa mas brooh..

Akhirnya kami sampe di kaki gunung Guntur ditengah penambangan pasir. Para penambang sudah mulai beraktivitas saat kami melintas. Disepanjang mata memandang terlihat tambang pasir, sebagian sudah ditinggalkan penambangnya dan mencari lahan baru.

Saya memandang ke puncak, tampak puncak terasa dekat dengan lerengnya yang gundul. Hanya membentang savana sampai puncak. Tapi itu hanya fatamorgana, setelah melaluinya saya takkan bisa membayangkan cerita pahit dibalik lereng gundul itu huhuhuu.. perjalanan menyiksa menanti, yuhuuu…

Curug Citiis 1 sampe Curug Citiis 3

Kami memilih jalur ini saat memulai memanjat. Sebenarnya ini sungai dengan curug ala-ala gitu, tapi lumayan sebagai pelepas dahaga ketika jiwa raga mulai mengering bahkan hanya ketika memandang lereng curam tempat penyiksaan itu.
Trek di jalur ini melewati bongkahan batu besar dan pepohonan. Memanjat batuan terjal ini sebenarnya sudah biasa seperti trek gunung pada umumnya. Namun efek dari guncangan truk tadi belum berakhir, kaki saya masih lemas dan gemetar. Ternyata kak Yani di depan saya juga mulai pucat dan terduduk di batu tempatnya bertumpu. Saya agak panik apalagi Kak Yani sempat bilang mau balik saja, duuh, mau balik sama siapa kita lagi di tengah hutan..

Setelah beristirahat, perlahan kak Yani mulai segar kembali, kami melanjutkan perjalanan. Tiba di Curug Citiis 3 yang berarti titik terakhir dimana air masih tersedia. Yang berarti pula kami harus membawa persediaan air secukupnya. Mulai dari sini sampai puncak tidak akan ada air lagi. Penderitaan bertambah dengan berliter air yang harus kami bawa demi bertahan di puncak nanti. Ah, tapi tampaknya semua masih pada semangat. Haha..

Curug Citiis sampai Puncak 1
Rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa bahkan lebih menyambut kami setelah melewati Curug Citiis 3. Perjalanan di lereng gunung dengan kemiringan ruar biasa ini perlahan menunjukkan wajahnya. Rumput ilalang semakin pendek dan bahkan pasir kerikil yang mendominasi.

Puncak yang terlihat jelas seolah hanya fatamorgana. Ratusan langkah telah diayun tapi kok ga nyampe nyampe di puncak yaa… Ini sih sama saja seperti jalan ditempat, maju 3 langkah merosot 4 langkah, ckckckck… Saya mulai lelah, terkadang saya tiba-tiba terhenti dan bingung harus melangkah kemana. Tidak ada pegangan sama sekali dan berada di lereng dengan sudut kemiringan segitiga sama kaki.

Maaak, pengen teriak aja rasanya. Salah melangkah sedikit pasti bakal guling guling kebawah tanpa ada yang menghalangi. Saya hanya berharap penderitaan ini segera berakhir. Ah, ada pohon diatas sana, saya berusaha mempercepat langkah. Berjalan agak miring ke samping karena pohon berada disebelah kiri saya. Semakin mendekati puncak, medan semakin susah, bahkan dibeberapa titik tidak ada tumput ilalang yang menahan kerikil kerikil tajam itu.

image
Semoga tiba di pohon diatas 🙂

Cuaca lagi panas-panasnya saat kami sedang berjuang di lereng gunung itu, tak mungkin menyerah sudah setengah jalan begini.  Akhirnya saya tiba di bawah pohon pinus yang adem, teman-teman juga berlindung sejenak di pohon. Selama trek di lereng memang tidak ada pos perhentian, tidak ada tempat berteduh, jadi pohon ini kami jadikan sebagai penghibur lara #halaah…

Setelah lelah sirna, kami lanjut memanjat. Perjalanan semakin berat, carrier dipunggung juga seakan semakin berat, tenaga sangat cepat terkuras ditengah sengatan panas matahari. Ah ini pun saya masih bersyukur untung tidak hujan, apa jadinya kami kalo hujan dan kami masih berpijak di lereng penyiksaan ini..

Puncak 1 semakin dekat, semangat kami bertambah, berharap penderitaan segera berakhir, kaki saya mulai bengkak boz. Sendal gunung yang saya kenakan juga hampir menyerah yang sepanjang perjalanan berhadapan dengan kerikil kerikil tajam itu.

Yuhuu… sedikit lagi sedikit lagii, teriak yang lainnya ketika saya dan kak Yani hampir berpijak di puncak 1. Lega banget rasanya berada di ketinggian ini dan melihat pemandangan Garut tanpa ada yang menghalangi. Di puncak 1 kami menunggu teman lainnya tiba.

image
Hampir sampe puncak 1 yeay!

Rombongan lain memutuskan untuk mendirikan tenda di puncak 1. Kami yang (masih) semangat sepakat melanjutkan sampai puncak 2. Ketika saya mendongak dari puncak 1 saya melihat puncak 2 berdiri angkuh jauh lebih tinggi lagi. Trek nya masih sama seperti lereng tadi, kami berjalan menyusuri lereng puncak 2. Hujan gerimis mulai turun yang semakin mempersulit langkah kami. Untungnya hujan deras turun ketika kami sudah selesai mendirikan tenda di puncak 2.

Oiyaa, gunung Guntur memiliki 4 puncak dan di puncak 2 ada penanda semacam tugu GPS gitu. Di puncak 2 spot mendirikan tenda tidak terlalu luas dan sebagian dasarnya adalah batu sehingga agak sulit untuk menancapkan pasak tenda. Namun dari puncak 2 pemandangan semakin kece, bebas tanpa ada pohon sama sekali.

Hujan deras baru berhenti ketika kami sudah selesai makan malam. Malam ini dingin dan menusuk. Angin kencang membuat saya semakin enggan untuk keluar tenda dan menikmati kota Garut di malam hari. Tidak ada bintang malam itu karna baru turun hujan. Lampu-lampu kota Garut dari kejauhan seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi.  Hahaha..

Kami mengisi malam itu dengan saling bersenda gurau, ledek ledekan (padahal baru kenal 😁). Namanya jg di gunung, apalagi yang nge camp malam itu di puncak 2 tidak banyak, jd kami tidak bisa kemana-mana. Tapi itu justru bagus, kami punya banyak waktu untuk mengenal satu sama lain. Besok paginya, sudah seperti kawan lama saja.

image
Kebersamaan itu menghasilkan ini 😍

Pagi itu, sisa-sisa hujan kemarin masih ada. Sang mentari pun tak tampak, langit masih diselimuti kabut tebal. Kami tak bisa menikmati sunrise kece di puncak, semua berkabut. Bahkan puncak 1 saja tak kelihatan dari atas sini. Walau begitu, tak ada rasa kecewa, karna bukan itu yang kami kejar. Teman baru, kehangatan kebersamaan jadi yang utama. Sunrise hanya bonus.

Sekitar jam 10 pagi cuaca mulai cerah. Kami tak bisa berlama-lama di puncak. Setelah sarapan besar, ya besar karena banyak sekali makanan sampe ada puding segala, haha.. kami menggelar matras diluar tenda, diterpa mentari pagi kami menikmati piknik ini dan menyantap makanan sampe habis.  Setelah tenda dilipat kembali dan packing selesai kami mulai turun kembali. Tidak lupa sampah juga dibawa turun.

image
Makan besar 😄😄

Oiya, masih ingat kan trek di lereng gunung ini. Batuan kerikil di lereng telah menunggu kami. Tentu sendal yang saya kenakan takkan mampu melawannya. Bila dipaksakan, kaki saya takkan selamat sampe dibawah.

Ojan dengan baik hati meminjamkan sepatunya. Kami bertukar alas kaki, dia memakai sendal saya dibungkus kaos kaki berlapis agar tidak terluka sampai bawah. Kami kenakan sarung tangan agar tangan kami tidak hancur tergores-gores batuan yang tajam.

Daaan, kami pun mulai meluncur satu persatu menyusuri lereng tak berpohon ini. Ternyata, ini jauh lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Asalkan jauhkan pikiran dari keraguan dan ketakutan, segera meluncur saja dan tetap waspada, meluncur seperti main perosotan ini sangat menyenangkan. Hampir semua pendaki melakukan hal yang sama, karna hanya itu jalan terbaik dan tercepat.

Tak lama kami menyusuri lereng penyiksaan itu kami segera tiba di curug citiis 3. Ada saung disitu tempat kami berteduh sebentar. Lingga kemudian bersama yang lainnya mulai memasak karena main perosotan di trek yang panjang itu membuat kami lapar. Yang lainnya mengambil air dari curug. Sambil berendam kaki cukup ternyata melegakan.

Kami harus tiba kembali di pom bensin Tanjung sebelum malam. Perjalanan dilanjutkan. Tiba di kaki gunung, saya berharap ada truk pasir yang lewat sehingga kami bisa menumpang sampai pom bensin Tanjung. Rejeki pun datang, truk datang dan sang driver berbaik hati memberi tumpangan kepadaku dan Anugrah.

Setelah bersih-bersih, kami kembali ke Jakarta. Banyak bus yang lewat dari terminal Tanjung, tapi tentu saja bus nya penuh, syukur syukur masih ada tempat duduk yang tersisa, yang lainnya terpaksa duduk di lorong disela bangku penumpang. Menyantap gorengan hangat lumayan mengganjal perut kami yang kosong sampe tiba di Jakarta.

Eh, tapi sepanjang perjalanan pulang kok masih kebayang ya perosotan di lereng tadi. Aahh, bener bener jadi kenangan yuh perosotan maut.

Categories
Hiking

Sapaan Pagi Dari Gunung Lembu

Memang gunung ini masih belum populer bagi kalangan para penikmat ketinggian. Saya pun masih sangat asing dan merasa sangat aneh dengan nama gunung ini. Letaknya yang tak jauh dari Jakarta membuat saya agak menyangsikan keberadaan gunung ini. Ah yang benar ada gunung deket sini. Salah kali, pikirku saat itu. Cuma karna sudah sangat ingin naik gunung dan penasaran juga dengan keberadaan gunung ini yang konon disebut Gunung Lembu karena banyak warga yang ternak lembu/sapi di gunung tersebut.
Lingga, saya kenal pertama kali pada saat pendakian ke Gunung Guntur mengajak saya ke Gunung Lembu. Yang bikin makin penasaran ketika saya tanya siapa saja yang ikutan, dia selalu bilang ‘ada deh! Lu ga kenal ka’ hahaha, saya hanya ingin memastikan ada perempuan, biar ada teman sesama wanita, hehe..
Lingga tak salah mengajak Kak Dabe, perempuan tangguh yang jadi teman nanjak saya kemana-mana. Dia seperti emak saya yang bisa mengurus segala sesuatu dengan telaten. Intinya saya merasa aman kalau ada dia, semua bereeess.. hahaha
Sepakat bertemu di Stasiun Beos ( Stasiun Jakarta Kota) Sabtu sebelum jam 8 pagi, saya pun setuju. Jumat malam Kak Dabe menginap di kosan saya, dan mulai packing yang akhirnya selesai jam 1 pagi (hooaamm, ngantuuk!). Ternyata malam berlalu sangat cepat, Sabtu pagi saya masih meringkuk dibawah selimut disaat Kak Dabe sudah bersiap-siap untuk berangkat. Kebiasaan telat saya agaknya sudah akut.. hiiikss.. Mandi seadanya dan kemudian berangkat tanpa dandan dulu (kan mau masuk hutan, hahaha).
Kami berangkat dari Stasiun Cawang ke meeting point di Stasiun Beos. Dalam pikiran saya memang jaraknya dekat, mungkin sekitar setengah jam pasti nyampe. Tapi apa boleh dikata, naik kereta ternyata bisa juga kena macet, keretanya lumayan lama berhenti di stasiun Manggarai dan ngantri masuk ke Stasiun Beos.
Kami mulai ngga tenang takut ditinggal, karena jarum jam sudah mengarah ke 8.15 yang berarti kami sudah telat setengah jam dari perjanjian. Semakin panik karena teman-teman bilang kereta ke Purwakarta segera berangkat. Mungkin juga mereka sudah bete. Duduk pasrah jadi pilihan terbaik sambil bersabar menunggu giliran gerbong kereta saya memasuki Stasiun Beos.
Tiba di Stasiun Beos kami mencari sosok si Lingga yang katanya nongkrong dekat gerbang masuk. Akhirnya kami menemukannya bersama Ciong yang juga pertama kali saya kenal waktu pendakian ke Gunung Guntur. Saya juga berkenalan dengan tiga teman baru lainnya yang duduk melingkar di lantai stasiun, ada Komeng, Tris dan Jamal. Aaii, bener saja saya dan Kak Dabe berada diantara 5 pria kece.. ahaaakk..
Kata Komeng sih sambil menunggu dua wanita cakep (read: Rika dan Dabe 😀 ) mereka akhirnya menyantap nasi uduk sama ketan sementara Jamal yang baik hati rela mengantri untuk mendapatkan tiket kereta seharga 3ribu Rupiah yang bisa mengantarkan kami sampai Stasiun Purwakarta.
Perjalanan ke Purwakarta selama 3 jam saya manfaatkan untuk tiduurr.. haha, tapi tetap saja tidak bisa pulas karna AC  16 derajat celcius kok malah panas seperti di sauna. Uuhh, merem melek ini menyiksa kakaak.. kereta ekonomi seharga 3 ribu Rupiah sebenarnya ini lebih dari cukup sih dengan gerbong yang lumayan bersih walaupun AC nya yang ngadat seperti tidak ber-AC. Tapi yang paling tidak saya suka memang toiletnya yang baunya bikin mual itu.
Pukul 1 siang akhirnya kami tiba di stasiun Purwakarta. Beruntung nya kami karena cuaca hari ini sangat cerah. Melihat stasiun ini membuat saya terpana sebentar karena banyak sekali tumpukan gerbong-gerbong kereta disusun rapi di lahan sebelah stasiun. Melihat penampakan berbeda dari stasiun lainnya, berhubung kami terlahir di generasi narsisme maka foto bareng sebentar boleh dong, hehehe..

image
Tiba di Stasiun Purwakarta

Pintu keluar stasiun ini juga unik, kami diantar petugas sampai ke gerbang keluar dan beliau membukakan gerbang yang masih tergembok. Duh, apa setiap penumpang yang keluar akan dihantarkan kemudian gembok gerbang dibuka, setelah penumpang keluar gerbang dikunci lagi yaa?
Purwakarta merupakan sebuah kota kecil di daerah Jawa Barat. Kota ini mempunyai tata ruang yang rapi dan sangat menyenangkan. Purwakarta sangat kental dengan budaya Sunda terlihat dari setiap sudut ruang kota banyak ornamen Sunda seperti kujang dan tokoh pewayangan Sunda.
Untuk menuju pos pendakian Gunung Lembu kami harus menempuh sekitar 2 jam perjalanan lagi. Banyak angkot yang menawarkan jasa untuk menghantarkan kami sampai kesana. Tawar menawar berlangsung antara Lingga dan Aa supir angkot. Sepakat harga dan Aa angkot juga akan menjemput kami esoknya di pos pendakian.
Aa angkot yang ramah dan baik menghantarkan kami dulu ke sebuah masjid. Teman-teman saya yang soleh menunaikan ibadah Sholat dulu, hehe.. Berhubung disebelah masjid ada warung nasi, sekalian saja kami bersantap siang disitu. Menu siang itu nikmat banget rasanya. Mungkin kah karena lapar atau kah karena memang enak, yang jelas makanan lewat di kerongkongan nikmat rasanya. Haha..
Kini perjalanan sesungguhnya dimulai. Mobil angkot mulai melaju melewati tanjakan yang cukup terjal. Awalnya saya pikir mobil angkotnya ngga akan kuat melewati tanjakan yang curam apalagi beberapa kali bemper mobil terantuk ke aspal jalanan. Saya sempat curiga jangan-jangan kami akan berakhir dengan mendorong mobil angkot ke atas karna ngga kuat tanjakan, untungnya khayalan saya tidak terjadi.
Semakin mendekati tujuan, awalnya kami pikir salah jalan karena Aa angkot beberapa kali berhenti dan bertanya ke warga lokal jalan menuju Gunung Lembu. Kecurigaan semakin menjadi ketika melihat penampakan gunung curam di sebelah kiri. Gunung yang lebih cocok untuk Rock climbing itu ternyata Gunung Parang. Gunung yang seperti tebing dengan batuan cadas berdiri angkuh disebelah kiri saya ketika angkot kami lewat.
Purwakarta memang sedang hits dengan tiga gunung yang menjadi destinasi pendakian baru bagi para penikmat ketinggian. Gunung Lembu, Gunung Bongkok dan Gunung Parang untuk climbing saling berdampingan dan dikelilingi waduk Jatiluhur. Alam yang saling berdampingan ini seperti tawaran sempurna yang tak bisa ditolak.
Setelah melewati beberapa perkampungan, kami tiba di Desa Sukatani sebagai titik awal pendakian. Petugas menyambut dengan ramah. Di pos ini juga terlihat beberapa kelompok orang yang sepertinya baru turun. Kami bersiap-siap dan repacking sebelum melakukan pendakian. Berdoa sebelum nanjak sangat penting. Menyerahkan diri ke Yang Maha Kuasa akan membuat perjalanan kita akan semakin ringan dan nyaman.
Oiya, awal pendakian kami memang dihadiahi beberapa kotoran sapi dimana-mana.. hahaa, jadi tak salah kalau gunung ini disebut Gunung Lembu. Trek nya cukup membuat ngos-ngosan. Menanjak terus sampai punggung Gunung Lembu. Kalau naik saat musim hujan mungkin trek nya akan lebih sulit karena kontur tanahnya yang licin dan lembek.
Tiba di punggungan gunung, treknya naik turun dan sebagian kami harus menyusuri dua sisi jurang kiri dan kanan. Namun pemandangan ciamik juga tak bisa dilewatkan begitu saja. Saya baru menyadari gunung ini ternyata dikelilingi oleh waduk. Kiri kanan jurang terlihat waduk.
Untuk mencapai puncak Gunung Lembu kami menempuhnya dalam 2 jam. Sebelum puncak kami melewati sebuah pos keramat. Disitu terdapat makam keramat tanpa nisan dan juga dibangun sebuah saung. Ada sajadah disitu, mungkin bisa juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk sholat. Sambil menunggu Kak Dabe yang ditemani Ciong (baik yak 😀 ) yang menyebut diri mereka tim keong, kami sempat beristirahat disitu karena tempatnya yang adem dan bisa leyeh-leyeh di saung.
Pukul 6 sore kami tiba di puncak Gunung Lembu. Beberapa orang sudah mendirikan tenda. Hari mulai gelap, headlamp mulai kami pasang untuk mencari spot mendirikan tenda. Karena puncak gunung tidak luas dan tidak banyak lokasi yang datar, maka kami putuskan mendirikan tenda agak dibawah dan bersebelahan dengan lembah. Disebelahnya juga terdapat batu besar yang kemudian tempat kami nongkrong menikmati kesunyian malam.
Karena bersebelahan dengan lembah, angin malam agak kencang menampar tenda kami, untuk mensiasatinya maka flysheet kemudian diikatkan mendekati tanah hingga hampir menutupi tenda. Yang paling berkesan ketika naik gunung itu adalah kebersamaannya. Kebersamaan waktu perjalanan naik, saling membantu, saling menunggu (cieh kak Dabe dan Ciong), saling berbagi, intinya semuanya jadi saling 😀
Setelah tenda berdiri, kami berbagi tugas untuk masak. Suasana malam yang sunyi senyap jadi pecaaahh.. Yang tadinya tak kenal, malah sudah seperti kawan lama.. ihiiikk.. ngobrol ngawur ngidul mengakrabkan kami.
Tadaaa, makanan mateng, kami bertujuh masuk ke tenda dan makan dengan penerangan seadanya. Makanan digelar di lembaran kertas nasi hasil barter air dengan pendaki lainnya. Walaupun nasi dan lauk sudah tak berbentuk, nikmatnya rebutan makanan itu tak ada duanya, kalau kata Mas Tris ‘ini yang saya carii’ yuhuuu.. Sampe yang lain sudah menyerah kekenyangan, doi tetap santai makan sampai butir nasi terakhir, ckckck..
Karena di gunung ini tak ada air, dan kami hanya membawa persediaan air secukupnya, tisu basah jadi solusi untuk membersihkan nesting dan perangkat masak lainnya. Yaah, di gunung walaupun tidak terlalu higienis tetap sehatlaah.. hahaa
Malam masih panjang, setelah semua perlengkapan makan dirapikan, ah masa tidur sih, sayang banget malam indah ini hanya diisi dengan makan dan tidur. Kami memutuskan untuk pergi ke tempat yang katanya cocok banget menikmati waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta dari ketinggian. Tempat itu tidak terlalu jauh dari tenda. Namun berhubung trek nya yang menurun tajam, pulang dari sana tetap saja akan capeek..
Kami berangkat menyusuri jalanan yang tak terlihat karena gelapnya malam. Ditengah jalan, kami berpapasan dengan pendaki lain yang sudah kembali dari tempat itu. Para ibu-ibu dan bapak-bapak yang tangguh. Mungkin mereka sepertinya mengadakan acara reunian atau acara keluarga gitu. Mereka saja kuat, masa anak muda nyerah! Haha…
Pemandangan takjub di depan mata. Lampu-lampu bertebaran di sekitar tambak di waduk. Gemerlap kota Purwakarta juga terpancar dari kejauhan. Pemandangan malam ini membuat saya ingin agak lama duduk di batuan pinggiran tebing ini. Sorotan lensa kamera pun agaknya susah menangkap indahnya malam ini. Pandangan mata memang takkan terganti sob. ^_^
Malam semakin temaram, saya dan kak Dabe sudah menarik sleeping bag bersiap tidur. Di luar tenda saya masih mendengar suara Komeng dan Ciong. Saya merasa aman saat mereka masih terjaga. Namun entah kenapa malam itu saya susah tidur, mungkin karena sepanjang perjalanan di kereta dan di angkot saya tidur, jadinya saya begadang sambil meringkuk dekat Kak Dabe.
Tengah malam sekitar pukul 2 dini hari saya pun masih terjaga mendengar hiruk pikuk diluar tenda. Ternyata ada pendaki lain yang baru tiba saat itu dan mencari spot mendirikan tenda yang nyaris sudah tidak ada. Mungkin mereka sengaja berangkat malam dari bawah agar tidak terlalu capek saat mendaki.
Gunung Lembu tidak terlalu tinggi sehingga sangat cocok untuk para pendaki pemula. Bahkan, gunung ini dapat ditempuh dalam satu hari naik turun tanpa harus menginap satu malam di puncak. Namun, saya memang lebih suka untuk bermalam di puncak, yang kami cari memang itu. Suasananya, kebersamaannya dan menikmati alam terbuka dengan memasrahkan segenap jiwa raga dalam pelukan alam. Suatu rasa yang mungkin saya pun tak bisa mendeskripsikannya. Sebuah rasa yang mampu membuat saya ketagihan mencapai puncak-puncak lainnya walaupun lelah dan capek.
Malam itu ternyata tidak begitu dingin, tidak seperti gunung-gunung lainnya yang sampai membuat saya menggigil. Bangun pagi itu pun terasa ringan. Ternyata banyak juga pendaki yang baru datang pagi dan langsung ke spot terbaik menikmati sunrise dengan hamparan waduk dibawahnya.

image
Hangatnya sang mentari pagi, Mt. Lembu

Kami turun kembali ke batu di pinggir tebing itu. Sesampainya disana ternyata banyak pendaki yang sudah bersantai menikmati kehangatan sang surya yang datang perlahan.
Saya ingin berlama-lama di tempat itu. Mengabadikan rasa takjub dalam sebuah foto rasanya tak cukup, Komeng kemudian merekamnya dalam sebuah video. Saya tidak menyesal tiba di tempat itu. Mas Tris, ditengah orang-orang sibuk foto narsis, si pelor itu tidur dimana saja , sampai-sampai pemandangan indah di depan mata pun tak digubris. Dia tiduran di batu raksasa tempat kami berpijak saat itu. Katanya sih, begitu caranya menikmati alam.. ahaakk, iya iya deh..

image
Saya dan Kak Dabe, viewnya Gn. Parang

Setelah puas menyambut sapa pagi Gunung Lembu, kami nanjak kembali ke tenda dan berbagi tugas kembali untuk masak. Yes, memasak menjadi bagian yang penting dan menyenangkan bila mendaki dan menginap di atas gunung.
Kami sudah janji dengan Aa angkot untuk menunggu kami di pos pendakian pukul 1 siang. Jadi, setelah makan dan istirahat sebentar, kami segera packing dan melipat tenda. Memastikan semua barang sudah masuk ke dalam carrier dan sampah-sampah sudah dikumpulkan, kami berdoa sebelum berangkat turun. Oiya, kalau naik gunung, jangan sekali-kali merusak alam yang telah menjaga kita satu malam tadi. Jangan pernah meninggalkan sampah. Intinya, apa yang kita bawa dari bawah, bawalah kembali saat kita pulang termasuk sampah.
Perjalanan turun ternyata tidak terlalu lama, saya hanya membutuhkan waktu sekitar 50 menit untuk turun. Tentu saja karena saya diajari Komeng untuk lari sampai bawah, haha.. Aaaah, benar-benar pengalaman pertama lari-larian dari atas gunung, ckckck.. tapi sarannya memang sangat manjur karena trek nya yang agak terjal dan tanah yang longgar lari membuat kaki saya tidak sakit dan tidak terlalu lelah. Hanya saja terkadang saya agak panik karena susah berhenti, haha..
Kami tiba di pos pendakian lebih awal dari rencana, maka saya dan kak Dabe memanfaatkan waktu untuk mandi. Selesai mandi rasanya segala lelah hilang dan segar kembali. Lingga memasak mie untuk santap siang dan sambil menunggu Aa angkot datang.
Pulang kembali ke Jakarta. Dan kami kini bukan menjadi orang asing lagi. Satu malam cukup untuk mengakrabkan kami saat itu. Bahkan orang asing pun bisa menjadi teman perjalanan yang baik dan sangat menyenangkan. Pergi tak kenal, pulang jadi saudara.
Semoga ketemu di puncak lainnya orang-orang kece. ^_^

Categories
Travelling

Perjalanan Museum Nasional Dahulu, Kini dan Masa Mendatang

Libur akhir pekan menjadi saat yang dinanti banyak orang, termasuk saya, seorang pekerja kantoran yang hanya bisa melepaskan segala rutinitas disaat akhir pekan atau libur nasional. Kalau pandangan banyak orang, libur akhir pekan ya diisi dengan bersantai ria atau bermalas-malasan di rumah. Mengisi liburan akhir pekan dengan berwisata ke tempat-tempat keren dan menarik juga sangat happening saat ini.

Bagaimana kalau libur akhir pekan kali ini ke museum saja?

Minggu Pagi (17/05/2014), Saya rela menembus terik matahari yang menyengat pagi itu untuk menuju ke arah Jakarta Pusat. Tujuan saya tak lain dan tak bukan untuk menghadiri acara pembukaan Festival Hari Museum Internasional. Museum Nasional Indonesia (MNI) genap berusia 236 tahun tepat pada tanggal 24 April 2014. MNI mengadakan rangkaian kegiatan untuk memeriahkan Festival Hari Museum Internasional dan Hari Jadi Museum Nasional Indonsia yang ke-236 tahun. Sebuah kegiatan yang atraktif dilangsungkan untuk memberikan hiburan sekaligus menambah wawasan dan kecintaan rakyat Indonesia terhadap bangsanya. Rangkaian kegiatan ini akan berlangsung 17-24 Mei 2014. Berbagai acara menarik telah dikemas dengan menarik dengan acara puncaknya pada tanggal 24 Mei 2014.

Bila boleh mengutip sebuah pesan yang pernah diucapkan sang proklamator kita, Ir. Soekarno “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Pesan ini tentu bukan tanpa alasan, dimana bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, bangsa yang tidak melupakan identitasnya. Pesan ini sangat relevan dengan keadaan jaman sekarang. Perkembangan jaman dan kecanggihan teknologi bisa saja menggeser minat dan pola pikir masyarakat. Sejarah bila tak terdokumentasikan dengan baik, maka akan hilang tanpa jejak.

Dalam kata sambutannya, Ibu Dra. Intan Mardiana, M.Hum selaku Kepala Museum Nasional Indonesia mengatakan bahwa pada pameran yang diselenggarakan saat ini tidak hanya menampilkan Museum Nasional Indonesia pada masa lalu namun juga bagaimana Museum Nasional Indonesia bermetamorfosa menjadi museum yang modern dari segi bagunan yang terpelihara dengan baik begitupun dengan pengembangan koleksi dan ragam kegiatan yang rutin diselenggarakan. Melalui pameran ini para pengelola yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pengembangan museum ini ingin menyampaikan cita-cita besar Museum Nasional Indonesia di masa yang akan datang.

Acara pembukaan Festival Hari Museum Internasional ini juga dihadiri oleh Bapak Prof. Kacung Marijan,Ph.D selaku Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Bapak Prof.Dr.-Ing.Wardiman Djojonegoro yang merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998.

Dengan dress code batik para tamu undangan sudah tak sabar menunggu acara dimulai. Acara diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang diiringi oleh paduan suara dari SMP SMPN 29 Jakarta. Jujur, sudah lama saya tidak menyanyikan lagu kebangsaan ini. Nyanyian yang syahdu membawa saya kembali meresapi setiap petikan kata dalam lagu Indonesia Raya, rasa cinta terhadap tanah air kembali berkobar.. haha..

Tari Piring
Tari Piring

Rangkaian acara dalam pembukaan Festival Hari Museum Internasional ini dimeriahkan juga oleh siswa-siswa SMA 70 Jakarta dengan menampilkan tarian daerah seperti Tari Piring dan Tari Tokecang. Selain itu, penampilan dari grup musik Archipelago juga tidak mau kalah. Penampilan musik instrumen gabungan dari berbagai alat musik yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia berhasil membuat suasana acara semakin riuh dan meriah.

Penampilan musik tradisional nusantara oleh Grup Archipelago
Penampilan musik tradisional nusantara oleh Grup Archipelago

Peresmian acara Pembukaan Festival Hari Museum Internasional pun ditandai dengan penabuhan gondang yang secara bersama yang dilakukan oleh Ibu Intan Mardiana, Bapak Kacung Marijan dan Bapak Wardiman Djojonegoro. Gondang sendiri merupakan alat musik dari suku Batak. Setelah meresmikan pembukaan acara Festival Hari Museum Internasional, Ibu Intan Mardiana, Bapak Kacung Marijan dan Bapak Wardiman Djojonegoro diiringi seluruh tamu undangan berkeliling melihat pameran yang menyajikan perjalanan panjang MNI.

MNI mempunyai tujuan jelas untuk terus berinovasi mengembangkan museum dan meningkatkan daya tarik masyarakat untuk berkunjung ke museum dan mengenal Indonesia dan sejarahnya lebih dekat.

Peresmian Festival Hari Museum Internasional
Peresmian Festival Hari Museum Internasional

Sejarah panjang telah dilalui MNI, mulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda,masa pendudukan Jepang, masa kemerdekaan sampai saat ini. Melalui berbagai pergantian generasi membuat MNI semakin tangguh. Kehadiran MNI yang konsisten menjaga dan memelihara segala peninggalan peradaban masa lampau membuktikan diri mampu bertahan melewati berbagai masa. Sebuah perjalanan yang tidak mudah. Melalui pameran “Potret Museum Nasional Dulu, Kini dan Akan Datang” yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian Festival Hari Museum Internasional & 236 Tahun Museum Nasonal Indonesia, saya dapat merasakan sebuah energi yang luar biasa dari orang-orang yang berperan besar untuk menghantarkan MNI menjadi seperti saat ini. Sebuah museum yang semakin memantapkan dirinya untuk menjadi museum terbaik di Indonesia.

Museum Nasional Indonesia mulai berdiri sejak abad ke-18 dinamakan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda kemudian berubah nama yang kini lebih dikenal dengan Museum Nasional Indonesia.

Dari pameran ini, saya seperti menyusuri lorong waktu dan mengikuti perjalanan sejarah panjang dari sebuah museum yang mampu bertahan sampai saat ini. Selain cerita sejarah yang lengkap, pameran ini juga menyajikan tokoh-tokoh yang berperan besar dalam pengembangan MNI. Bapak Prof. Dr.-Ing.Wardiman Djojonegoro merupakan seorang tokoh penting dan menjadi bagian dalam rekam jejak perjalanan MNI. Beliau ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada periode 1993-1998, memberikan andil besar terhadap perluasan dan pengembangan MNI.

Pak Wardiman didampingi oleh Ibu intan Mardiana
Pak Wardiman didampingi oleh Ibu intan Mardiana

Tak cukup melihat-lihat di sekitar pameran, saya semakin ingin melihat koleksi-koleksi di MNI. Saya masuk ke gedung tempat dimana koleksi-koleksi tersebut tersimpan rapi. Saya temui banyak anak sekolah yang sedang berkunjung ke museum dan belajar lebih dekat dengan benda-benda peninggalan peradaban masa lalu.

Tidak hanya pelajar yang meramaikan museum, tampak beberapa biksu yang asyik mengamati berbagai arca yang berderet dan menyebar di sekitar pelataran musuem. Bule atau orang asing juga ternyata terpikat pada koleksi yang ada di MNI. Koleksi yang ada di MNI memang cukup lengkap dan dirawat dengan baik.

Guci dari Kapal Tek Sing yang karam pada tahun 1822 di Selat gelasa, Bangka Belitung
Guci dari Kapal Tek Sing yang karam pada tahun 1822 di Selat gelasa, Bangka Belitung

Keadaan ruangan yang bersih dan nyaman membuat saya betah untuk berlama-lama mengamati deretan arca, etnografi berbagai daerah di Indonesia termasuk koleksi keramik yang cukup banyak dan antik.

Kehadiran MNI menjadi suatu oase ditengah hiburan modern yang bermunculan. MNI kini berperan juga sebagai penjaga identitas bangsa dengan menjaga peninggalan-peninggalan sejarah yang menyisakan sejuta kisah masa lalu dari perkembangan bangsa.

Dirgahayu Museum Nasional Indonesia 😀

Categories
Pernak-pernik

Sunday Sharing #6: Belajar Mendokumentasikan Perjalanan

Jalan-jalan atau berwisata ke suatu tempat merupakan bagian dari perjalanan hidup. Jalan-jalan tanpa dokumentasi sangat disayangkan bukan? Namun tidak semua orang berusaha mendokumentasikan perjalanannya dengan baik, bahkan ada juga orang yang tidak terfikir untuk mendokumentasikan perjalanannya.

Tren foto selfie memang happening saat ini. Tapi sering tidak menggambarkan sebuah momen yang terjadi. Dengan kemajuan teknologi saat ini dan berbagai aplikasi memberikan fasilitas untuk kita mendokumentasikan perjalanan. Setiap orang pasti punya cara masing-masing untuk mendokumentasikan perjalanannya.

Minggu 18 Mei 2014 Sunday sharing #6 diadakan di kantor detikcom di Gedung Aldevco Pentagon Lt. 2. Topik yang diangkat untuk kelas minggu itu adalah bagaimana cara mendokumentasikan perjalanan. Sesi ini akan mengupas tuntas macam-macam cara untuk mendokumentasikan perjalanan dan mengemasnya menjadi menarik. Mendokomentasikan perjalanan sendiri dapat dilakukan dengan foto, blog atau bahkan vlog. Bahkan dari hasil dokumentasi ini siapa sangka bisa saja berubah menjadi b(l)ook atau novel. Who knows!

Topik pertama adalah mendokumentasikan perjalanan melalui tulisan di blog yang dibawakan oleh Kak Eka Situmorang-Sir [@ceritaeka]. Beliau adalah seorang blogger yang berhasil menelurkan dua buah novel dan kini telah beredar di publik. Novel Labirin Rasa adalah karya kak Eka yang menuangkan sebuah kisah perjalanan dalam bentuk novel. Buku lain yang digarap dengan 10 blogger lain adalah The DestinAsean yang menyuguhkan cerita perjalanan ke negara-negara di ASEAN dari beberapa penulis dan dituangkan dalam sebuah buku.

Dalam sesi ini, Kak Eka mengajak kami berlatih mendeskripsikan sebuah tempat tanpa menyebutkan nama tempat tersebut. Dari deskripsi ini akan membawa orang lain untuk membayangkan suatu tempat yang kita tuju dan tahu tempat itu tanpa kita menyebutkan nama tempat itu. Suatu latihan menulis yang menarik, hehehe…

Selain belajar teknik bercerita, kak Eka juga membagikan tips bagaimana sebuah tulisan layak untuk diterbitkan menjadi sebuah buku yang bernilai tambah (red: duit :D). Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan buku adalah:

  • Tentukan genre bukunya

Karena masing-masing penerbit menerima genre buku berbeda-beda

  • Buat outline

  • Sediakan waktu untuk menulisnya

Terkadang kendala memang saat tidak ada waktu luang untuk menulis, tapi kalau memang sudah niat untuk menulis maka pasti sudah menyediakan slot waktu untuk menulis toh

  • Free writing

Kata Kak Eka, menulis dengan bebas tanpa harus berfikir dengan keras. Apa yang muncul dipikiran tuliskan saja, mengalir saja. Setelah selesai baru dibaca ulang dan diedit kalau ada yang harus diperbaiki.

  • Evaluate

Sangat penting untuk menentukan selera pembaca dan mengetahui apakah orang lain suka atau tidak dengan tulisan kita. Mungkin bisa dimulai dengan orang-orang terdekat.

  • Kirim ke penerbit

Ketika mengirimkan ke penerbit jangan sekaligus ke beberapa penerbit di waktu bersamaan. Pilih penerbit yang cocok dan sesuai dengan genre buku, kemudian tunggu respon dari penerbit (biasanya -/+ 3 bulan akan dikonfirmasi).

Topik kedua dibawakan oleh Ragil Duta Setiyana [@ngecuprus] yang akan berbagi ilmu tentang fotografi. Untuk mendokumentasikan perjalanan yang paling sering dilakukan orang banyak tentu melalui foto. Siapa yang tak punya kamera? bahkan handphone saja saat ini hampir semuanya sudah dilengkapi dengan fitur kamera bahkan tidak kalah dengan kamera DSLR.

Tidak harus menggunakan kamera yang mahal untuk mendokumentasikan perjalanan. Dengan modal kamera handphone saja mampu menampilkan foto yang menarik. Tentu asal tahu tekniknya.. hehe.. kamera saat ini sudah canggih, sudah ada sistem auto sehingga tidak perlu mengatur resolusi atau diafragma. Cukup mengatur komposisi sebuah objek yang mau dibidik. Sebuah foto mampu bercerita mengenai perjalanan yang kita lakukan. “ tergantung kita mau menceritakan tentang apa,” kata bang Ragil.

Topik ketiga dibawakan oleh Pak Jaf Rane Hafied [@jafane]. Sebuah topik yang membuatku penasaran dari awal. Apa itu vlog? Vlog ternyata video blog. Pak Jaf berbagi ilmu mengenai video blog (vlog) dan voice blog (pod casting). Kedua topik ini ternyata sangat menarik. Pak Jaf menunjukkan koleksi vlog dan pod casting nya yang dikemas sangat menarik.

Mungkin tulisan, foto atau video tidak asing bagiku. Namun untuk pod casting, aku belum pernah melakukannya. Bagaimana pod casting mampu menyampaikan kepada orang lain tentang sebuah keadaan yang ingin kita sampaikan hanya dengan mendengar. Menurutku itu sangat keren. Suara-suara yang muncul ketika pod casting mampu diterjemahkan orang lain kedalam sebuah keadaan. Suatu cara yang unik dan belum semua orang melakukannya.

Di akhir acara, setelah menentukan ketua kelas untuk kelas Sunday sharing bulan depan, pihak BlogDetik mengadakan lomba membuat video durasi sekitar 30 detik yang menceritakan keadaan di kelas Sunday sharing, dan walhasil semua orang kemudian sibuk reportase dengan kamera HP masing-masing.. hahahaa..

Categories
Travelling

Memorable Moment Dufan

Sebenarnya aku sudah beberapa kali ke Dunia Fantasi Ancol atau sering disebut Dufan. Walaupun begitu, selalu saja ada cerita berbeda yang aku alami. Mulai dari kisah sepanjang perjalanan menuju Dufan ataupun cerita selama bermain-main menaiki setiap wahana seru yang ada di Dufan.

Rasanya Dufan menyimpan #MemorableMoment yang akan selalu seru untuk diceritakan kepada teman dan saudara. Keseruan-keseruan yang tergambar dari ekspresi mukaku ketika menaiki wahana-wahana yang menantang adrenalin walaupun sudah menaikinya beberapa kali membuktikan bahwa Dufan memberikan #NeverEndingFun bagi para pengunjung. Kejutan-kejutan yang tak terduga ketika menaiki wahana-wahana yang disediakan Dufan membuat aliran darahku mengalir deras.

Pertama kali ke Dufan itu waktu aku masih kuliah di Bandung. Saat itu karena lagi melarikan diri sejenak dari Bandung. Akhirnya aku dan empat sahabatku sepakat untuk memacu adrenalin di Dufan. Karena tidak memungkinkan bagi kami untuk melakukan perjalanan langsung Bandung – Dufan, maka kami menginap semalam di rumah Indah di Bekasi. Esoknya baru kami berangkat menuju Dufan dengan menggunakan taksi.

Wahana Kincir Angin
Wahana Kincir Angin

Saat itu memang hari kerja bagi yang sedang bekerja tapi hari libur bagi kami yang notabene nya mahasiswa (walau bukan libur semester yah kita anggap saja hari libur, hehehe..). kami sampai di Dufan tepat waktu dan Dufan terlihat sepi. Tidak ada antrian seperti yang diceritakan banyak orang ketika mereka berkunjung ke Dufan.

Kami pun akhirnya bebas menaiki wahana-wahana raksasa itu. Wahana pertama yang kami naiki adalah Kora-kora. Sebuah perahu raksasa yang kemudian diayun kesana kemari. Teman-teman memilih duduk paling ujung perahu, katanya biar lebih menantang. Perlahan perahu raksasa bergerak dan akhirnya makin kencang.

Saat itu, aku pertama kalinya ke Dufan. Benar saja, bukan hanya memacu adrenalin tetapi jantungku berdetak tak karuan, nafasku pun tersengal. Kupegang erat lengan Nisa yang juga tampak tak bisa bernafas. Mau teriak juga susah, hahaa… Turun dari Kora-kora lututku bergetar. Langit tampak berputar-putar diatasku. Agak berlebihan memang, tapi mau gimana lagi, sepertinya tubuhku kaget menerima sensasi ayunan kora-kora.

Kami sempat berhenti sebentar untuk menenangkan getaran tubuh. Mulai menstabilkan kembali aliran darah. Karena kami berlima tampak lemas dan pucat, kami akhirnya memutuskan untuk makan siang. Haha.. Baru sekali naik wahana langsung keok, 😀

Cukup lama beristirahat kami tidak khawatir tidak mendapat giliran untuk menjajaki setiap wahana. Ingat kami sedang berada di Dufan di saat orang-orang sedang berpusing ria dibalik gedung perkantoran.. hehehe..

Naik Ontang Anting
Naik Ontang Anting

Setelah batin tenang dan siap untuk berteriak ria, kami memilih wahana-wahana yang agak santai dulu seperti arum jeram, ontang-anting kami bolak balik naiki karena memang tidak mengantri dan waktu kami tidak habis di antrian. Setelah puas dengan arum jeram dan ontang-anting, darah mulai panas akhirnya kami memutuskan untuk menaiki tornado.

Hmm.. melihatnya saja lututku mulai bergetar lagi, tapi kalau tidak dicoba ya tidak tahu rasanya toh. Kata Indah, tornado wahana yang paling memacu adrenalin dan paling seru. Cukup penasaran, akhirnya kami siap untuk di goyang di tornado.

Wahana Tornado
Wahana Tornado

Awalnya, aku memegang alat pelindung yang membekap tubuhku kencang-kencang, ketika operator mulai menggerakkan tornado, kututup mataku dan tak berani membuka mata karena takut sesuatu terjadi. Justru malah aku berteriak histeris dan ketakutan. Sungguh aku sangat ketakutan dan aku tidak bisa rileks selama naik tornado.

Itu pertama kalinya naik. “Aku tidak mau naik lagi”, tekadku dalam hati. Tapi ternyata sahabat-sahabatku itu menyeretku untuk naik lagi. Kata Mia, aku harus melawan rasa takutku, kalau tidak dilawan ya bakalan takut terus. Benar juga kata Mia, pikirku. Akhirnya aku luluh juga dan naik tornado ke dua kalinya. Kali ini aku berusaha untuk rileks dan mempercayakan tubuhku pada alat tornado.

Eh ternyata, kalau sudah tahu triknya wahana-wahana permainan di Dufan benar-benar mengasikkan. Aku yang tadinya ketakutan setengah mati, setelah bisa rileks mempercayakan dan menumpukan badan di alat tornado, akhirnya aku bisa menikmati setiap hantaman dan goyangan tornado yang dikendalikan operator. Bahkan kami sampai naik 7 kali putaran. . hahaha..

Foto 0440

yang jelas, dufan #NeverEndingFun deh. Setiap keceriaan yang tercipta menjadikannya #iniDufanKami. Tak pernah bosan untuk datang lagi ke Dufan merasakan sensasi yang luar biasa. Kini Dufan pun semakin memberikan inovasi dengan menambah wahana-wahana baru seperti Ice Age.

Semoga Dufan semakin berjaya dan memberikan keceriaan baru bagi masyarakat yang menikmati setiap wahananya.

Categories
Lomba Travelling

Mengenal Indonesia Lebih Dekat

Mengikuti perkembangan zaman Jakarta kini berubah menjadi kota metropolitan. Selera masyarakat untuk menikmati liburan juga berkembang. Hal ini terlihat dari banyaknya tempat menghabiskan waktu libur di berbagai tempat di Jakarta.

Walaupun demikian, suasana kekeluargaan dan mengenal Indonesia lebih dekat tak ada yang menggantikan Taman Mini Indonesia Indah(TMII). TMII masih menjadi pilihan terbaik bagi banyak masyarakat yang menginginkan wisata santai penuh suasana kekeluargaan dan tak terlepas dari wisata yang kaya akan manfaat. Wisata di TMII masih belum tergantikan untuk memuaskan keinginan para pengunjung terlebih orang tua yang menginginkan anaknya menikmati wisata sekaligus mengedukasi anak untuk mengenal keragaman Indonesia yang kaya akan budaya dan adat istiadat.

Tidak hanya yang sudah berkeluarga saja yang berkunjung ke TMII membawa rombongan keluarganya. Banyak anak muda yang juga sangat menikmati suasana asri di sekitar TMII. Tidak hanya melihat-lihat, banyak kegiatan yang atraktif bisa dilakukan di TMII sehingga memberikan keceriaan yang lebih di TMII.

TMII sangat dekat dengan rumah saya, sehingga tidak terlalu menyulitkan saya untuk sering-sering berkunjung ke situ. TMII telah menjadi ikon wisata Jakarta sejak dulu. Saya ingat waktu kecil di kampung, setiap kali ada keluarga atau teman yang baru pulang dari Jakarta, mereka dengan bangga menceritakan pengalaman mereka berwisata ke TMII. Dan kini, saya juga merasakan hal yang sama. Rasa bangga menginjakkan kaki di TMII.

Decak kagum masih tersirat dalam senyuman saya kala melihat bentangan alam Indonesia diisi oleh beraneka ragam budaya dan ditunjukkan dalam sebuah taman. Dulu saya pikir, disebut taman mini karena rumah-rumah adat setiap suku bangsa yang mendiami Indonesia dibuat kecil-kecil sehingga kita hanya melihat miniaturnya saja, Eh ternyata ukuran rumah adatnya memang sesuai dengan aslinya, haha.. dan lebih menariknya lagi kita bisa masuk ke dalam dan benar-benar bisa merasakan kalau kita memasuki rumah adat asli.

Berwisata ke TMII murah meriah tapi mengandung segudang wawasan nusantara. Biasanya saya ke TMII bersama teman. Hal mengasikkan untuk mengelilingi TMII yang luas adalah dengan menggunakan sepeda. Disini telah tersedia sepeda yang bisa disewa oleh pengunjung. Kalau tidak mau capek-capek menggowes sepeda, ada juga penyewaan sepeda motor atau mobil keliling. Tapi mengingat darah muda yang mengalir di dalam diri kami maka kami akhirnya memilih sepeda, hehee…

Dengan menggunakan sepeda, kami berkeliling menyambangi satu per satu replika rumah adat yang tersusun rapi membentang disepanjang taman wisata itu. Selain anjungan rumah adat, ada juga 7 tempat ibadah yang diakui oleh negara berdiri kokoh di area ini. Rumah ibadah ini juga dapat digunakan oleh masyarakat sekitar untuk beribadah. Suatu harmonisasi yang lengkap melihat beragam aktivitas yang bisa dilakukan di TMII.

Setiap anjungan rumah adat dapat juga digunakan untuk melangsungkan sebuah acara terutama acara-acara kebudayaan. Seperti ketika kami melewati rumah adat Bali, disitu sedang berlangsung sebuah pesta pernikahan bergaya adat Bali. Di anjungan yang lain, saya melihat banyak anak-anak yang asik berlatih menari. Saya dan teman-teman sempat memarkirkan sepeda sejenak dan menikmati tarian indah mereka.

Tidak puas hanya berkeliling dengan sepeda, saya ingin melihat lebih jelas indahnya Indonesia yang ditampilkan TMII. Saya dan teman akhirnya sepakat untuk menaiki kereta gantung. Kereta gantung dibandrol 30 ribu Rupiah per orang. Satu kereta gantung mampu menampung sampai 4 orang.

Sesaat setelah menutup pintu kereta gantung, kereta melaju dan saya benar-benar menikmati Indonesia dari atas kereta gantung. Dari atas saya bisa melihat dengan jelas ke danau yang menampilkan miniatur pulau-pulau di Indonesia yang membentang dari Aceh sampai Merauke. Sungguh unik memang danau itu dan saya semakin bangga dan disadarkan betapa saya harus bersyukur lahir di Indonesia yang kaya akan alam dan budaya.

Dari kereta gantung, saya juga dapat melihat deretan anjungan rumah adat, suatu cara yang menakjubkan memang melihat pemandangan sepanjang taman dari udara, seperti melihat Indonesia dalam sekejab mata. Rasanya beberapa menit mengitari TMII dengan menggunakan kereta gantung terasa kurang dan ingin lagi. Namun karena ukuran dompet tidak memungkinkan terpaksa saya menggowes sepeda lagi untuk menikmati udara segar di TMII.

Ada satu tempat yang menarik perhatian saya ketika melintas dengan sepeda. Sebuah tempat seperti cangkang kerang raksasa yang ternyata sebuah taman kaktus. Di dalamnya terdapat banyak kaktus dari berbagai jenis. Tempatnya sangat unik dan cantik.

Sebenarnya TMII tidak hanya rumah adat dan tempat ibadah. Tetapi karena saya lebih tertarik dengan budaya yang tergambar dari rumah adat berbagai daerah, maka saya lebih banyak melihat-lihat keragaman rumah adat di TMII. Sebenarnya masih banyak tempat-tempat yang tidak kalah menarik seperti taman-taman untuk flora dan fauna, istana boneka, gedung teaterdan museum.

Beriwisata ke TMII menjadi pilihan yang bagus bagi kita yang ingin bersantai dengan keluarga atau teman. Akses masuk ke TMII juga sangat mudah dan terdapat beberapa pintu masuk. Tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam, kita sudah bisa keliling Indonesia di TMII.

Hanya saja, sedikit repot juga bagi pengunjung yang tidak membawa kenderaan untuk lebih menikmati setiap sudut TMII seperti saya. Ketika melewati pintu masuk utama, saya melintas lewat jalur pejalan kaki yang sudah disediakan, namun tidak ada yang berjaga di loket tiket di jalur pejalan kaki. Terpaksa saya menyeberang ke arah penjaga loket untuk kendaraan. Mungkin saat itu hanya kebetulan saja.

Oiya, untuk mobil keliling yang menjadi transportasi untuk mengelilingi TMII. Saya sebenarnya sangat berharap mobil keliling tidak memberikan tarif alias diberikan gratis kepada para penumpang yang hendak berhenti di setiap anjungan. Dengan begitu, TMII tidak terlihat terlalu komersial dan memberikan sebuah pelayanan yang optimal bagi para pengunjung.

TMII kini telah menginjak ulang tahun ke-39. Puluhan tahun TMII tak lekang oleh waktu. TMII masih menjadi primadona wisata di Jakarta. Di usia yang semakin matang, TMII semakin berbenah untuk memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat Indonesia. TMII sebagai pelestari budaya bangsa semakin mempertajam perannya untuk memberikan edukasi nusantara bagi generasi bangsa. Selamat ulang tahun TMII.

Categories
blogdetik Travelling

Melipir Sejenak Ke Pulau Cipir

Akhir pekan yang ditunggu datang juga. Berhubung kantong lagi tipis tapi ingin jalan-jalan, saya akhirnya memilih liburan ke pulau untuk menghabiskan akhir pekan. Tidak perlu jauh-jauh dari Jakarta, Pulau Cipir menjadi pilihan bagus untuk menyejukkan mata dan pikiran setelah sepekan bekerja.

Pulau Cipir merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Pulau ini sangat dekat dengan Jakarta bersama dengan Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Biasanya, para penyedia paket perjalanan menyatukan ketiga pulau ini menjadi satu trip. Karena jaraknya berdekatan, maka pulau-pulau ini dapat di eksplore dalam waktu satu hari.

Ketiga pulau ini memang mengandung peninggalan sejarah masa kolonial Belanda. Reruntuhan bagunan di sekitar ketiga pulau ini menjadi saksi bisu akan aktivitas yang dilakukan di masa lalu. Jejak sejarah itu kini dikembangkan pemerintah setempat menjadi wisata sejarah dan dipelihara dengan baik.

Perjalanan ke Pulau Cipir hanya menghabiskan waktu kurang lebih satu jam dari Muara Kamal. Pulau ini memang masih sangat dekat dengan Jakarta, bahkan bangunan-bangunan pencakar langit yang berdiri kokoh di Jakarta masih jelas terlihat dari pulau ini. Namanya juga kantong lagi tipis, jadi perjalanan ini sudah pasti ala backpacker.

Jakarta dari Pulau Cipir
Jakarta dari Pulau Cipir

Untuk menuju Muara Kamal, saya naik transjakarta dan berhenti di halte Rawa Buaya. Di seberang jalan Rawa Buaya sudah berjejer mobil pribadi Carry yang disulap menjadi mobil angkutan umum. Sepertinya bapak supirnya sudah tahu tampang-tampang orang yang akan menyeberang ke pulau. Ketika saya mendekat dia langsung memangil-manggil saya.

Selain menggunakan transportasi umum, kita juga bisa menggunakan sepeda motor sampai Muara Kamal. Di Muara Kamal biasanya ada tempat untuk penitipan sepeda motor, dan tentu saja aman. Parkir motor biasanya tujuh ribu rupiah.

Dari Rawa Buaya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai dermaga Muara Kamal. Di daerah ini memang sudah biasa menjadikan mobil pribadi berubah fungsi menjadi angkutan umum. Cukup membayar enam ribu rupiah saya diantar sampai di pasar Muara Kamal.

Bau amis dari ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan sudah tercium. Makin berjalan ke dalam pasar, bau amis semakin kuat. Pasar ini mulai buka dari dini hari sekitar jam 1 sampai jam 8 pagi. Ikannya masih segar-segar karena baru ditanggap oleh nelayan. Jalanan yang becek dan bau amis yang menyengat menghiasi suasana pasar ini. Ikan-ikan segar menumpuk disana sini, tapi itu hanya sesaat, para pembeli dengan sekejap memborong ikan ini dan dijual kembali di pasar-pasar lainnya.

Perjalanan menuju Pulau Cipir
Perjalanan menuju Pulau Cipir

Untuk menyeberang ke pulau Cipir, cukup menggunakan perahu nelayan yang banyak bersender di dermaga. Penumpang umum biasanya dikenakan ongkos  sebesar 30 ribu rupiah, kita bisa diantar dan dijemput dari pulau. Pagi itu, suasana di dermaga tidak begitu ramai, yah.. setidaknya tidak seramai dermaga Muara Angke yang menjadi salah satu pintu gerbang menuju Kepulauan Seribu.

Pulau Cipir menyambut dengan ramah. Walaupun sedikit mendung, pulau ini tetap mengeluarkan aura sejarah yang kental. Terdapat plang besar bertuliskan “Taman Arkeologi Onrust Pulau Cipir” di bibir dermaga. Satu per satu saya baca plang yang ditancapkan di setiap reruntuhan bangunan. Secara keseluruhan saya langsung membayangkan kesibukan yang terjadi di pulau ini di sekitar abad 19. Sebagian besar reruntuhan bangunan di Pulau Cipir adalah situs reruntuhan rumah sakit karantina haji yang berdiri tahun 1911 pada jaman kedudukan Belanda.

Situs bangunan Rumah pasien karantina haji di Pulau Cipir tahun 1911
Situs bangunan Rumah pasien karantina haji di Pulau Cipir tahun 1911

Hampir seluruh permukaan pulau dipenuhi bangunan rumah sakit untuk karantina haji, jadi bisa saya bayangkan begitu banyaknya para calon haji yang dikarantina di tempat ini. Pepohonan rimbun memberikan kesejukan di tengah pulau. Pemerintah juga mendirikan beberapa saung tempat untuk bersantai dan menikmati desau angin laut.

Memancing menjadi salah satu kegiatan seru di Pulau Cipir. Dari dermaga tampak bapak-bapak asyik melemparkan kailnya dan berharap ikan segera menyambar. Terik matahari tak mereka rasakan ketika lahut dalam kegiatan memancing.

Di satu sudut pulau, saya melihat semacam jembatan terputus yang mengarah ke pulau seberang. Saya pikir jembatan ini merupakan penghubung Pulau Cipir dan Pulau Onrust di seberang sana. Jaraknya tidak terlalu jauh dan Pulau Onrust terlihat dengan jelas. Jembatan ini dibuat untuk mengevakuasi para jemaah haji dari Pulau Onrust ke Pulau Cipir yang terkena penyakit menular.

Jembatan putus penghubung Pulau Cipir dan Pulau Onrust
Jembatan putus penghubung Pulau Cipir dan Pulau Onrust

Pulau ini menjadi satu kesatuan yang utuh. Di Pulau Onrust kita bisa menemukan situs-situs reruntuhan bangunan barak karantina haji pada tahun yang sama dengan Pulau Cipir. Pulau ini lebih besar dari Pulau Cipir. Konon, barak karantina haji di Pulau Onrust dapat menampung 100  orang jemaah haji.

Situs barak karantina haji di Pulau Onrust tahun 1911
Situs barak karantina haji di Pulau Onrust tahun 1911

Pulau-pulau ini merupakan pulau yang tak berpenghuni. Tapi tenang saja, di Pulau Onrust sudah terdapat warung untuk sekedar jajan atau meneguk air untuk pelega dahaga.

Saya memang tidak sempat ke Pulau Kelor, tapi dari Pulau Onrust saya bisa melihat benteng Mortello di Pulau Kelor dari kejauhan. Kemegahan dan kekokohannya memang mengagumkan. Terlihat beberapa kali speedboat menyambangi pulau itu. Jelas terlihat pulau itu kini semakin populer setelah beberapa kali menjadi sorotan kamera media massa.

Pulau Kelor dan benteng Mortello
Pulau Kelor dan benteng Mortello

Perjalanan ini memang singkat, namun bagai menyusuri lorong waktu memasuki masa-masa pendudukan VOC di Indonesia dan merasakan sendiri cerita historis kental yang terkandung dalam pulau ini. Perjalanan menjadi tidak biasa dikala perjalanan dimaknai dengan pengalaman-pengalaman yang luar biasa.

Categories
Lomba

Taman Simalem Resort, Karo

Taman yang berada di atas bukit dengan menampilkan pemandangan Danau Toba dari atas bukit. Udara yang sejuk dengan tata taman yang modern menjadikan taman ini menciptakan suasana damai dan tenang. Taman ini berada di suatu komplek resort yang sekaligus menyediakan wahana outbond dan keindahan alam disekitar resort seperti air terjun, taman burung dan bersantai mendengar gemericik air sungai. Kini, Taman Simalem Resort menjadi salah satu objek wisata populer di Tanah Karo Sumatera Utara.

Taman Simalem Resort
Taman Simalem Resort
Categories
Travelling

Temukan Tumpukan Emas Batangan Disini!

Museum Bank indonesia
Museum Bank indonesia

Berkunjung ke museum Bank Indonesia sudah pasti yang terbayang dibenak adalah sejarah perkembangan uang di Indonesia. selain itu ternyata, di Museum Bank Indonesia juga kita temukan bagaimana kisah Hindia Belanda memasuki Indonesia dan sejarah nenek moyang Indonesia yang sering disebut seorang pelaut. Ada hal menarik lainnya di Museum ini, di salah satu ruangan disini terdapat tumpukan emas batangan yang menyilaukan mata. Tentu bukan emas betulan toh, namanya juga museum, semua ya replika. 😀