Categories
Hiking

Sapaan Pagi Dari Gunung Lembu

Memang gunung ini masih belum populer bagi kalangan para penikmat ketinggian. Saya pun masih sangat asing dan merasa sangat aneh dengan nama gunung ini. Letaknya yang tak jauh dari Jakarta membuat saya agak menyangsikan keberadaan gunung ini. Ah yang benar ada gunung deket sini. Salah kali, pikirku saat itu. Cuma karna sudah sangat ingin naik gunung dan penasaran juga dengan keberadaan gunung ini yang konon disebut Gunung Lembu karena banyak warga yang ternak lembu/sapi di gunung tersebut.
Lingga, saya kenal pertama kali pada saat pendakian ke Gunung Guntur mengajak saya ke Gunung Lembu. Yang bikin makin penasaran ketika saya tanya siapa saja yang ikutan, dia selalu bilang ‘ada deh! Lu ga kenal ka’ hahaha, saya hanya ingin memastikan ada perempuan, biar ada teman sesama wanita, hehe..
Lingga tak salah mengajak Kak Dabe, perempuan tangguh yang jadi teman nanjak saya kemana-mana. Dia seperti emak saya yang bisa mengurus segala sesuatu dengan telaten. Intinya saya merasa aman kalau ada dia, semua bereeess.. hahaha
Sepakat bertemu di Stasiun Beos ( Stasiun Jakarta Kota) Sabtu sebelum jam 8 pagi, saya pun setuju. Jumat malam Kak Dabe menginap di kosan saya, dan mulai packing yang akhirnya selesai jam 1 pagi (hooaamm, ngantuuk!). Ternyata malam berlalu sangat cepat, Sabtu pagi saya masih meringkuk dibawah selimut disaat Kak Dabe sudah bersiap-siap untuk berangkat. Kebiasaan telat saya agaknya sudah akut.. hiiikss.. Mandi seadanya dan kemudian berangkat tanpa dandan dulu (kan mau masuk hutan, hahaha).
Kami berangkat dari Stasiun Cawang ke meeting point di Stasiun Beos. Dalam pikiran saya memang jaraknya dekat, mungkin sekitar setengah jam pasti nyampe. Tapi apa boleh dikata, naik kereta ternyata bisa juga kena macet, keretanya lumayan lama berhenti di stasiun Manggarai dan ngantri masuk ke Stasiun Beos.
Kami mulai ngga tenang takut ditinggal, karena jarum jam sudah mengarah ke 8.15 yang berarti kami sudah telat setengah jam dari perjanjian. Semakin panik karena teman-teman bilang kereta ke Purwakarta segera berangkat. Mungkin juga mereka sudah bete. Duduk pasrah jadi pilihan terbaik sambil bersabar menunggu giliran gerbong kereta saya memasuki Stasiun Beos.
Tiba di Stasiun Beos kami mencari sosok si Lingga yang katanya nongkrong dekat gerbang masuk. Akhirnya kami menemukannya bersama Ciong yang juga pertama kali saya kenal waktu pendakian ke Gunung Guntur. Saya juga berkenalan dengan tiga teman baru lainnya yang duduk melingkar di lantai stasiun, ada Komeng, Tris dan Jamal. Aaii, bener saja saya dan Kak Dabe berada diantara 5 pria kece.. ahaaakk..
Kata Komeng sih sambil menunggu dua wanita cakep (read: Rika dan Dabe 😀 ) mereka akhirnya menyantap nasi uduk sama ketan sementara Jamal yang baik hati rela mengantri untuk mendapatkan tiket kereta seharga 3ribu Rupiah yang bisa mengantarkan kami sampai Stasiun Purwakarta.
Perjalanan ke Purwakarta selama 3 jam saya manfaatkan untuk tiduurr.. haha, tapi tetap saja tidak bisa pulas karna AC  16 derajat celcius kok malah panas seperti di sauna. Uuhh, merem melek ini menyiksa kakaak.. kereta ekonomi seharga 3 ribu Rupiah sebenarnya ini lebih dari cukup sih dengan gerbong yang lumayan bersih walaupun AC nya yang ngadat seperti tidak ber-AC. Tapi yang paling tidak saya suka memang toiletnya yang baunya bikin mual itu.
Pukul 1 siang akhirnya kami tiba di stasiun Purwakarta. Beruntung nya kami karena cuaca hari ini sangat cerah. Melihat stasiun ini membuat saya terpana sebentar karena banyak sekali tumpukan gerbong-gerbong kereta disusun rapi di lahan sebelah stasiun. Melihat penampakan berbeda dari stasiun lainnya, berhubung kami terlahir di generasi narsisme maka foto bareng sebentar boleh dong, hehehe..

image
Tiba di Stasiun Purwakarta

Pintu keluar stasiun ini juga unik, kami diantar petugas sampai ke gerbang keluar dan beliau membukakan gerbang yang masih tergembok. Duh, apa setiap penumpang yang keluar akan dihantarkan kemudian gembok gerbang dibuka, setelah penumpang keluar gerbang dikunci lagi yaa?
Purwakarta merupakan sebuah kota kecil di daerah Jawa Barat. Kota ini mempunyai tata ruang yang rapi dan sangat menyenangkan. Purwakarta sangat kental dengan budaya Sunda terlihat dari setiap sudut ruang kota banyak ornamen Sunda seperti kujang dan tokoh pewayangan Sunda.
Untuk menuju pos pendakian Gunung Lembu kami harus menempuh sekitar 2 jam perjalanan lagi. Banyak angkot yang menawarkan jasa untuk menghantarkan kami sampai kesana. Tawar menawar berlangsung antara Lingga dan Aa supir angkot. Sepakat harga dan Aa angkot juga akan menjemput kami esoknya di pos pendakian.
Aa angkot yang ramah dan baik menghantarkan kami dulu ke sebuah masjid. Teman-teman saya yang soleh menunaikan ibadah Sholat dulu, hehe.. Berhubung disebelah masjid ada warung nasi, sekalian saja kami bersantap siang disitu. Menu siang itu nikmat banget rasanya. Mungkin kah karena lapar atau kah karena memang enak, yang jelas makanan lewat di kerongkongan nikmat rasanya. Haha..
Kini perjalanan sesungguhnya dimulai. Mobil angkot mulai melaju melewati tanjakan yang cukup terjal. Awalnya saya pikir mobil angkotnya ngga akan kuat melewati tanjakan yang curam apalagi beberapa kali bemper mobil terantuk ke aspal jalanan. Saya sempat curiga jangan-jangan kami akan berakhir dengan mendorong mobil angkot ke atas karna ngga kuat tanjakan, untungnya khayalan saya tidak terjadi.
Semakin mendekati tujuan, awalnya kami pikir salah jalan karena Aa angkot beberapa kali berhenti dan bertanya ke warga lokal jalan menuju Gunung Lembu. Kecurigaan semakin menjadi ketika melihat penampakan gunung curam di sebelah kiri. Gunung yang lebih cocok untuk Rock climbing itu ternyata Gunung Parang. Gunung yang seperti tebing dengan batuan cadas berdiri angkuh disebelah kiri saya ketika angkot kami lewat.
Purwakarta memang sedang hits dengan tiga gunung yang menjadi destinasi pendakian baru bagi para penikmat ketinggian. Gunung Lembu, Gunung Bongkok dan Gunung Parang untuk climbing saling berdampingan dan dikelilingi waduk Jatiluhur. Alam yang saling berdampingan ini seperti tawaran sempurna yang tak bisa ditolak.
Setelah melewati beberapa perkampungan, kami tiba di Desa Sukatani sebagai titik awal pendakian. Petugas menyambut dengan ramah. Di pos ini juga terlihat beberapa kelompok orang yang sepertinya baru turun. Kami bersiap-siap dan repacking sebelum melakukan pendakian. Berdoa sebelum nanjak sangat penting. Menyerahkan diri ke Yang Maha Kuasa akan membuat perjalanan kita akan semakin ringan dan nyaman.
Oiya, awal pendakian kami memang dihadiahi beberapa kotoran sapi dimana-mana.. hahaa, jadi tak salah kalau gunung ini disebut Gunung Lembu. Trek nya cukup membuat ngos-ngosan. Menanjak terus sampai punggung Gunung Lembu. Kalau naik saat musim hujan mungkin trek nya akan lebih sulit karena kontur tanahnya yang licin dan lembek.
Tiba di punggungan gunung, treknya naik turun dan sebagian kami harus menyusuri dua sisi jurang kiri dan kanan. Namun pemandangan ciamik juga tak bisa dilewatkan begitu saja. Saya baru menyadari gunung ini ternyata dikelilingi oleh waduk. Kiri kanan jurang terlihat waduk.
Untuk mencapai puncak Gunung Lembu kami menempuhnya dalam 2 jam. Sebelum puncak kami melewati sebuah pos keramat. Disitu terdapat makam keramat tanpa nisan dan juga dibangun sebuah saung. Ada sajadah disitu, mungkin bisa juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk sholat. Sambil menunggu Kak Dabe yang ditemani Ciong (baik yak 😀 ) yang menyebut diri mereka tim keong, kami sempat beristirahat disitu karena tempatnya yang adem dan bisa leyeh-leyeh di saung.
Pukul 6 sore kami tiba di puncak Gunung Lembu. Beberapa orang sudah mendirikan tenda. Hari mulai gelap, headlamp mulai kami pasang untuk mencari spot mendirikan tenda. Karena puncak gunung tidak luas dan tidak banyak lokasi yang datar, maka kami putuskan mendirikan tenda agak dibawah dan bersebelahan dengan lembah. Disebelahnya juga terdapat batu besar yang kemudian tempat kami nongkrong menikmati kesunyian malam.
Karena bersebelahan dengan lembah, angin malam agak kencang menampar tenda kami, untuk mensiasatinya maka flysheet kemudian diikatkan mendekati tanah hingga hampir menutupi tenda. Yang paling berkesan ketika naik gunung itu adalah kebersamaannya. Kebersamaan waktu perjalanan naik, saling membantu, saling menunggu (cieh kak Dabe dan Ciong), saling berbagi, intinya semuanya jadi saling 😀
Setelah tenda berdiri, kami berbagi tugas untuk masak. Suasana malam yang sunyi senyap jadi pecaaahh.. Yang tadinya tak kenal, malah sudah seperti kawan lama.. ihiiikk.. ngobrol ngawur ngidul mengakrabkan kami.
Tadaaa, makanan mateng, kami bertujuh masuk ke tenda dan makan dengan penerangan seadanya. Makanan digelar di lembaran kertas nasi hasil barter air dengan pendaki lainnya. Walaupun nasi dan lauk sudah tak berbentuk, nikmatnya rebutan makanan itu tak ada duanya, kalau kata Mas Tris ‘ini yang saya carii’ yuhuuu.. Sampe yang lain sudah menyerah kekenyangan, doi tetap santai makan sampai butir nasi terakhir, ckckck..
Karena di gunung ini tak ada air, dan kami hanya membawa persediaan air secukupnya, tisu basah jadi solusi untuk membersihkan nesting dan perangkat masak lainnya. Yaah, di gunung walaupun tidak terlalu higienis tetap sehatlaah.. hahaa
Malam masih panjang, setelah semua perlengkapan makan dirapikan, ah masa tidur sih, sayang banget malam indah ini hanya diisi dengan makan dan tidur. Kami memutuskan untuk pergi ke tempat yang katanya cocok banget menikmati waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta dari ketinggian. Tempat itu tidak terlalu jauh dari tenda. Namun berhubung trek nya yang menurun tajam, pulang dari sana tetap saja akan capeek..
Kami berangkat menyusuri jalanan yang tak terlihat karena gelapnya malam. Ditengah jalan, kami berpapasan dengan pendaki lain yang sudah kembali dari tempat itu. Para ibu-ibu dan bapak-bapak yang tangguh. Mungkin mereka sepertinya mengadakan acara reunian atau acara keluarga gitu. Mereka saja kuat, masa anak muda nyerah! Haha…
Pemandangan takjub di depan mata. Lampu-lampu bertebaran di sekitar tambak di waduk. Gemerlap kota Purwakarta juga terpancar dari kejauhan. Pemandangan malam ini membuat saya ingin agak lama duduk di batuan pinggiran tebing ini. Sorotan lensa kamera pun agaknya susah menangkap indahnya malam ini. Pandangan mata memang takkan terganti sob. ^_^
Malam semakin temaram, saya dan kak Dabe sudah menarik sleeping bag bersiap tidur. Di luar tenda saya masih mendengar suara Komeng dan Ciong. Saya merasa aman saat mereka masih terjaga. Namun entah kenapa malam itu saya susah tidur, mungkin karena sepanjang perjalanan di kereta dan di angkot saya tidur, jadinya saya begadang sambil meringkuk dekat Kak Dabe.
Tengah malam sekitar pukul 2 dini hari saya pun masih terjaga mendengar hiruk pikuk diluar tenda. Ternyata ada pendaki lain yang baru tiba saat itu dan mencari spot mendirikan tenda yang nyaris sudah tidak ada. Mungkin mereka sengaja berangkat malam dari bawah agar tidak terlalu capek saat mendaki.
Gunung Lembu tidak terlalu tinggi sehingga sangat cocok untuk para pendaki pemula. Bahkan, gunung ini dapat ditempuh dalam satu hari naik turun tanpa harus menginap satu malam di puncak. Namun, saya memang lebih suka untuk bermalam di puncak, yang kami cari memang itu. Suasananya, kebersamaannya dan menikmati alam terbuka dengan memasrahkan segenap jiwa raga dalam pelukan alam. Suatu rasa yang mungkin saya pun tak bisa mendeskripsikannya. Sebuah rasa yang mampu membuat saya ketagihan mencapai puncak-puncak lainnya walaupun lelah dan capek.
Malam itu ternyata tidak begitu dingin, tidak seperti gunung-gunung lainnya yang sampai membuat saya menggigil. Bangun pagi itu pun terasa ringan. Ternyata banyak juga pendaki yang baru datang pagi dan langsung ke spot terbaik menikmati sunrise dengan hamparan waduk dibawahnya.

image
Hangatnya sang mentari pagi, Mt. Lembu

Kami turun kembali ke batu di pinggir tebing itu. Sesampainya disana ternyata banyak pendaki yang sudah bersantai menikmati kehangatan sang surya yang datang perlahan.
Saya ingin berlama-lama di tempat itu. Mengabadikan rasa takjub dalam sebuah foto rasanya tak cukup, Komeng kemudian merekamnya dalam sebuah video. Saya tidak menyesal tiba di tempat itu. Mas Tris, ditengah orang-orang sibuk foto narsis, si pelor itu tidur dimana saja , sampai-sampai pemandangan indah di depan mata pun tak digubris. Dia tiduran di batu raksasa tempat kami berpijak saat itu. Katanya sih, begitu caranya menikmati alam.. ahaakk, iya iya deh..

image
Saya dan Kak Dabe, viewnya Gn. Parang

Setelah puas menyambut sapa pagi Gunung Lembu, kami nanjak kembali ke tenda dan berbagi tugas kembali untuk masak. Yes, memasak menjadi bagian yang penting dan menyenangkan bila mendaki dan menginap di atas gunung.
Kami sudah janji dengan Aa angkot untuk menunggu kami di pos pendakian pukul 1 siang. Jadi, setelah makan dan istirahat sebentar, kami segera packing dan melipat tenda. Memastikan semua barang sudah masuk ke dalam carrier dan sampah-sampah sudah dikumpulkan, kami berdoa sebelum berangkat turun. Oiya, kalau naik gunung, jangan sekali-kali merusak alam yang telah menjaga kita satu malam tadi. Jangan pernah meninggalkan sampah. Intinya, apa yang kita bawa dari bawah, bawalah kembali saat kita pulang termasuk sampah.
Perjalanan turun ternyata tidak terlalu lama, saya hanya membutuhkan waktu sekitar 50 menit untuk turun. Tentu saja karena saya diajari Komeng untuk lari sampai bawah, haha.. Aaaah, benar-benar pengalaman pertama lari-larian dari atas gunung, ckckck.. tapi sarannya memang sangat manjur karena trek nya yang agak terjal dan tanah yang longgar lari membuat kaki saya tidak sakit dan tidak terlalu lelah. Hanya saja terkadang saya agak panik karena susah berhenti, haha..
Kami tiba di pos pendakian lebih awal dari rencana, maka saya dan kak Dabe memanfaatkan waktu untuk mandi. Selesai mandi rasanya segala lelah hilang dan segar kembali. Lingga memasak mie untuk santap siang dan sambil menunggu Aa angkot datang.
Pulang kembali ke Jakarta. Dan kami kini bukan menjadi orang asing lagi. Satu malam cukup untuk mengakrabkan kami saat itu. Bahkan orang asing pun bisa menjadi teman perjalanan yang baik dan sangat menyenangkan. Pergi tak kenal, pulang jadi saudara.
Semoga ketemu di puncak lainnya orang-orang kece. ^_^