Categories
Hiking

Pendakian Gunung Guntur 2.249 mdpl

< pendakian yang menegangkan, perosotan maut namun menantang, gunung kecil mnamun menggigit, para penakut, taklukkanlah ketakutanmu di gunung ini >

Jumat sore, ingat belum packing, saya buru-buru pulang ke kosan. Weekend itu saya tidak ingin berdiam diri di kota ini. Mumpung masih muda dan masih sehat, saya ingin pergi kemana saja saya bisa. Naik gunung guntur menjadi tujuanku saat itu. Saya bersama kak Dabe menemukan seorang teman yang bersedia menemani kami kesana. Namanya Chiong yang hobinya memang naik gunung. Maklum saja, saya belum pernah sekalipun ke gunung Guntur.

image
Kota Garut dari Puncak 1

Gunung Guntur merupakan aalah satu gunung di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Walaupun ketinggiannya hanya 2.249 mdpl, jangan pernah ambil enteng karena kita tak pernah tahu tantangan dibalik pesonanya.

Kami sepakat bertemu di terminal Kampung Rambutan. Terminal ini menjadi awal dari perjalanan kami. Terminal malam itu tampak sangat sibuk. Banyak banget yang membawa carrier lengkap dengan kostum seperti siap mendaki puncak puncak gunung. Entah mau kemana saja mereka, saya sibuk celingak celinguk mencari teman rombongan saya. Terminal remang-remang ditengah malam temaram, akhirnya saya menemukan teman-teman saya dipojokan sambil melambaikan tangan ke arah saya.

Kami masih menunggu, saat itu detik-detik perubahan harga bahan bakar. Menurut kabar yang beredar, tepat tengah malam bahan bakar akan naik, hal ini tentu berpengaruh dengan ongkos bus yang akan kami tumpangi. Jelas sekali, para supir bus menggunakan momen tersebut mencari keuntungan sebelum waktunya. Ongkos sudah mulai dinaikkan walaupun BBM baru akan naik tengah malam nanti.

Mereka bersikukuh menaikkan harga dengan alasan tersebut. Maka jadilah aksi tawar menawar antara kami dan supir bus. Hadeeuuhh, saya baru kali ini nih merasakan naik bus tapi mesti nego ongkos dulu sama si supir. Chiong masih belum sepakat dengan ongkos yang ditawarkan beberapa supir kepadanya.

Akhirnya kami masih berdiam di bangku-bangku yang disediakan di terminal. Sudah hampir jam 11 malam seorang supir akhirnya menawarkan harga ongkos lebih murah sedikit dibandingkan dengan harga supir-supir sebelumnya, yah walaupun tetap saja harganya masih tetap mahal hampir dua kali lipat dari harga sebelum BBM naik. Kami akhirnya pasrah dan naik bus. Saya pikir bus nya akan langsung berangkat, eh ternyata ngetem dulu sampai lamaaa..

Dari dalam bus, saya melihat para pembawa carrier lainnya masih berusaha nego ongkos kesana kemari, namun berakhir dengan naik bus yang saya tumpangi. Haha

Kebiasaan, saat sudah nempel di bangku bus, mata ini memang maunya langsung merem. Hadeuuh, susah banget rasanya melawan rasa kantuk, dan saya pun tepar tak berdaya. Sayup-sayup saya masih mendengar kak Dabe ngobrol dengan teman lainnya. Chiong duduk di bangku paling belakang sedangkan kami duduk di bangku paling depan dibelakang supir.

Chiong bilang, kita bakal berenti di pom bensin Tanjung dan jangan sampe kelewatan sampe terminal Garut, bangunin gw kalo udah sampe pom bensin. Kami pun mengangguk tanda mengerti.

Entah sudah berapa lama saya tidur, ketika bangun rupa-rupanya bus sudah berhenti di terminal Garut, dan kami satu bus yang ternyata mempunyai tujuan yang sama mau berhenti di terminal Tanjung, kompak ketiduran dan baru terbangun ketika supir teriak terminal-terminal, terakhir-terakhir.

Chiong menghampiri kami ke depan dan bilang, “kak kok ga bangunin gw, kita kelewatan dah” hahaa.. cuma bisa pasrah dan turun bus. Saat itu sekitar pukul setengah 3 subuh. Mataku masih setengah terpejam sambil turun dari bus. Terminal Garut tidak terlalu sepi. Tidak susah mencari angkutan yang bersedia menghantarkan kami walaupun tarifnya agak mahal.

Di terminal Tanjung ada semacam ruangan kosong yang biasa digunakan para pendaki menanti pagi. Ruangan gelap gulita tanpa lampu, ada rombongan lain disalah satu pojok ruangan. Kami juga mencari spot untuk meletakkan barang-barang dan merebahkan diri sejenak. Disini kami juga masih menunggu beberapa teman Chiong yang belum tiba.

Pagi hari, kami mulai berkemas, bersiap mengangkat carrier masing-masing menuju jalanan. Sarapan pagi sangat penting sebagai sumber tenaga untuk perjalanan panjang nanti. Untung ada yang jualan di seberang jalan. Makan seadanya yang penting perut terisi. Kami menunggu truk-truk pasir yang bisa ditumpangi sampai kaki gunung Guntur.

Fyi, disepanjang kaki gunung Guntur banyak banget aksi penambangan pasir ilegal. Hal ini sebenarnya cukup membuat prihatin apalagi setelah melihat keadaan sekitar kaki gunung sampai ke lereng semakin tergerus erosi akibat praktek ilegal ini. Kata supir truk waktu saya mendapat tumpangan setelah turun gunung, siapa saja bebas menambang disini, tidak ada aturan dan ini sudah berlangsung lama. Ckckckck, mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam akibat tindakan mereka sendiri.

Akhirnya kami mendapat truk tumpangan. Satu per satu naik ke atas, kalo ditotal tak disangka ternyata kami ada 20 orang, wah wah.. rame yak hehehe…

Perjalanan ini ternyata banyak kejutan. Tidak ada yang menyangka jalanan mulus secara drastis berubah setelah desa terakhir kami lewati. Truk melewati jalanan yang tidak biasa, yang tidak selayaknya dilewati. Truk kemudian terjungkal ke kiri dan ke kanan, dan kabar kami di dalam truk, sungguh tidak baik. Berpegangan agar tidak merosot kebelakang karena jalan yang menanjak terjal dan berbatu cukup membuat kami terpental kesana kemari.

Tidak cukup penderitaan itu, perut saya mulai mules akibat guncangan keras. Beberapa sampai terduduk lemas dan Ali mulai mual. Aaahh, belum apa-apa perjalanan ini sudah menyiksa. Karena baru sarapan jadi perut jadi sangat tak karuan, mual sambil menahan badan agar tak terpental, keadaan ini sangat menyiksa mas brooh..

Akhirnya kami sampe di kaki gunung Guntur ditengah penambangan pasir. Para penambang sudah mulai beraktivitas saat kami melintas. Disepanjang mata memandang terlihat tambang pasir, sebagian sudah ditinggalkan penambangnya dan mencari lahan baru.

Saya memandang ke puncak, tampak puncak terasa dekat dengan lerengnya yang gundul. Hanya membentang savana sampai puncak. Tapi itu hanya fatamorgana, setelah melaluinya saya takkan bisa membayangkan cerita pahit dibalik lereng gundul itu huhuhuu.. perjalanan menyiksa menanti, yuhuuu…

Curug Citiis 1 sampe Curug Citiis 3

Kami memilih jalur ini saat memulai memanjat. Sebenarnya ini sungai dengan curug ala-ala gitu, tapi lumayan sebagai pelepas dahaga ketika jiwa raga mulai mengering bahkan hanya ketika memandang lereng curam tempat penyiksaan itu.
Trek di jalur ini melewati bongkahan batu besar dan pepohonan. Memanjat batuan terjal ini sebenarnya sudah biasa seperti trek gunung pada umumnya. Namun efek dari guncangan truk tadi belum berakhir, kaki saya masih lemas dan gemetar. Ternyata kak Yani di depan saya juga mulai pucat dan terduduk di batu tempatnya bertumpu. Saya agak panik apalagi Kak Yani sempat bilang mau balik saja, duuh, mau balik sama siapa kita lagi di tengah hutan..

Setelah beristirahat, perlahan kak Yani mulai segar kembali, kami melanjutkan perjalanan. Tiba di Curug Citiis 3 yang berarti titik terakhir dimana air masih tersedia. Yang berarti pula kami harus membawa persediaan air secukupnya. Mulai dari sini sampai puncak tidak akan ada air lagi. Penderitaan bertambah dengan berliter air yang harus kami bawa demi bertahan di puncak nanti. Ah, tapi tampaknya semua masih pada semangat. Haha..

Curug Citiis sampai Puncak 1
Rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa bahkan lebih menyambut kami setelah melewati Curug Citiis 3. Perjalanan di lereng gunung dengan kemiringan ruar biasa ini perlahan menunjukkan wajahnya. Rumput ilalang semakin pendek dan bahkan pasir kerikil yang mendominasi.

Puncak yang terlihat jelas seolah hanya fatamorgana. Ratusan langkah telah diayun tapi kok ga nyampe nyampe di puncak yaa… Ini sih sama saja seperti jalan ditempat, maju 3 langkah merosot 4 langkah, ckckckck… Saya mulai lelah, terkadang saya tiba-tiba terhenti dan bingung harus melangkah kemana. Tidak ada pegangan sama sekali dan berada di lereng dengan sudut kemiringan segitiga sama kaki.

Maaak, pengen teriak aja rasanya. Salah melangkah sedikit pasti bakal guling guling kebawah tanpa ada yang menghalangi. Saya hanya berharap penderitaan ini segera berakhir. Ah, ada pohon diatas sana, saya berusaha mempercepat langkah. Berjalan agak miring ke samping karena pohon berada disebelah kiri saya. Semakin mendekati puncak, medan semakin susah, bahkan dibeberapa titik tidak ada tumput ilalang yang menahan kerikil kerikil tajam itu.

image
Semoga tiba di pohon diatas 🙂

Cuaca lagi panas-panasnya saat kami sedang berjuang di lereng gunung itu, tak mungkin menyerah sudah setengah jalan begini.  Akhirnya saya tiba di bawah pohon pinus yang adem, teman-teman juga berlindung sejenak di pohon. Selama trek di lereng memang tidak ada pos perhentian, tidak ada tempat berteduh, jadi pohon ini kami jadikan sebagai penghibur lara #halaah…

Setelah lelah sirna, kami lanjut memanjat. Perjalanan semakin berat, carrier dipunggung juga seakan semakin berat, tenaga sangat cepat terkuras ditengah sengatan panas matahari. Ah ini pun saya masih bersyukur untung tidak hujan, apa jadinya kami kalo hujan dan kami masih berpijak di lereng penyiksaan ini..

Puncak 1 semakin dekat, semangat kami bertambah, berharap penderitaan segera berakhir, kaki saya mulai bengkak boz. Sendal gunung yang saya kenakan juga hampir menyerah yang sepanjang perjalanan berhadapan dengan kerikil kerikil tajam itu.

Yuhuu… sedikit lagi sedikit lagii, teriak yang lainnya ketika saya dan kak Yani hampir berpijak di puncak 1. Lega banget rasanya berada di ketinggian ini dan melihat pemandangan Garut tanpa ada yang menghalangi. Di puncak 1 kami menunggu teman lainnya tiba.

image
Hampir sampe puncak 1 yeay!

Rombongan lain memutuskan untuk mendirikan tenda di puncak 1. Kami yang (masih) semangat sepakat melanjutkan sampai puncak 2. Ketika saya mendongak dari puncak 1 saya melihat puncak 2 berdiri angkuh jauh lebih tinggi lagi. Trek nya masih sama seperti lereng tadi, kami berjalan menyusuri lereng puncak 2. Hujan gerimis mulai turun yang semakin mempersulit langkah kami. Untungnya hujan deras turun ketika kami sudah selesai mendirikan tenda di puncak 2.

Oiyaa, gunung Guntur memiliki 4 puncak dan di puncak 2 ada penanda semacam tugu GPS gitu. Di puncak 2 spot mendirikan tenda tidak terlalu luas dan sebagian dasarnya adalah batu sehingga agak sulit untuk menancapkan pasak tenda. Namun dari puncak 2 pemandangan semakin kece, bebas tanpa ada pohon sama sekali.

Hujan deras baru berhenti ketika kami sudah selesai makan malam. Malam ini dingin dan menusuk. Angin kencang membuat saya semakin enggan untuk keluar tenda dan menikmati kota Garut di malam hari. Tidak ada bintang malam itu karna baru turun hujan. Lampu-lampu kota Garut dari kejauhan seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi.  Hahaha..

Kami mengisi malam itu dengan saling bersenda gurau, ledek ledekan (padahal baru kenal 😁). Namanya jg di gunung, apalagi yang nge camp malam itu di puncak 2 tidak banyak, jd kami tidak bisa kemana-mana. Tapi itu justru bagus, kami punya banyak waktu untuk mengenal satu sama lain. Besok paginya, sudah seperti kawan lama saja.

image
Kebersamaan itu menghasilkan ini 😍

Pagi itu, sisa-sisa hujan kemarin masih ada. Sang mentari pun tak tampak, langit masih diselimuti kabut tebal. Kami tak bisa menikmati sunrise kece di puncak, semua berkabut. Bahkan puncak 1 saja tak kelihatan dari atas sini. Walau begitu, tak ada rasa kecewa, karna bukan itu yang kami kejar. Teman baru, kehangatan kebersamaan jadi yang utama. Sunrise hanya bonus.

Sekitar jam 10 pagi cuaca mulai cerah. Kami tak bisa berlama-lama di puncak. Setelah sarapan besar, ya besar karena banyak sekali makanan sampe ada puding segala, haha.. kami menggelar matras diluar tenda, diterpa mentari pagi kami menikmati piknik ini dan menyantap makanan sampe habis.  Setelah tenda dilipat kembali dan packing selesai kami mulai turun kembali. Tidak lupa sampah juga dibawa turun.

image
Makan besar 😄😄

Oiya, masih ingat kan trek di lereng gunung ini. Batuan kerikil di lereng telah menunggu kami. Tentu sendal yang saya kenakan takkan mampu melawannya. Bila dipaksakan, kaki saya takkan selamat sampe dibawah.

Ojan dengan baik hati meminjamkan sepatunya. Kami bertukar alas kaki, dia memakai sendal saya dibungkus kaos kaki berlapis agar tidak terluka sampai bawah. Kami kenakan sarung tangan agar tangan kami tidak hancur tergores-gores batuan yang tajam.

Daaan, kami pun mulai meluncur satu persatu menyusuri lereng tak berpohon ini. Ternyata, ini jauh lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Asalkan jauhkan pikiran dari keraguan dan ketakutan, segera meluncur saja dan tetap waspada, meluncur seperti main perosotan ini sangat menyenangkan. Hampir semua pendaki melakukan hal yang sama, karna hanya itu jalan terbaik dan tercepat.

Tak lama kami menyusuri lereng penyiksaan itu kami segera tiba di curug citiis 3. Ada saung disitu tempat kami berteduh sebentar. Lingga kemudian bersama yang lainnya mulai memasak karena main perosotan di trek yang panjang itu membuat kami lapar. Yang lainnya mengambil air dari curug. Sambil berendam kaki cukup ternyata melegakan.

Kami harus tiba kembali di pom bensin Tanjung sebelum malam. Perjalanan dilanjutkan. Tiba di kaki gunung, saya berharap ada truk pasir yang lewat sehingga kami bisa menumpang sampai pom bensin Tanjung. Rejeki pun datang, truk datang dan sang driver berbaik hati memberi tumpangan kepadaku dan Anugrah.

Setelah bersih-bersih, kami kembali ke Jakarta. Banyak bus yang lewat dari terminal Tanjung, tapi tentu saja bus nya penuh, syukur syukur masih ada tempat duduk yang tersisa, yang lainnya terpaksa duduk di lorong disela bangku penumpang. Menyantap gorengan hangat lumayan mengganjal perut kami yang kosong sampe tiba di Jakarta.

Eh, tapi sepanjang perjalanan pulang kok masih kebayang ya perosotan di lereng tadi. Aahh, bener bener jadi kenangan yuh perosotan maut.

Categories
Hiking

Sapaan Pagi Dari Gunung Lembu

Memang gunung ini masih belum populer bagi kalangan para penikmat ketinggian. Saya pun masih sangat asing dan merasa sangat aneh dengan nama gunung ini. Letaknya yang tak jauh dari Jakarta membuat saya agak menyangsikan keberadaan gunung ini. Ah yang benar ada gunung deket sini. Salah kali, pikirku saat itu. Cuma karna sudah sangat ingin naik gunung dan penasaran juga dengan keberadaan gunung ini yang konon disebut Gunung Lembu karena banyak warga yang ternak lembu/sapi di gunung tersebut.
Lingga, saya kenal pertama kali pada saat pendakian ke Gunung Guntur mengajak saya ke Gunung Lembu. Yang bikin makin penasaran ketika saya tanya siapa saja yang ikutan, dia selalu bilang ‘ada deh! Lu ga kenal ka’ hahaha, saya hanya ingin memastikan ada perempuan, biar ada teman sesama wanita, hehe..
Lingga tak salah mengajak Kak Dabe, perempuan tangguh yang jadi teman nanjak saya kemana-mana. Dia seperti emak saya yang bisa mengurus segala sesuatu dengan telaten. Intinya saya merasa aman kalau ada dia, semua bereeess.. hahaha
Sepakat bertemu di Stasiun Beos ( Stasiun Jakarta Kota) Sabtu sebelum jam 8 pagi, saya pun setuju. Jumat malam Kak Dabe menginap di kosan saya, dan mulai packing yang akhirnya selesai jam 1 pagi (hooaamm, ngantuuk!). Ternyata malam berlalu sangat cepat, Sabtu pagi saya masih meringkuk dibawah selimut disaat Kak Dabe sudah bersiap-siap untuk berangkat. Kebiasaan telat saya agaknya sudah akut.. hiiikss.. Mandi seadanya dan kemudian berangkat tanpa dandan dulu (kan mau masuk hutan, hahaha).
Kami berangkat dari Stasiun Cawang ke meeting point di Stasiun Beos. Dalam pikiran saya memang jaraknya dekat, mungkin sekitar setengah jam pasti nyampe. Tapi apa boleh dikata, naik kereta ternyata bisa juga kena macet, keretanya lumayan lama berhenti di stasiun Manggarai dan ngantri masuk ke Stasiun Beos.
Kami mulai ngga tenang takut ditinggal, karena jarum jam sudah mengarah ke 8.15 yang berarti kami sudah telat setengah jam dari perjanjian. Semakin panik karena teman-teman bilang kereta ke Purwakarta segera berangkat. Mungkin juga mereka sudah bete. Duduk pasrah jadi pilihan terbaik sambil bersabar menunggu giliran gerbong kereta saya memasuki Stasiun Beos.
Tiba di Stasiun Beos kami mencari sosok si Lingga yang katanya nongkrong dekat gerbang masuk. Akhirnya kami menemukannya bersama Ciong yang juga pertama kali saya kenal waktu pendakian ke Gunung Guntur. Saya juga berkenalan dengan tiga teman baru lainnya yang duduk melingkar di lantai stasiun, ada Komeng, Tris dan Jamal. Aaii, bener saja saya dan Kak Dabe berada diantara 5 pria kece.. ahaaakk..
Kata Komeng sih sambil menunggu dua wanita cakep (read: Rika dan Dabe 😀 ) mereka akhirnya menyantap nasi uduk sama ketan sementara Jamal yang baik hati rela mengantri untuk mendapatkan tiket kereta seharga 3ribu Rupiah yang bisa mengantarkan kami sampai Stasiun Purwakarta.
Perjalanan ke Purwakarta selama 3 jam saya manfaatkan untuk tiduurr.. haha, tapi tetap saja tidak bisa pulas karna AC  16 derajat celcius kok malah panas seperti di sauna. Uuhh, merem melek ini menyiksa kakaak.. kereta ekonomi seharga 3 ribu Rupiah sebenarnya ini lebih dari cukup sih dengan gerbong yang lumayan bersih walaupun AC nya yang ngadat seperti tidak ber-AC. Tapi yang paling tidak saya suka memang toiletnya yang baunya bikin mual itu.
Pukul 1 siang akhirnya kami tiba di stasiun Purwakarta. Beruntung nya kami karena cuaca hari ini sangat cerah. Melihat stasiun ini membuat saya terpana sebentar karena banyak sekali tumpukan gerbong-gerbong kereta disusun rapi di lahan sebelah stasiun. Melihat penampakan berbeda dari stasiun lainnya, berhubung kami terlahir di generasi narsisme maka foto bareng sebentar boleh dong, hehehe..

image
Tiba di Stasiun Purwakarta

Pintu keluar stasiun ini juga unik, kami diantar petugas sampai ke gerbang keluar dan beliau membukakan gerbang yang masih tergembok. Duh, apa setiap penumpang yang keluar akan dihantarkan kemudian gembok gerbang dibuka, setelah penumpang keluar gerbang dikunci lagi yaa?
Purwakarta merupakan sebuah kota kecil di daerah Jawa Barat. Kota ini mempunyai tata ruang yang rapi dan sangat menyenangkan. Purwakarta sangat kental dengan budaya Sunda terlihat dari setiap sudut ruang kota banyak ornamen Sunda seperti kujang dan tokoh pewayangan Sunda.
Untuk menuju pos pendakian Gunung Lembu kami harus menempuh sekitar 2 jam perjalanan lagi. Banyak angkot yang menawarkan jasa untuk menghantarkan kami sampai kesana. Tawar menawar berlangsung antara Lingga dan Aa supir angkot. Sepakat harga dan Aa angkot juga akan menjemput kami esoknya di pos pendakian.
Aa angkot yang ramah dan baik menghantarkan kami dulu ke sebuah masjid. Teman-teman saya yang soleh menunaikan ibadah Sholat dulu, hehe.. Berhubung disebelah masjid ada warung nasi, sekalian saja kami bersantap siang disitu. Menu siang itu nikmat banget rasanya. Mungkin kah karena lapar atau kah karena memang enak, yang jelas makanan lewat di kerongkongan nikmat rasanya. Haha..
Kini perjalanan sesungguhnya dimulai. Mobil angkot mulai melaju melewati tanjakan yang cukup terjal. Awalnya saya pikir mobil angkotnya ngga akan kuat melewati tanjakan yang curam apalagi beberapa kali bemper mobil terantuk ke aspal jalanan. Saya sempat curiga jangan-jangan kami akan berakhir dengan mendorong mobil angkot ke atas karna ngga kuat tanjakan, untungnya khayalan saya tidak terjadi.
Semakin mendekati tujuan, awalnya kami pikir salah jalan karena Aa angkot beberapa kali berhenti dan bertanya ke warga lokal jalan menuju Gunung Lembu. Kecurigaan semakin menjadi ketika melihat penampakan gunung curam di sebelah kiri. Gunung yang lebih cocok untuk Rock climbing itu ternyata Gunung Parang. Gunung yang seperti tebing dengan batuan cadas berdiri angkuh disebelah kiri saya ketika angkot kami lewat.
Purwakarta memang sedang hits dengan tiga gunung yang menjadi destinasi pendakian baru bagi para penikmat ketinggian. Gunung Lembu, Gunung Bongkok dan Gunung Parang untuk climbing saling berdampingan dan dikelilingi waduk Jatiluhur. Alam yang saling berdampingan ini seperti tawaran sempurna yang tak bisa ditolak.
Setelah melewati beberapa perkampungan, kami tiba di Desa Sukatani sebagai titik awal pendakian. Petugas menyambut dengan ramah. Di pos ini juga terlihat beberapa kelompok orang yang sepertinya baru turun. Kami bersiap-siap dan repacking sebelum melakukan pendakian. Berdoa sebelum nanjak sangat penting. Menyerahkan diri ke Yang Maha Kuasa akan membuat perjalanan kita akan semakin ringan dan nyaman.
Oiya, awal pendakian kami memang dihadiahi beberapa kotoran sapi dimana-mana.. hahaa, jadi tak salah kalau gunung ini disebut Gunung Lembu. Trek nya cukup membuat ngos-ngosan. Menanjak terus sampai punggung Gunung Lembu. Kalau naik saat musim hujan mungkin trek nya akan lebih sulit karena kontur tanahnya yang licin dan lembek.
Tiba di punggungan gunung, treknya naik turun dan sebagian kami harus menyusuri dua sisi jurang kiri dan kanan. Namun pemandangan ciamik juga tak bisa dilewatkan begitu saja. Saya baru menyadari gunung ini ternyata dikelilingi oleh waduk. Kiri kanan jurang terlihat waduk.
Untuk mencapai puncak Gunung Lembu kami menempuhnya dalam 2 jam. Sebelum puncak kami melewati sebuah pos keramat. Disitu terdapat makam keramat tanpa nisan dan juga dibangun sebuah saung. Ada sajadah disitu, mungkin bisa juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk sholat. Sambil menunggu Kak Dabe yang ditemani Ciong (baik yak 😀 ) yang menyebut diri mereka tim keong, kami sempat beristirahat disitu karena tempatnya yang adem dan bisa leyeh-leyeh di saung.
Pukul 6 sore kami tiba di puncak Gunung Lembu. Beberapa orang sudah mendirikan tenda. Hari mulai gelap, headlamp mulai kami pasang untuk mencari spot mendirikan tenda. Karena puncak gunung tidak luas dan tidak banyak lokasi yang datar, maka kami putuskan mendirikan tenda agak dibawah dan bersebelahan dengan lembah. Disebelahnya juga terdapat batu besar yang kemudian tempat kami nongkrong menikmati kesunyian malam.
Karena bersebelahan dengan lembah, angin malam agak kencang menampar tenda kami, untuk mensiasatinya maka flysheet kemudian diikatkan mendekati tanah hingga hampir menutupi tenda. Yang paling berkesan ketika naik gunung itu adalah kebersamaannya. Kebersamaan waktu perjalanan naik, saling membantu, saling menunggu (cieh kak Dabe dan Ciong), saling berbagi, intinya semuanya jadi saling 😀
Setelah tenda berdiri, kami berbagi tugas untuk masak. Suasana malam yang sunyi senyap jadi pecaaahh.. Yang tadinya tak kenal, malah sudah seperti kawan lama.. ihiiikk.. ngobrol ngawur ngidul mengakrabkan kami.
Tadaaa, makanan mateng, kami bertujuh masuk ke tenda dan makan dengan penerangan seadanya. Makanan digelar di lembaran kertas nasi hasil barter air dengan pendaki lainnya. Walaupun nasi dan lauk sudah tak berbentuk, nikmatnya rebutan makanan itu tak ada duanya, kalau kata Mas Tris ‘ini yang saya carii’ yuhuuu.. Sampe yang lain sudah menyerah kekenyangan, doi tetap santai makan sampai butir nasi terakhir, ckckck..
Karena di gunung ini tak ada air, dan kami hanya membawa persediaan air secukupnya, tisu basah jadi solusi untuk membersihkan nesting dan perangkat masak lainnya. Yaah, di gunung walaupun tidak terlalu higienis tetap sehatlaah.. hahaa
Malam masih panjang, setelah semua perlengkapan makan dirapikan, ah masa tidur sih, sayang banget malam indah ini hanya diisi dengan makan dan tidur. Kami memutuskan untuk pergi ke tempat yang katanya cocok banget menikmati waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta dari ketinggian. Tempat itu tidak terlalu jauh dari tenda. Namun berhubung trek nya yang menurun tajam, pulang dari sana tetap saja akan capeek..
Kami berangkat menyusuri jalanan yang tak terlihat karena gelapnya malam. Ditengah jalan, kami berpapasan dengan pendaki lain yang sudah kembali dari tempat itu. Para ibu-ibu dan bapak-bapak yang tangguh. Mungkin mereka sepertinya mengadakan acara reunian atau acara keluarga gitu. Mereka saja kuat, masa anak muda nyerah! Haha…
Pemandangan takjub di depan mata. Lampu-lampu bertebaran di sekitar tambak di waduk. Gemerlap kota Purwakarta juga terpancar dari kejauhan. Pemandangan malam ini membuat saya ingin agak lama duduk di batuan pinggiran tebing ini. Sorotan lensa kamera pun agaknya susah menangkap indahnya malam ini. Pandangan mata memang takkan terganti sob. ^_^
Malam semakin temaram, saya dan kak Dabe sudah menarik sleeping bag bersiap tidur. Di luar tenda saya masih mendengar suara Komeng dan Ciong. Saya merasa aman saat mereka masih terjaga. Namun entah kenapa malam itu saya susah tidur, mungkin karena sepanjang perjalanan di kereta dan di angkot saya tidur, jadinya saya begadang sambil meringkuk dekat Kak Dabe.
Tengah malam sekitar pukul 2 dini hari saya pun masih terjaga mendengar hiruk pikuk diluar tenda. Ternyata ada pendaki lain yang baru tiba saat itu dan mencari spot mendirikan tenda yang nyaris sudah tidak ada. Mungkin mereka sengaja berangkat malam dari bawah agar tidak terlalu capek saat mendaki.
Gunung Lembu tidak terlalu tinggi sehingga sangat cocok untuk para pendaki pemula. Bahkan, gunung ini dapat ditempuh dalam satu hari naik turun tanpa harus menginap satu malam di puncak. Namun, saya memang lebih suka untuk bermalam di puncak, yang kami cari memang itu. Suasananya, kebersamaannya dan menikmati alam terbuka dengan memasrahkan segenap jiwa raga dalam pelukan alam. Suatu rasa yang mungkin saya pun tak bisa mendeskripsikannya. Sebuah rasa yang mampu membuat saya ketagihan mencapai puncak-puncak lainnya walaupun lelah dan capek.
Malam itu ternyata tidak begitu dingin, tidak seperti gunung-gunung lainnya yang sampai membuat saya menggigil. Bangun pagi itu pun terasa ringan. Ternyata banyak juga pendaki yang baru datang pagi dan langsung ke spot terbaik menikmati sunrise dengan hamparan waduk dibawahnya.

image
Hangatnya sang mentari pagi, Mt. Lembu

Kami turun kembali ke batu di pinggir tebing itu. Sesampainya disana ternyata banyak pendaki yang sudah bersantai menikmati kehangatan sang surya yang datang perlahan.
Saya ingin berlama-lama di tempat itu. Mengabadikan rasa takjub dalam sebuah foto rasanya tak cukup, Komeng kemudian merekamnya dalam sebuah video. Saya tidak menyesal tiba di tempat itu. Mas Tris, ditengah orang-orang sibuk foto narsis, si pelor itu tidur dimana saja , sampai-sampai pemandangan indah di depan mata pun tak digubris. Dia tiduran di batu raksasa tempat kami berpijak saat itu. Katanya sih, begitu caranya menikmati alam.. ahaakk, iya iya deh..

image
Saya dan Kak Dabe, viewnya Gn. Parang

Setelah puas menyambut sapa pagi Gunung Lembu, kami nanjak kembali ke tenda dan berbagi tugas kembali untuk masak. Yes, memasak menjadi bagian yang penting dan menyenangkan bila mendaki dan menginap di atas gunung.
Kami sudah janji dengan Aa angkot untuk menunggu kami di pos pendakian pukul 1 siang. Jadi, setelah makan dan istirahat sebentar, kami segera packing dan melipat tenda. Memastikan semua barang sudah masuk ke dalam carrier dan sampah-sampah sudah dikumpulkan, kami berdoa sebelum berangkat turun. Oiya, kalau naik gunung, jangan sekali-kali merusak alam yang telah menjaga kita satu malam tadi. Jangan pernah meninggalkan sampah. Intinya, apa yang kita bawa dari bawah, bawalah kembali saat kita pulang termasuk sampah.
Perjalanan turun ternyata tidak terlalu lama, saya hanya membutuhkan waktu sekitar 50 menit untuk turun. Tentu saja karena saya diajari Komeng untuk lari sampai bawah, haha.. Aaaah, benar-benar pengalaman pertama lari-larian dari atas gunung, ckckck.. tapi sarannya memang sangat manjur karena trek nya yang agak terjal dan tanah yang longgar lari membuat kaki saya tidak sakit dan tidak terlalu lelah. Hanya saja terkadang saya agak panik karena susah berhenti, haha..
Kami tiba di pos pendakian lebih awal dari rencana, maka saya dan kak Dabe memanfaatkan waktu untuk mandi. Selesai mandi rasanya segala lelah hilang dan segar kembali. Lingga memasak mie untuk santap siang dan sambil menunggu Aa angkot datang.
Pulang kembali ke Jakarta. Dan kami kini bukan menjadi orang asing lagi. Satu malam cukup untuk mengakrabkan kami saat itu. Bahkan orang asing pun bisa menjadi teman perjalanan yang baik dan sangat menyenangkan. Pergi tak kenal, pulang jadi saudara.
Semoga ketemu di puncak lainnya orang-orang kece. ^_^

Categories
Hiking Travelling

Gunung Sibayak, Mendaki Sekaligus Berwisata

Niat untuk mendaki Gunung Sinabung pupus sudah. Desember telah tiba, dan Sinabung masih belum selesai berdentum memuntahkan material vulkanik dari perutnya. Gunung Sibayak menjadi pilihan lain. Di Sumatera Utara, Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak sudah lama menjadi primadona di kalangan para pendaki gunung. Bahkan saat ini, tidak hanya pendaki saja yang bisa sampai di puncak Sibayak, pemerintah daerah setempat telah membuat jalan mulus sampai tiba di tubuh Sibayak, sehingga jalur ini dapat dilalui oleh mobil.

Gerbang pendakian Gunung Sibayak ada tiga jalur pendakian. Rute pertama bisa dilalui dari kaki Gunung Sibayak di Desa Raja Berneh atau sering disebut sebagai Desa Semangat Gunung. Desa ini berjarak 15 km dari Berastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas yang tersebar di sekitar kaki gunung. Di desa ini juga terdapat PT Pertamina yang memanfaatkan sumber panas bumi.

Jalur kedua dapat ditempuh dari kaki Gunung Sibayak dari Desa Jaranguda. Desa ini sangat dekat dari kota Berastagi yakni hanya berjarak 3 km. Bagi pendaki atau wisatawan lebih banyak memilih jalur ini.

Jalur ketiga yang terkenal cukup ekstrim adalah jalur 54 yang ditempuh dari kawasan Penatapan yang terletak di jalan raya Medan-Berastagi. Jalur ini berada di KM 54 dari Medan menuju Berastagi. Jalur ini merupakan rute terpanjang dan tergolong ekstrim. Bagi pemula tidak disarankan untuk mendaki lewat jalur ini.

Kebetulan, teman-teman saya juga lagi berada di Medan saat tanggal nanjak ditetapkan. Jadi kami sepakat Berastagi sebagai meeting point. Awalnya terjadi perdebatan diantara kami, apakah menginap dan mendirikan tenda di area perkemahan Gunung Sibayak atau pulang hari itu juga. Namun, karena berbagai pertimbangan, maka kami putuskan untuk melakukan perjalanan pulang hari itu juga.

Jalur Pendakian Desa Jaranguda
Jalur Pendakian Desa Jaranguda

Gunung Sibayak berada di ketinggian 2.212 mdpl, lebih rendah dari Gunung Sinabung. Pendakian Gunung Sibayak sangat cocok untuk para pemula,apalagi melalui jalur dari Desa Jaranguda. Kami memutuskan naik dari Desa Jaranguda dan turun lewat Desa Raja Berneh. Gunung Sibayak tergolong gunung berapi aktif mengeluarkan belerang. Gunung ini sempat meletus disekitar tahun 1800.

Persiapan kami tidak terlalu banyak karena akan pulang hari itu juga.Kami membawa bekal siang dan pakaian anti hujan. Pakaian anti hujan dan pakaian ganti menjadi prioritas saat itu karena dipenghujung Desember sudah sering terjadi hujan ekstrim. Berangkat menapaki aspal yang meliuk mengikuti jalan. Langkah kami harus terhenti sejenak ketika ada mobil angkutan yang melewati kami. Terlihat beberapa bule kece didalamnya. Namun kami masih bertekad untuk berjalan kaki sampai gerbang pendakian.

Pandangan sedikit berkabut sisa embun yang belum sirna ketika kami memulai pendakian. Ladang penduduk di kiri kanan yang kami lewati tersusun rapi. Kebanyakan mereka menanam daun bawang. Jalur pendakian ini masih mulus. Kami berjalan santai dan sesekali menyapa pendaki lain yang telah turun.

Pukul 10 pagi kami berada di gerbang pendakian. Setelah mengurus administrasi, kami bergegas naik. Perjalanan santai sambil menikmati udara segar menjadi pilihan yang menyenangkan. Hari itu cuaca pagi juga bersahabat, tidak telalu terik dan tidak mendung. Kami masih menyusuri jalan beraspal.

Jalan beraspal kemudian terputus di tengah jalan karena ada beberapa longsor yang disebabkan hujan deras yang mengguyur seputar gunung belakangan ini.

pohon tumbang dan tanah longsor akibat hujan deras
pohon tumbang dan tanah longsor akibat hujan deras

Mobil yang tadi melewati kami juga akhirnya terhenti di penghujung jalan beraspal. Kami terus melanjutkan perjalanan. Setelah tiga jam perjalanan, kami tiba di bukit kapur. Disini terdapat area yang datar walaupun tidak seluas surya kencana di Gunung Gede, tapi cukup menampung puluhan penenda. Mungkin disini biasanya orang mendirikan tenda, tapi kami tidak melihat ada tenda disekitar sini, hanya sampah-sampah yang terserak dan bekas perapian. Selain dsini, pendaki juga senang mendirikan tenda di lembah dekat kawah Gunung Sibayak.

Bukit Kapur
Bukit Kapur

Kami beristirahat disini sebelum menembus hutan. Bekal kami keluarkan. Sambil menahan terik kami menikmati makanan, karena kami tidak membawa tenda sama sekali.

Perjalanan selanjutnya adalah melewati hutan khas hutan hujan tropis yang menyelimuti Gunung Sibayak. Jenis pepohonan disekitar gunung ini selain kayu-kayu yang menjulang ternyata banyak jenis palem yang berduri. Saya beberapa kali terpaksa meringis menahan sakit tertusuk duri saat berpegangan.

Gn. Sibayak5

Jalan menuju puncak Sibayak sudah terdapat anak-anak tangga dari semen. Namun, tangga-tangga ini terkadang menyulitkan karena menjadi sumber genangan air karena tangga yang berlubang tergerus endapan air hujan. Sesekali kami harus menunduk karena jalan ditutupi oleh dedaunan palem yang rendah.

Setelah melewati anak-anak tangga itu, maka akan terdengar desingan suara yang keluar bersamaan dengan asap belerang di kawah Gunung Sibayak. Melewati area ini, saya kembali teringat ketika melakukan pendakian ke Gunung Papandayan di Garut. Terdapat beberapa lubang yang mengeluarkan asap belerang. Bau belerangnya tidak sepekat di Gunung Papandayan. Kami berdiam sejenak di sekitar kawah sambil menikmati eksotisme suasana gunung. Menikmati deretan bebatuan di puncak gunung disebelah kiri menambah eksotisme gunung ini.

Menuju Lembah Kawah
Menuju Lembah Kawah

 

kawah dengan sumber belerang dibeberapa lubang
kawah dengan sumber belerang dibeberapa lubang

Bebatuan di sekitar kawah ini sangat menawan. Berfoto mengabadikan kebersamaan bersama sahabat menjadi momen yang tak terlewatkan. Hehe..

Puncak Sibayak sudah tak jauh dari kawah. Butuh perjalanan sekitar 15-30 menit untuk menuju puncak yang bernama tapal kuda. Sebenarnya ada tiga puncak yang terbentuk di Gunung Sibayak namun yang paling sering dijalani adalah puncak tapal kuda. Kami melewati beberapa pendaki yang mendirikan tenda di sekitar lembah dekat kawah. Cuaca semakin sore semakin mendung. Tiba di puncak, kabut tebal menyapa kami. Alhasil pemandangan ciamik dibawah sana tertutup kabut. Di puncak, bebatuan khas gunung vulkanik mendominasi. Karena berkabut, saya hanya menunggu disisi yang datar saja. Beberapa teman masih berusaha menggapai puncak dengan tebing-tebingnya yang curam.

Puncak
Puncak

Perjalanan turun kami pilih melewati jalur Desa Raja Berneh. Ternyata jalur ini sangat licin apalagi ditengah perjalanan hujan mulai turun dengan deras. Tidak ada tempat untuk berteduh, akhirnya kami harus rela berbasah-basah ria dan terus menuruni tangga-tangga licin dan rusak itu. hari semakin gelap, kami harus tiba di Desa Raja Berneh sebelum malam tiba.

Hujan di tengah hutan sangat menyulitkan untuk melangkah. Beberapa kali saya terpeleset dan terkena guratan dari batang pohon yang berduri. Ingin sekali rasanya cepat-cepat tiba di desa. Kata Tommy, kalau sudah keliatan bambu-bambu maka desa sudah semakin dekat. Dan juga suara bising dari panas bumi pertanda perjalanan semakin mendekati desa.

Pemandian air panas
Pemandian air panas

Kami tiba di Desa Raja Berneh dengan basah kuyub. Hari semakin gelap, tapi sangat sayang melewatkan hari itu tanpa singgah di pemandian air panas yang menjadi objek wisata populer di daerah ini. Akhirnya kami memilih untuk berendam sejenak melepas lelah di pemandian air panas. Rasanya segar sekali berendam air hangat ditengah hawa dingin dengan pemandangan kemegahan Gunung Sibayak.

Malam semakin gulita, kami beranjak dari pemandian dan bersiap pulang. Perpisahan kami dipersimpangan jalan menuju Desa Raja Berneh. Air hujan mengguyur kami sekali lagi di perjalanan menuju persimpangan jalan itu. Suara kami riang berteriak memecah guyuran suara hujan. Mungkin desa yang tenang ini menjadi semarak ditengah teriakan riang kami.

Karena beberapa teman memutuskan untuk kembali ke Medan malam itu juga, maka sisanya kami yang pulang ke arah Berastagi sepakat untuk singgah berburu durian… hihiihi..

Daerah ini menjadi sarangnya para pemburu durian saat musim durian tiba. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk berburu durian. Di sepanjang jalan Berastagi telah berjejer penjaja durian. Kita tinggal pilih tempat mana yang lebih nyaman dan durian yang besar dan bagus.

Berburu Durian
Berburu Durian

Kami memilih untuk bersantai sambil bersantap durian di sekitar tugu kol Berastagi. Cahaya remang dari lampu pijar yang disematkan diatas tenda penjual durian menambah semarak malam yang dingin ini kawan. Kebersamaan menyantap durian menjadi kenikmatan yang sempurna dikala bau durian lewat menyentuh rongga hidung penguat rasa menjadikan durian menjadi makanan yang sempurna…

Sempurnalah sudah malam ini melewatinya bersama sahabat.