Categories
Hiking Travelling

Gunung Sibayak, Mendaki Sekaligus Berwisata

Niat untuk mendaki Gunung Sinabung pupus sudah. Desember telah tiba, dan Sinabung masih belum selesai berdentum memuntahkan material vulkanik dari perutnya. Gunung Sibayak menjadi pilihan lain. Di Sumatera Utara, Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak sudah lama menjadi primadona di kalangan para pendaki gunung. Bahkan saat ini, tidak hanya pendaki saja yang bisa sampai di puncak Sibayak, pemerintah daerah setempat telah membuat jalan mulus sampai tiba di tubuh Sibayak, sehingga jalur ini dapat dilalui oleh mobil.

Gerbang pendakian Gunung Sibayak ada tiga jalur pendakian. Rute pertama bisa dilalui dari kaki Gunung Sibayak di Desa Raja Berneh atau sering disebut sebagai Desa Semangat Gunung. Desa ini berjarak 15 km dari Berastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas yang tersebar di sekitar kaki gunung. Di desa ini juga terdapat PT Pertamina yang memanfaatkan sumber panas bumi.

Jalur kedua dapat ditempuh dari kaki Gunung Sibayak dari Desa Jaranguda. Desa ini sangat dekat dari kota Berastagi yakni hanya berjarak 3 km. Bagi pendaki atau wisatawan lebih banyak memilih jalur ini.

Jalur ketiga yang terkenal cukup ekstrim adalah jalur 54 yang ditempuh dari kawasan Penatapan yang terletak di jalan raya Medan-Berastagi. Jalur ini berada di KM 54 dari Medan menuju Berastagi. Jalur ini merupakan rute terpanjang dan tergolong ekstrim. Bagi pemula tidak disarankan untuk mendaki lewat jalur ini.

Kebetulan, teman-teman saya juga lagi berada di Medan saat tanggal nanjak ditetapkan. Jadi kami sepakat Berastagi sebagai meeting point. Awalnya terjadi perdebatan diantara kami, apakah menginap dan mendirikan tenda di area perkemahan Gunung Sibayak atau pulang hari itu juga. Namun, karena berbagai pertimbangan, maka kami putuskan untuk melakukan perjalanan pulang hari itu juga.

Jalur Pendakian Desa Jaranguda
Jalur Pendakian Desa Jaranguda

Gunung Sibayak berada di ketinggian 2.212 mdpl, lebih rendah dari Gunung Sinabung. Pendakian Gunung Sibayak sangat cocok untuk para pemula,apalagi melalui jalur dari Desa Jaranguda. Kami memutuskan naik dari Desa Jaranguda dan turun lewat Desa Raja Berneh. Gunung Sibayak tergolong gunung berapi aktif mengeluarkan belerang. Gunung ini sempat meletus disekitar tahun 1800.

Persiapan kami tidak terlalu banyak karena akan pulang hari itu juga.Kami membawa bekal siang dan pakaian anti hujan. Pakaian anti hujan dan pakaian ganti menjadi prioritas saat itu karena dipenghujung Desember sudah sering terjadi hujan ekstrim. Berangkat menapaki aspal yang meliuk mengikuti jalan. Langkah kami harus terhenti sejenak ketika ada mobil angkutan yang melewati kami. Terlihat beberapa bule kece didalamnya. Namun kami masih bertekad untuk berjalan kaki sampai gerbang pendakian.

Pandangan sedikit berkabut sisa embun yang belum sirna ketika kami memulai pendakian. Ladang penduduk di kiri kanan yang kami lewati tersusun rapi. Kebanyakan mereka menanam daun bawang. Jalur pendakian ini masih mulus. Kami berjalan santai dan sesekali menyapa pendaki lain yang telah turun.

Pukul 10 pagi kami berada di gerbang pendakian. Setelah mengurus administrasi, kami bergegas naik. Perjalanan santai sambil menikmati udara segar menjadi pilihan yang menyenangkan. Hari itu cuaca pagi juga bersahabat, tidak telalu terik dan tidak mendung. Kami masih menyusuri jalan beraspal.

Jalan beraspal kemudian terputus di tengah jalan karena ada beberapa longsor yang disebabkan hujan deras yang mengguyur seputar gunung belakangan ini.

pohon tumbang dan tanah longsor akibat hujan deras
pohon tumbang dan tanah longsor akibat hujan deras

Mobil yang tadi melewati kami juga akhirnya terhenti di penghujung jalan beraspal. Kami terus melanjutkan perjalanan. Setelah tiga jam perjalanan, kami tiba di bukit kapur. Disini terdapat area yang datar walaupun tidak seluas surya kencana di Gunung Gede, tapi cukup menampung puluhan penenda. Mungkin disini biasanya orang mendirikan tenda, tapi kami tidak melihat ada tenda disekitar sini, hanya sampah-sampah yang terserak dan bekas perapian. Selain dsini, pendaki juga senang mendirikan tenda di lembah dekat kawah Gunung Sibayak.

Bukit Kapur
Bukit Kapur

Kami beristirahat disini sebelum menembus hutan. Bekal kami keluarkan. Sambil menahan terik kami menikmati makanan, karena kami tidak membawa tenda sama sekali.

Perjalanan selanjutnya adalah melewati hutan khas hutan hujan tropis yang menyelimuti Gunung Sibayak. Jenis pepohonan disekitar gunung ini selain kayu-kayu yang menjulang ternyata banyak jenis palem yang berduri. Saya beberapa kali terpaksa meringis menahan sakit tertusuk duri saat berpegangan.

Gn. Sibayak5

Jalan menuju puncak Sibayak sudah terdapat anak-anak tangga dari semen. Namun, tangga-tangga ini terkadang menyulitkan karena menjadi sumber genangan air karena tangga yang berlubang tergerus endapan air hujan. Sesekali kami harus menunduk karena jalan ditutupi oleh dedaunan palem yang rendah.

Setelah melewati anak-anak tangga itu, maka akan terdengar desingan suara yang keluar bersamaan dengan asap belerang di kawah Gunung Sibayak. Melewati area ini, saya kembali teringat ketika melakukan pendakian ke Gunung Papandayan di Garut. Terdapat beberapa lubang yang mengeluarkan asap belerang. Bau belerangnya tidak sepekat di Gunung Papandayan. Kami berdiam sejenak di sekitar kawah sambil menikmati eksotisme suasana gunung. Menikmati deretan bebatuan di puncak gunung disebelah kiri menambah eksotisme gunung ini.

Menuju Lembah Kawah
Menuju Lembah Kawah

 

kawah dengan sumber belerang dibeberapa lubang
kawah dengan sumber belerang dibeberapa lubang

Bebatuan di sekitar kawah ini sangat menawan. Berfoto mengabadikan kebersamaan bersama sahabat menjadi momen yang tak terlewatkan. Hehe..

Puncak Sibayak sudah tak jauh dari kawah. Butuh perjalanan sekitar 15-30 menit untuk menuju puncak yang bernama tapal kuda. Sebenarnya ada tiga puncak yang terbentuk di Gunung Sibayak namun yang paling sering dijalani adalah puncak tapal kuda. Kami melewati beberapa pendaki yang mendirikan tenda di sekitar lembah dekat kawah. Cuaca semakin sore semakin mendung. Tiba di puncak, kabut tebal menyapa kami. Alhasil pemandangan ciamik dibawah sana tertutup kabut. Di puncak, bebatuan khas gunung vulkanik mendominasi. Karena berkabut, saya hanya menunggu disisi yang datar saja. Beberapa teman masih berusaha menggapai puncak dengan tebing-tebingnya yang curam.

Puncak
Puncak

Perjalanan turun kami pilih melewati jalur Desa Raja Berneh. Ternyata jalur ini sangat licin apalagi ditengah perjalanan hujan mulai turun dengan deras. Tidak ada tempat untuk berteduh, akhirnya kami harus rela berbasah-basah ria dan terus menuruni tangga-tangga licin dan rusak itu. hari semakin gelap, kami harus tiba di Desa Raja Berneh sebelum malam tiba.

Hujan di tengah hutan sangat menyulitkan untuk melangkah. Beberapa kali saya terpeleset dan terkena guratan dari batang pohon yang berduri. Ingin sekali rasanya cepat-cepat tiba di desa. Kata Tommy, kalau sudah keliatan bambu-bambu maka desa sudah semakin dekat. Dan juga suara bising dari panas bumi pertanda perjalanan semakin mendekati desa.

Pemandian air panas
Pemandian air panas

Kami tiba di Desa Raja Berneh dengan basah kuyub. Hari semakin gelap, tapi sangat sayang melewatkan hari itu tanpa singgah di pemandian air panas yang menjadi objek wisata populer di daerah ini. Akhirnya kami memilih untuk berendam sejenak melepas lelah di pemandian air panas. Rasanya segar sekali berendam air hangat ditengah hawa dingin dengan pemandangan kemegahan Gunung Sibayak.

Malam semakin gulita, kami beranjak dari pemandian dan bersiap pulang. Perpisahan kami dipersimpangan jalan menuju Desa Raja Berneh. Air hujan mengguyur kami sekali lagi di perjalanan menuju persimpangan jalan itu. Suara kami riang berteriak memecah guyuran suara hujan. Mungkin desa yang tenang ini menjadi semarak ditengah teriakan riang kami.

Karena beberapa teman memutuskan untuk kembali ke Medan malam itu juga, maka sisanya kami yang pulang ke arah Berastagi sepakat untuk singgah berburu durian… hihiihi..

Daerah ini menjadi sarangnya para pemburu durian saat musim durian tiba. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk berburu durian. Di sepanjang jalan Berastagi telah berjejer penjaja durian. Kita tinggal pilih tempat mana yang lebih nyaman dan durian yang besar dan bagus.

Berburu Durian
Berburu Durian

Kami memilih untuk bersantai sambil bersantap durian di sekitar tugu kol Berastagi. Cahaya remang dari lampu pijar yang disematkan diatas tenda penjual durian menambah semarak malam yang dingin ini kawan. Kebersamaan menyantap durian menjadi kenikmatan yang sempurna dikala bau durian lewat menyentuh rongga hidung penguat rasa menjadikan durian menjadi makanan yang sempurna…

Sempurnalah sudah malam ini melewatinya bersama sahabat.

Categories
Travelling

Dataran Tinggi Dieng

Awal Maret 2013 yang lalu saya dan Debo ikut Anu menghabiskan masa liburan di desa Purworejo kecamatan Banjarnegara, Jawa Tengah. Misi kami saat itu tentu saja tidak hanya ingin berdiam diri di desa nan asri itu. Tentu sudah tersohor ke penjuru negeri mengenai wisata alam Dataran Tinggi Dieng yang merupakan salah satu masuk dalam program Visit Jateng.

Kami berangkat jumat malam menggunakan bus pahala dari grogol. Di tiket siy jadwal keberangkatan pkl. 18.00 tapi entah kenapa yaah mungkin macet karena memang saat itu long weekend dan kemacetan terjadi dimana-mana, maka kami baru berangkat pkl. 21.00.

Sepanjang perjalanan kami banyak ngobrol dan tidur karena kecapekan, tidur dengan pulas sampai tak terasa ternyata bus berhenti di pertengahan jalan, itu sekitar pkl 01.00 dini hari, kami berhenti ternyata untuk makan, sudah disediakan makan prasmanan seadanya. Takut perut kosong dan masuk angin, kami makan secukupnya. Setelah istirahat sebentar, perjalanan dilanjutkan kembali.

Sungguh sepanjang perjalanan memang bener-bener macet dan ramai kendaraan sehingga perjalanan agak lama. Kami menikmati sunrise di balik gunung nan jauh disana. Sangat elok dan cantik dengan sinar mentari yang perlahan meninggi. Hari sudah berganti dan kami masih di jalan.

Pkl. 90.30 akhirnya kami tiba di Purworejo dan langsung ke rumah kakaknya Anu. Ternyata desa ini desa yang indah dengan hamparan sawah yang luas sejauh mana memandang. Indah sekali dengan sawah yang bertingkat dan susunan rumah yang rapi.

Kami beristirahat sejenak dan langsung berangkat ke Dieng. Perjalanan yang di tempuh ternyata hampir sekitar 1,5 jam dengan hujan rintik-rintik. Awalnya saya khawatir liburan akan kurang mengasyikkan dengan hujan yang melanda, namun ternyata di sekitar Dataran Dieng ini memang sering rintik-rintik namun hanya begitu saja tidak sampai hujan deras.

desa yang selalu diselimuti kabut

Mulai memasuki kawasan berbukit, saya sempat tercengang, pemandangan yang sangat indah. Suasana pedesaan sangat terasa dengan hamparan perladangan yang disusun rapi sekali sampai ke puncak bukit. Semua bukit sampai dibabat habis dengan tanaman yang beraneka jenis. Dan ini sangat menakjubkan. Sepanjang perjalanan pemandangan ini akan menjadi suguhan yang istimewa sebelum mencapai kawasan kawah dan objek wisata lainnya.

Objek yang pertama kami datangi adalah sumur jalatunda. Untuk masuk kawasan sumur jalatunda harus beli tiket seharga 5ribu rupiah per orang. Menuju sumur jalatunda kami menaiki tangga yang lumayan tinggi dan sesampainya diatas, kami menemukan dua orang warga lokal yang siap dengan batu-batu kecilnya.. dan ternyata mereka memang penjual batu-batu kecil.. hehe..

Sumur Jalatunda

Jadi, mitosnya dan kepercayaan masyarakat disini, kalau cewek melempar batu kecil itu mencapai tengah sumur maka permohonannya akan terkabul. Kalau untuk cowok lebih jauh lagi, sampai pojok sumur sampai ke bunga warna ungu di bawah sana..

Satu batu dibandrol 500 rupiah, awalnya saya pikir gampang, tapi ternyata setelah beberapa kali dicoba tetap gagal mencapai tepat di tengah subur jalatunda, hahaa.. yaah, percaya tidak percaya inilah keyakinan masyarakat disini.

Tidak banyak yang kami lakukan di tempat itu, kami pergi ke spot selanjutnya. Bagi yang ingin ke Dataran Tinggi Dieng ini, sangat disarankan membawa atau menyewa motor atau mobil karena jarak dari  satu objek ke objek yang lain lumayan jauh.

kawah sileri

Akhirnya kami sampai di kawah sileri. Kawah ini dikelilingi perladangan warga, jadi ketika kami mendekati kawah ini ya melewati ladang, tapi sudah dibuatkan jalan sehingga tidak mengganggu tanaman warga. Kawah ini sedang surut jadi dipinggirannya kering.

Selanjutnya kami menuju komplek candi arjuna dan kawah sikidang. Gerbang masuknya satu dan tiket masuk 35ribu rupiah per orang.

komplek candi arjuna

Di sekitar komplek candi arjuna, ada juga candi-candi lain disekitarnya, tapi saya lupa nama-nama candinya hehee.. kawasan ini luas dan membuat mata bebas memandang. Enak sekali untuk bersantai di sekitar rerumputan yang hijau dipinggiran candi.

candi

Ketika kami ke kawah sikidang, saya tidak menyangka kawah ini luas dan mengeluarkan asap dan aroma belerang yang sangat menyengat. Airnya mendidih dan mengeluarkan suara gemuruh. Tidak diperbolehkan berlama-lama di kawah ini, lagi pula tidak akan tahan juga berlama-lama karena bau belerang yang tak terkendali, hahaha..

kawah sikidang

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sempat menikmati manisan carica yang merupakan makanan khas Dieng. Pohon dan buah carica mirip sekali dengan pohon pepaya, cuma buah carica jauh lebih kecil dari buah pepaya. Rasa manisan carica sangat khas dan segar, baru kali itu saya mencobanya.

Selanjutnya kami menuju telaga warna, namun hari sudah mulai sore dan agak mendung. Tiket masuk seharusnya 7ribu rupiah per orang, namun kami dikasi diskon jadi 15ribu rupiah saja bertiga. Karena sudah sore, kami tidak naik ke atas bukit utara telaga untuk menikmati cantiknya telaga warna bersanding dengan telaga pengilon.

telaga warna

Kami berjalan disekeliling telaga warna sambil mendengarkan cerita dari seorang guide yang bersedia menemani kami. Di sekitar telaga ini juga terdapat beberapa gua yang katanya masih berhawa mistis, dan itu sangat terasa ketika melewati sekitarnya.

Setelah puas berkeliling, kami memutuskan kembali ke Purworejo melalui Wonosobo. Mobil melaju kencang menuruni perbukitan yang berkelok. Dan ketika masih diatas kami bisa melihat awan kabut yang sudah menyelimuti perkampungan dibawahnya, serasa berada diatas awan.. haha…