< pendakian yang menegangkan, perosotan maut namun menantang, gunung kecil mnamun menggigit, para penakut, taklukkanlah ketakutanmu di gunung ini >
Jumat sore, ingat belum packing, saya buru-buru pulang ke kosan. Weekend itu saya tidak ingin berdiam diri di kota ini. Mumpung masih muda dan masih sehat, saya ingin pergi kemana saja saya bisa. Naik gunung guntur menjadi tujuanku saat itu. Saya bersama kak Dabe menemukan seorang teman yang bersedia menemani kami kesana. Namanya Chiong yang hobinya memang naik gunung. Maklum saja, saya belum pernah sekalipun ke gunung Guntur.
Gunung Guntur merupakan aalah satu gunung di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Walaupun ketinggiannya hanya 2.249 mdpl, jangan pernah ambil enteng karena kita tak pernah tahu tantangan dibalik pesonanya.
Kami sepakat bertemu di terminal Kampung Rambutan. Terminal ini menjadi awal dari perjalanan kami. Terminal malam itu tampak sangat sibuk. Banyak banget yang membawa carrier lengkap dengan kostum seperti siap mendaki puncak puncak gunung. Entah mau kemana saja mereka, saya sibuk celingak celinguk mencari teman rombongan saya. Terminal remang-remang ditengah malam temaram, akhirnya saya menemukan teman-teman saya dipojokan sambil melambaikan tangan ke arah saya.
Kami masih menunggu, saat itu detik-detik perubahan harga bahan bakar. Menurut kabar yang beredar, tepat tengah malam bahan bakar akan naik, hal ini tentu berpengaruh dengan ongkos bus yang akan kami tumpangi. Jelas sekali, para supir bus menggunakan momen tersebut mencari keuntungan sebelum waktunya. Ongkos sudah mulai dinaikkan walaupun BBM baru akan naik tengah malam nanti.
Mereka bersikukuh menaikkan harga dengan alasan tersebut. Maka jadilah aksi tawar menawar antara kami dan supir bus. Hadeeuuhh, saya baru kali ini nih merasakan naik bus tapi mesti nego ongkos dulu sama si supir. Chiong masih belum sepakat dengan ongkos yang ditawarkan beberapa supir kepadanya.
Akhirnya kami masih berdiam di bangku-bangku yang disediakan di terminal. Sudah hampir jam 11 malam seorang supir akhirnya menawarkan harga ongkos lebih murah sedikit dibandingkan dengan harga supir-supir sebelumnya, yah walaupun tetap saja harganya masih tetap mahal hampir dua kali lipat dari harga sebelum BBM naik. Kami akhirnya pasrah dan naik bus. Saya pikir bus nya akan langsung berangkat, eh ternyata ngetem dulu sampai lamaaa..
Dari dalam bus, saya melihat para pembawa carrier lainnya masih berusaha nego ongkos kesana kemari, namun berakhir dengan naik bus yang saya tumpangi. Haha
Kebiasaan, saat sudah nempel di bangku bus, mata ini memang maunya langsung merem. Hadeuuh, susah banget rasanya melawan rasa kantuk, dan saya pun tepar tak berdaya. Sayup-sayup saya masih mendengar kak Dabe ngobrol dengan teman lainnya. Chiong duduk di bangku paling belakang sedangkan kami duduk di bangku paling depan dibelakang supir.
Chiong bilang, kita bakal berenti di pom bensin Tanjung dan jangan sampe kelewatan sampe terminal Garut, bangunin gw kalo udah sampe pom bensin. Kami pun mengangguk tanda mengerti.
Entah sudah berapa lama saya tidur, ketika bangun rupa-rupanya bus sudah berhenti di terminal Garut, dan kami satu bus yang ternyata mempunyai tujuan yang sama mau berhenti di terminal Tanjung, kompak ketiduran dan baru terbangun ketika supir teriak terminal-terminal, terakhir-terakhir.
Chiong menghampiri kami ke depan dan bilang, “kak kok ga bangunin gw, kita kelewatan dah” hahaa.. cuma bisa pasrah dan turun bus. Saat itu sekitar pukul setengah 3 subuh. Mataku masih setengah terpejam sambil turun dari bus. Terminal Garut tidak terlalu sepi. Tidak susah mencari angkutan yang bersedia menghantarkan kami walaupun tarifnya agak mahal.
Di terminal Tanjung ada semacam ruangan kosong yang biasa digunakan para pendaki menanti pagi. Ruangan gelap gulita tanpa lampu, ada rombongan lain disalah satu pojok ruangan. Kami juga mencari spot untuk meletakkan barang-barang dan merebahkan diri sejenak. Disini kami juga masih menunggu beberapa teman Chiong yang belum tiba.
Pagi hari, kami mulai berkemas, bersiap mengangkat carrier masing-masing menuju jalanan. Sarapan pagi sangat penting sebagai sumber tenaga untuk perjalanan panjang nanti. Untung ada yang jualan di seberang jalan. Makan seadanya yang penting perut terisi. Kami menunggu truk-truk pasir yang bisa ditumpangi sampai kaki gunung Guntur.
Fyi, disepanjang kaki gunung Guntur banyak banget aksi penambangan pasir ilegal. Hal ini sebenarnya cukup membuat prihatin apalagi setelah melihat keadaan sekitar kaki gunung sampai ke lereng semakin tergerus erosi akibat praktek ilegal ini. Kata supir truk waktu saya mendapat tumpangan setelah turun gunung, siapa saja bebas menambang disini, tidak ada aturan dan ini sudah berlangsung lama. Ckckckck, mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam akibat tindakan mereka sendiri.
Akhirnya kami mendapat truk tumpangan. Satu per satu naik ke atas, kalo ditotal tak disangka ternyata kami ada 20 orang, wah wah.. rame yak hehehe…
Perjalanan ini ternyata banyak kejutan. Tidak ada yang menyangka jalanan mulus secara drastis berubah setelah desa terakhir kami lewati. Truk melewati jalanan yang tidak biasa, yang tidak selayaknya dilewati. Truk kemudian terjungkal ke kiri dan ke kanan, dan kabar kami di dalam truk, sungguh tidak baik. Berpegangan agar tidak merosot kebelakang karena jalan yang menanjak terjal dan berbatu cukup membuat kami terpental kesana kemari.
Tidak cukup penderitaan itu, perut saya mulai mules akibat guncangan keras. Beberapa sampai terduduk lemas dan Ali mulai mual. Aaahh, belum apa-apa perjalanan ini sudah menyiksa. Karena baru sarapan jadi perut jadi sangat tak karuan, mual sambil menahan badan agar tak terpental, keadaan ini sangat menyiksa mas brooh..
Akhirnya kami sampe di kaki gunung Guntur ditengah penambangan pasir. Para penambang sudah mulai beraktivitas saat kami melintas. Disepanjang mata memandang terlihat tambang pasir, sebagian sudah ditinggalkan penambangnya dan mencari lahan baru.
Saya memandang ke puncak, tampak puncak terasa dekat dengan lerengnya yang gundul. Hanya membentang savana sampai puncak. Tapi itu hanya fatamorgana, setelah melaluinya saya takkan bisa membayangkan cerita pahit dibalik lereng gundul itu huhuhuu.. perjalanan menyiksa menanti, yuhuuu…
Curug Citiis 1 sampe Curug Citiis 3
Kami memilih jalur ini saat memulai memanjat. Sebenarnya ini sungai dengan curug ala-ala gitu, tapi lumayan sebagai pelepas dahaga ketika jiwa raga mulai mengering bahkan hanya ketika memandang lereng curam tempat penyiksaan itu.
Trek di jalur ini melewati bongkahan batu besar dan pepohonan. Memanjat batuan terjal ini sebenarnya sudah biasa seperti trek gunung pada umumnya. Namun efek dari guncangan truk tadi belum berakhir, kaki saya masih lemas dan gemetar. Ternyata kak Yani di depan saya juga mulai pucat dan terduduk di batu tempatnya bertumpu. Saya agak panik apalagi Kak Yani sempat bilang mau balik saja, duuh, mau balik sama siapa kita lagi di tengah hutan..
Setelah beristirahat, perlahan kak Yani mulai segar kembali, kami melanjutkan perjalanan. Tiba di Curug Citiis 3 yang berarti titik terakhir dimana air masih tersedia. Yang berarti pula kami harus membawa persediaan air secukupnya. Mulai dari sini sampai puncak tidak akan ada air lagi. Penderitaan bertambah dengan berliter air yang harus kami bawa demi bertahan di puncak nanti. Ah, tapi tampaknya semua masih pada semangat. Haha..
Curug Citiis sampai Puncak 1
Rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa bahkan lebih menyambut kami setelah melewati Curug Citiis 3. Perjalanan di lereng gunung dengan kemiringan ruar biasa ini perlahan menunjukkan wajahnya. Rumput ilalang semakin pendek dan bahkan pasir kerikil yang mendominasi.
Puncak yang terlihat jelas seolah hanya fatamorgana. Ratusan langkah telah diayun tapi kok ga nyampe nyampe di puncak yaa… Ini sih sama saja seperti jalan ditempat, maju 3 langkah merosot 4 langkah, ckckckck… Saya mulai lelah, terkadang saya tiba-tiba terhenti dan bingung harus melangkah kemana. Tidak ada pegangan sama sekali dan berada di lereng dengan sudut kemiringan segitiga sama kaki.
Maaak, pengen teriak aja rasanya. Salah melangkah sedikit pasti bakal guling guling kebawah tanpa ada yang menghalangi. Saya hanya berharap penderitaan ini segera berakhir. Ah, ada pohon diatas sana, saya berusaha mempercepat langkah. Berjalan agak miring ke samping karena pohon berada disebelah kiri saya. Semakin mendekati puncak, medan semakin susah, bahkan dibeberapa titik tidak ada tumput ilalang yang menahan kerikil kerikil tajam itu.
Cuaca lagi panas-panasnya saat kami sedang berjuang di lereng gunung itu, tak mungkin menyerah sudah setengah jalan begini. Akhirnya saya tiba di bawah pohon pinus yang adem, teman-teman juga berlindung sejenak di pohon. Selama trek di lereng memang tidak ada pos perhentian, tidak ada tempat berteduh, jadi pohon ini kami jadikan sebagai penghibur lara #halaah…
Setelah lelah sirna, kami lanjut memanjat. Perjalanan semakin berat, carrier dipunggung juga seakan semakin berat, tenaga sangat cepat terkuras ditengah sengatan panas matahari. Ah ini pun saya masih bersyukur untung tidak hujan, apa jadinya kami kalo hujan dan kami masih berpijak di lereng penyiksaan ini..
Puncak 1 semakin dekat, semangat kami bertambah, berharap penderitaan segera berakhir, kaki saya mulai bengkak boz. Sendal gunung yang saya kenakan juga hampir menyerah yang sepanjang perjalanan berhadapan dengan kerikil kerikil tajam itu.
Yuhuu… sedikit lagi sedikit lagii, teriak yang lainnya ketika saya dan kak Yani hampir berpijak di puncak 1. Lega banget rasanya berada di ketinggian ini dan melihat pemandangan Garut tanpa ada yang menghalangi. Di puncak 1 kami menunggu teman lainnya tiba.
Rombongan lain memutuskan untuk mendirikan tenda di puncak 1. Kami yang (masih) semangat sepakat melanjutkan sampai puncak 2. Ketika saya mendongak dari puncak 1 saya melihat puncak 2 berdiri angkuh jauh lebih tinggi lagi. Trek nya masih sama seperti lereng tadi, kami berjalan menyusuri lereng puncak 2. Hujan gerimis mulai turun yang semakin mempersulit langkah kami. Untungnya hujan deras turun ketika kami sudah selesai mendirikan tenda di puncak 2.
Oiyaa, gunung Guntur memiliki 4 puncak dan di puncak 2 ada penanda semacam tugu GPS gitu. Di puncak 2 spot mendirikan tenda tidak terlalu luas dan sebagian dasarnya adalah batu sehingga agak sulit untuk menancapkan pasak tenda. Namun dari puncak 2 pemandangan semakin kece, bebas tanpa ada pohon sama sekali.
Hujan deras baru berhenti ketika kami sudah selesai makan malam. Malam ini dingin dan menusuk. Angin kencang membuat saya semakin enggan untuk keluar tenda dan menikmati kota Garut di malam hari. Tidak ada bintang malam itu karna baru turun hujan. Lampu-lampu kota Garut dari kejauhan seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Hahaha..
Kami mengisi malam itu dengan saling bersenda gurau, ledek ledekan (padahal baru kenal 😁). Namanya jg di gunung, apalagi yang nge camp malam itu di puncak 2 tidak banyak, jd kami tidak bisa kemana-mana. Tapi itu justru bagus, kami punya banyak waktu untuk mengenal satu sama lain. Besok paginya, sudah seperti kawan lama saja.
Pagi itu, sisa-sisa hujan kemarin masih ada. Sang mentari pun tak tampak, langit masih diselimuti kabut tebal. Kami tak bisa menikmati sunrise kece di puncak, semua berkabut. Bahkan puncak 1 saja tak kelihatan dari atas sini. Walau begitu, tak ada rasa kecewa, karna bukan itu yang kami kejar. Teman baru, kehangatan kebersamaan jadi yang utama. Sunrise hanya bonus.
Sekitar jam 10 pagi cuaca mulai cerah. Kami tak bisa berlama-lama di puncak. Setelah sarapan besar, ya besar karena banyak sekali makanan sampe ada puding segala, haha.. kami menggelar matras diluar tenda, diterpa mentari pagi kami menikmati piknik ini dan menyantap makanan sampe habis. Setelah tenda dilipat kembali dan packing selesai kami mulai turun kembali. Tidak lupa sampah juga dibawa turun.
Oiya, masih ingat kan trek di lereng gunung ini. Batuan kerikil di lereng telah menunggu kami. Tentu sendal yang saya kenakan takkan mampu melawannya. Bila dipaksakan, kaki saya takkan selamat sampe dibawah.
Ojan dengan baik hati meminjamkan sepatunya. Kami bertukar alas kaki, dia memakai sendal saya dibungkus kaos kaki berlapis agar tidak terluka sampai bawah. Kami kenakan sarung tangan agar tangan kami tidak hancur tergores-gores batuan yang tajam.
Daaan, kami pun mulai meluncur satu persatu menyusuri lereng tak berpohon ini. Ternyata, ini jauh lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Asalkan jauhkan pikiran dari keraguan dan ketakutan, segera meluncur saja dan tetap waspada, meluncur seperti main perosotan ini sangat menyenangkan. Hampir semua pendaki melakukan hal yang sama, karna hanya itu jalan terbaik dan tercepat.
Tak lama kami menyusuri lereng penyiksaan itu kami segera tiba di curug citiis 3. Ada saung disitu tempat kami berteduh sebentar. Lingga kemudian bersama yang lainnya mulai memasak karena main perosotan di trek yang panjang itu membuat kami lapar. Yang lainnya mengambil air dari curug. Sambil berendam kaki cukup ternyata melegakan.
Kami harus tiba kembali di pom bensin Tanjung sebelum malam. Perjalanan dilanjutkan. Tiba di kaki gunung, saya berharap ada truk pasir yang lewat sehingga kami bisa menumpang sampai pom bensin Tanjung. Rejeki pun datang, truk datang dan sang driver berbaik hati memberi tumpangan kepadaku dan Anugrah.
Setelah bersih-bersih, kami kembali ke Jakarta. Banyak bus yang lewat dari terminal Tanjung, tapi tentu saja bus nya penuh, syukur syukur masih ada tempat duduk yang tersisa, yang lainnya terpaksa duduk di lorong disela bangku penumpang. Menyantap gorengan hangat lumayan mengganjal perut kami yang kosong sampe tiba di Jakarta.
Eh, tapi sepanjang perjalanan pulang kok masih kebayang ya perosotan di lereng tadi. Aahh, bener bener jadi kenangan yuh perosotan maut.