Categories
Hiking

Pendakian Gunung Guntur 2.249 mdpl

< pendakian yang menegangkan, perosotan maut namun menantang, gunung kecil mnamun menggigit, para penakut, taklukkanlah ketakutanmu di gunung ini >

Jumat sore, ingat belum packing, saya buru-buru pulang ke kosan. Weekend itu saya tidak ingin berdiam diri di kota ini. Mumpung masih muda dan masih sehat, saya ingin pergi kemana saja saya bisa. Naik gunung guntur menjadi tujuanku saat itu. Saya bersama kak Dabe menemukan seorang teman yang bersedia menemani kami kesana. Namanya Chiong yang hobinya memang naik gunung. Maklum saja, saya belum pernah sekalipun ke gunung Guntur.

image
Kota Garut dari Puncak 1

Gunung Guntur merupakan aalah satu gunung di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Walaupun ketinggiannya hanya 2.249 mdpl, jangan pernah ambil enteng karena kita tak pernah tahu tantangan dibalik pesonanya.

Kami sepakat bertemu di terminal Kampung Rambutan. Terminal ini menjadi awal dari perjalanan kami. Terminal malam itu tampak sangat sibuk. Banyak banget yang membawa carrier lengkap dengan kostum seperti siap mendaki puncak puncak gunung. Entah mau kemana saja mereka, saya sibuk celingak celinguk mencari teman rombongan saya. Terminal remang-remang ditengah malam temaram, akhirnya saya menemukan teman-teman saya dipojokan sambil melambaikan tangan ke arah saya.

Kami masih menunggu, saat itu detik-detik perubahan harga bahan bakar. Menurut kabar yang beredar, tepat tengah malam bahan bakar akan naik, hal ini tentu berpengaruh dengan ongkos bus yang akan kami tumpangi. Jelas sekali, para supir bus menggunakan momen tersebut mencari keuntungan sebelum waktunya. Ongkos sudah mulai dinaikkan walaupun BBM baru akan naik tengah malam nanti.

Mereka bersikukuh menaikkan harga dengan alasan tersebut. Maka jadilah aksi tawar menawar antara kami dan supir bus. Hadeeuuhh, saya baru kali ini nih merasakan naik bus tapi mesti nego ongkos dulu sama si supir. Chiong masih belum sepakat dengan ongkos yang ditawarkan beberapa supir kepadanya.

Akhirnya kami masih berdiam di bangku-bangku yang disediakan di terminal. Sudah hampir jam 11 malam seorang supir akhirnya menawarkan harga ongkos lebih murah sedikit dibandingkan dengan harga supir-supir sebelumnya, yah walaupun tetap saja harganya masih tetap mahal hampir dua kali lipat dari harga sebelum BBM naik. Kami akhirnya pasrah dan naik bus. Saya pikir bus nya akan langsung berangkat, eh ternyata ngetem dulu sampai lamaaa..

Dari dalam bus, saya melihat para pembawa carrier lainnya masih berusaha nego ongkos kesana kemari, namun berakhir dengan naik bus yang saya tumpangi. Haha

Kebiasaan, saat sudah nempel di bangku bus, mata ini memang maunya langsung merem. Hadeuuh, susah banget rasanya melawan rasa kantuk, dan saya pun tepar tak berdaya. Sayup-sayup saya masih mendengar kak Dabe ngobrol dengan teman lainnya. Chiong duduk di bangku paling belakang sedangkan kami duduk di bangku paling depan dibelakang supir.

Chiong bilang, kita bakal berenti di pom bensin Tanjung dan jangan sampe kelewatan sampe terminal Garut, bangunin gw kalo udah sampe pom bensin. Kami pun mengangguk tanda mengerti.

Entah sudah berapa lama saya tidur, ketika bangun rupa-rupanya bus sudah berhenti di terminal Garut, dan kami satu bus yang ternyata mempunyai tujuan yang sama mau berhenti di terminal Tanjung, kompak ketiduran dan baru terbangun ketika supir teriak terminal-terminal, terakhir-terakhir.

Chiong menghampiri kami ke depan dan bilang, “kak kok ga bangunin gw, kita kelewatan dah” hahaa.. cuma bisa pasrah dan turun bus. Saat itu sekitar pukul setengah 3 subuh. Mataku masih setengah terpejam sambil turun dari bus. Terminal Garut tidak terlalu sepi. Tidak susah mencari angkutan yang bersedia menghantarkan kami walaupun tarifnya agak mahal.

Di terminal Tanjung ada semacam ruangan kosong yang biasa digunakan para pendaki menanti pagi. Ruangan gelap gulita tanpa lampu, ada rombongan lain disalah satu pojok ruangan. Kami juga mencari spot untuk meletakkan barang-barang dan merebahkan diri sejenak. Disini kami juga masih menunggu beberapa teman Chiong yang belum tiba.

Pagi hari, kami mulai berkemas, bersiap mengangkat carrier masing-masing menuju jalanan. Sarapan pagi sangat penting sebagai sumber tenaga untuk perjalanan panjang nanti. Untung ada yang jualan di seberang jalan. Makan seadanya yang penting perut terisi. Kami menunggu truk-truk pasir yang bisa ditumpangi sampai kaki gunung Guntur.

Fyi, disepanjang kaki gunung Guntur banyak banget aksi penambangan pasir ilegal. Hal ini sebenarnya cukup membuat prihatin apalagi setelah melihat keadaan sekitar kaki gunung sampai ke lereng semakin tergerus erosi akibat praktek ilegal ini. Kata supir truk waktu saya mendapat tumpangan setelah turun gunung, siapa saja bebas menambang disini, tidak ada aturan dan ini sudah berlangsung lama. Ckckckck, mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam akibat tindakan mereka sendiri.

Akhirnya kami mendapat truk tumpangan. Satu per satu naik ke atas, kalo ditotal tak disangka ternyata kami ada 20 orang, wah wah.. rame yak hehehe…

Perjalanan ini ternyata banyak kejutan. Tidak ada yang menyangka jalanan mulus secara drastis berubah setelah desa terakhir kami lewati. Truk melewati jalanan yang tidak biasa, yang tidak selayaknya dilewati. Truk kemudian terjungkal ke kiri dan ke kanan, dan kabar kami di dalam truk, sungguh tidak baik. Berpegangan agar tidak merosot kebelakang karena jalan yang menanjak terjal dan berbatu cukup membuat kami terpental kesana kemari.

Tidak cukup penderitaan itu, perut saya mulai mules akibat guncangan keras. Beberapa sampai terduduk lemas dan Ali mulai mual. Aaahh, belum apa-apa perjalanan ini sudah menyiksa. Karena baru sarapan jadi perut jadi sangat tak karuan, mual sambil menahan badan agar tak terpental, keadaan ini sangat menyiksa mas brooh..

Akhirnya kami sampe di kaki gunung Guntur ditengah penambangan pasir. Para penambang sudah mulai beraktivitas saat kami melintas. Disepanjang mata memandang terlihat tambang pasir, sebagian sudah ditinggalkan penambangnya dan mencari lahan baru.

Saya memandang ke puncak, tampak puncak terasa dekat dengan lerengnya yang gundul. Hanya membentang savana sampai puncak. Tapi itu hanya fatamorgana, setelah melaluinya saya takkan bisa membayangkan cerita pahit dibalik lereng gundul itu huhuhuu.. perjalanan menyiksa menanti, yuhuuu…

Curug Citiis 1 sampe Curug Citiis 3

Kami memilih jalur ini saat memulai memanjat. Sebenarnya ini sungai dengan curug ala-ala gitu, tapi lumayan sebagai pelepas dahaga ketika jiwa raga mulai mengering bahkan hanya ketika memandang lereng curam tempat penyiksaan itu.
Trek di jalur ini melewati bongkahan batu besar dan pepohonan. Memanjat batuan terjal ini sebenarnya sudah biasa seperti trek gunung pada umumnya. Namun efek dari guncangan truk tadi belum berakhir, kaki saya masih lemas dan gemetar. Ternyata kak Yani di depan saya juga mulai pucat dan terduduk di batu tempatnya bertumpu. Saya agak panik apalagi Kak Yani sempat bilang mau balik saja, duuh, mau balik sama siapa kita lagi di tengah hutan..

Setelah beristirahat, perlahan kak Yani mulai segar kembali, kami melanjutkan perjalanan. Tiba di Curug Citiis 3 yang berarti titik terakhir dimana air masih tersedia. Yang berarti pula kami harus membawa persediaan air secukupnya. Mulai dari sini sampai puncak tidak akan ada air lagi. Penderitaan bertambah dengan berliter air yang harus kami bawa demi bertahan di puncak nanti. Ah, tapi tampaknya semua masih pada semangat. Haha..

Curug Citiis sampai Puncak 1
Rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa bahkan lebih menyambut kami setelah melewati Curug Citiis 3. Perjalanan di lereng gunung dengan kemiringan ruar biasa ini perlahan menunjukkan wajahnya. Rumput ilalang semakin pendek dan bahkan pasir kerikil yang mendominasi.

Puncak yang terlihat jelas seolah hanya fatamorgana. Ratusan langkah telah diayun tapi kok ga nyampe nyampe di puncak yaa… Ini sih sama saja seperti jalan ditempat, maju 3 langkah merosot 4 langkah, ckckckck… Saya mulai lelah, terkadang saya tiba-tiba terhenti dan bingung harus melangkah kemana. Tidak ada pegangan sama sekali dan berada di lereng dengan sudut kemiringan segitiga sama kaki.

Maaak, pengen teriak aja rasanya. Salah melangkah sedikit pasti bakal guling guling kebawah tanpa ada yang menghalangi. Saya hanya berharap penderitaan ini segera berakhir. Ah, ada pohon diatas sana, saya berusaha mempercepat langkah. Berjalan agak miring ke samping karena pohon berada disebelah kiri saya. Semakin mendekati puncak, medan semakin susah, bahkan dibeberapa titik tidak ada tumput ilalang yang menahan kerikil kerikil tajam itu.

image
Semoga tiba di pohon diatas 🙂

Cuaca lagi panas-panasnya saat kami sedang berjuang di lereng gunung itu, tak mungkin menyerah sudah setengah jalan begini.  Akhirnya saya tiba di bawah pohon pinus yang adem, teman-teman juga berlindung sejenak di pohon. Selama trek di lereng memang tidak ada pos perhentian, tidak ada tempat berteduh, jadi pohon ini kami jadikan sebagai penghibur lara #halaah…

Setelah lelah sirna, kami lanjut memanjat. Perjalanan semakin berat, carrier dipunggung juga seakan semakin berat, tenaga sangat cepat terkuras ditengah sengatan panas matahari. Ah ini pun saya masih bersyukur untung tidak hujan, apa jadinya kami kalo hujan dan kami masih berpijak di lereng penyiksaan ini..

Puncak 1 semakin dekat, semangat kami bertambah, berharap penderitaan segera berakhir, kaki saya mulai bengkak boz. Sendal gunung yang saya kenakan juga hampir menyerah yang sepanjang perjalanan berhadapan dengan kerikil kerikil tajam itu.

Yuhuu… sedikit lagi sedikit lagii, teriak yang lainnya ketika saya dan kak Yani hampir berpijak di puncak 1. Lega banget rasanya berada di ketinggian ini dan melihat pemandangan Garut tanpa ada yang menghalangi. Di puncak 1 kami menunggu teman lainnya tiba.

image
Hampir sampe puncak 1 yeay!

Rombongan lain memutuskan untuk mendirikan tenda di puncak 1. Kami yang (masih) semangat sepakat melanjutkan sampai puncak 2. Ketika saya mendongak dari puncak 1 saya melihat puncak 2 berdiri angkuh jauh lebih tinggi lagi. Trek nya masih sama seperti lereng tadi, kami berjalan menyusuri lereng puncak 2. Hujan gerimis mulai turun yang semakin mempersulit langkah kami. Untungnya hujan deras turun ketika kami sudah selesai mendirikan tenda di puncak 2.

Oiyaa, gunung Guntur memiliki 4 puncak dan di puncak 2 ada penanda semacam tugu GPS gitu. Di puncak 2 spot mendirikan tenda tidak terlalu luas dan sebagian dasarnya adalah batu sehingga agak sulit untuk menancapkan pasak tenda. Namun dari puncak 2 pemandangan semakin kece, bebas tanpa ada pohon sama sekali.

Hujan deras baru berhenti ketika kami sudah selesai makan malam. Malam ini dingin dan menusuk. Angin kencang membuat saya semakin enggan untuk keluar tenda dan menikmati kota Garut di malam hari. Tidak ada bintang malam itu karna baru turun hujan. Lampu-lampu kota Garut dari kejauhan seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi.  Hahaha..

Kami mengisi malam itu dengan saling bersenda gurau, ledek ledekan (padahal baru kenal 😁). Namanya jg di gunung, apalagi yang nge camp malam itu di puncak 2 tidak banyak, jd kami tidak bisa kemana-mana. Tapi itu justru bagus, kami punya banyak waktu untuk mengenal satu sama lain. Besok paginya, sudah seperti kawan lama saja.

image
Kebersamaan itu menghasilkan ini 😍

Pagi itu, sisa-sisa hujan kemarin masih ada. Sang mentari pun tak tampak, langit masih diselimuti kabut tebal. Kami tak bisa menikmati sunrise kece di puncak, semua berkabut. Bahkan puncak 1 saja tak kelihatan dari atas sini. Walau begitu, tak ada rasa kecewa, karna bukan itu yang kami kejar. Teman baru, kehangatan kebersamaan jadi yang utama. Sunrise hanya bonus.

Sekitar jam 10 pagi cuaca mulai cerah. Kami tak bisa berlama-lama di puncak. Setelah sarapan besar, ya besar karena banyak sekali makanan sampe ada puding segala, haha.. kami menggelar matras diluar tenda, diterpa mentari pagi kami menikmati piknik ini dan menyantap makanan sampe habis.  Setelah tenda dilipat kembali dan packing selesai kami mulai turun kembali. Tidak lupa sampah juga dibawa turun.

image
Makan besar 😄😄

Oiya, masih ingat kan trek di lereng gunung ini. Batuan kerikil di lereng telah menunggu kami. Tentu sendal yang saya kenakan takkan mampu melawannya. Bila dipaksakan, kaki saya takkan selamat sampe dibawah.

Ojan dengan baik hati meminjamkan sepatunya. Kami bertukar alas kaki, dia memakai sendal saya dibungkus kaos kaki berlapis agar tidak terluka sampai bawah. Kami kenakan sarung tangan agar tangan kami tidak hancur tergores-gores batuan yang tajam.

Daaan, kami pun mulai meluncur satu persatu menyusuri lereng tak berpohon ini. Ternyata, ini jauh lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Asalkan jauhkan pikiran dari keraguan dan ketakutan, segera meluncur saja dan tetap waspada, meluncur seperti main perosotan ini sangat menyenangkan. Hampir semua pendaki melakukan hal yang sama, karna hanya itu jalan terbaik dan tercepat.

Tak lama kami menyusuri lereng penyiksaan itu kami segera tiba di curug citiis 3. Ada saung disitu tempat kami berteduh sebentar. Lingga kemudian bersama yang lainnya mulai memasak karena main perosotan di trek yang panjang itu membuat kami lapar. Yang lainnya mengambil air dari curug. Sambil berendam kaki cukup ternyata melegakan.

Kami harus tiba kembali di pom bensin Tanjung sebelum malam. Perjalanan dilanjutkan. Tiba di kaki gunung, saya berharap ada truk pasir yang lewat sehingga kami bisa menumpang sampai pom bensin Tanjung. Rejeki pun datang, truk datang dan sang driver berbaik hati memberi tumpangan kepadaku dan Anugrah.

Setelah bersih-bersih, kami kembali ke Jakarta. Banyak bus yang lewat dari terminal Tanjung, tapi tentu saja bus nya penuh, syukur syukur masih ada tempat duduk yang tersisa, yang lainnya terpaksa duduk di lorong disela bangku penumpang. Menyantap gorengan hangat lumayan mengganjal perut kami yang kosong sampe tiba di Jakarta.

Eh, tapi sepanjang perjalanan pulang kok masih kebayang ya perosotan di lereng tadi. Aahh, bener bener jadi kenangan yuh perosotan maut.

Categories
Hiking

Sapaan Pagi Dari Gunung Lembu

Memang gunung ini masih belum populer bagi kalangan para penikmat ketinggian. Saya pun masih sangat asing dan merasa sangat aneh dengan nama gunung ini. Letaknya yang tak jauh dari Jakarta membuat saya agak menyangsikan keberadaan gunung ini. Ah yang benar ada gunung deket sini. Salah kali, pikirku saat itu. Cuma karna sudah sangat ingin naik gunung dan penasaran juga dengan keberadaan gunung ini yang konon disebut Gunung Lembu karena banyak warga yang ternak lembu/sapi di gunung tersebut.
Lingga, saya kenal pertama kali pada saat pendakian ke Gunung Guntur mengajak saya ke Gunung Lembu. Yang bikin makin penasaran ketika saya tanya siapa saja yang ikutan, dia selalu bilang ‘ada deh! Lu ga kenal ka’ hahaha, saya hanya ingin memastikan ada perempuan, biar ada teman sesama wanita, hehe..
Lingga tak salah mengajak Kak Dabe, perempuan tangguh yang jadi teman nanjak saya kemana-mana. Dia seperti emak saya yang bisa mengurus segala sesuatu dengan telaten. Intinya saya merasa aman kalau ada dia, semua bereeess.. hahaha
Sepakat bertemu di Stasiun Beos ( Stasiun Jakarta Kota) Sabtu sebelum jam 8 pagi, saya pun setuju. Jumat malam Kak Dabe menginap di kosan saya, dan mulai packing yang akhirnya selesai jam 1 pagi (hooaamm, ngantuuk!). Ternyata malam berlalu sangat cepat, Sabtu pagi saya masih meringkuk dibawah selimut disaat Kak Dabe sudah bersiap-siap untuk berangkat. Kebiasaan telat saya agaknya sudah akut.. hiiikss.. Mandi seadanya dan kemudian berangkat tanpa dandan dulu (kan mau masuk hutan, hahaha).
Kami berangkat dari Stasiun Cawang ke meeting point di Stasiun Beos. Dalam pikiran saya memang jaraknya dekat, mungkin sekitar setengah jam pasti nyampe. Tapi apa boleh dikata, naik kereta ternyata bisa juga kena macet, keretanya lumayan lama berhenti di stasiun Manggarai dan ngantri masuk ke Stasiun Beos.
Kami mulai ngga tenang takut ditinggal, karena jarum jam sudah mengarah ke 8.15 yang berarti kami sudah telat setengah jam dari perjanjian. Semakin panik karena teman-teman bilang kereta ke Purwakarta segera berangkat. Mungkin juga mereka sudah bete. Duduk pasrah jadi pilihan terbaik sambil bersabar menunggu giliran gerbong kereta saya memasuki Stasiun Beos.
Tiba di Stasiun Beos kami mencari sosok si Lingga yang katanya nongkrong dekat gerbang masuk. Akhirnya kami menemukannya bersama Ciong yang juga pertama kali saya kenal waktu pendakian ke Gunung Guntur. Saya juga berkenalan dengan tiga teman baru lainnya yang duduk melingkar di lantai stasiun, ada Komeng, Tris dan Jamal. Aaii, bener saja saya dan Kak Dabe berada diantara 5 pria kece.. ahaaakk..
Kata Komeng sih sambil menunggu dua wanita cakep (read: Rika dan Dabe 😀 ) mereka akhirnya menyantap nasi uduk sama ketan sementara Jamal yang baik hati rela mengantri untuk mendapatkan tiket kereta seharga 3ribu Rupiah yang bisa mengantarkan kami sampai Stasiun Purwakarta.
Perjalanan ke Purwakarta selama 3 jam saya manfaatkan untuk tiduurr.. haha, tapi tetap saja tidak bisa pulas karna AC  16 derajat celcius kok malah panas seperti di sauna. Uuhh, merem melek ini menyiksa kakaak.. kereta ekonomi seharga 3 ribu Rupiah sebenarnya ini lebih dari cukup sih dengan gerbong yang lumayan bersih walaupun AC nya yang ngadat seperti tidak ber-AC. Tapi yang paling tidak saya suka memang toiletnya yang baunya bikin mual itu.
Pukul 1 siang akhirnya kami tiba di stasiun Purwakarta. Beruntung nya kami karena cuaca hari ini sangat cerah. Melihat stasiun ini membuat saya terpana sebentar karena banyak sekali tumpukan gerbong-gerbong kereta disusun rapi di lahan sebelah stasiun. Melihat penampakan berbeda dari stasiun lainnya, berhubung kami terlahir di generasi narsisme maka foto bareng sebentar boleh dong, hehehe..

image
Tiba di Stasiun Purwakarta

Pintu keluar stasiun ini juga unik, kami diantar petugas sampai ke gerbang keluar dan beliau membukakan gerbang yang masih tergembok. Duh, apa setiap penumpang yang keluar akan dihantarkan kemudian gembok gerbang dibuka, setelah penumpang keluar gerbang dikunci lagi yaa?
Purwakarta merupakan sebuah kota kecil di daerah Jawa Barat. Kota ini mempunyai tata ruang yang rapi dan sangat menyenangkan. Purwakarta sangat kental dengan budaya Sunda terlihat dari setiap sudut ruang kota banyak ornamen Sunda seperti kujang dan tokoh pewayangan Sunda.
Untuk menuju pos pendakian Gunung Lembu kami harus menempuh sekitar 2 jam perjalanan lagi. Banyak angkot yang menawarkan jasa untuk menghantarkan kami sampai kesana. Tawar menawar berlangsung antara Lingga dan Aa supir angkot. Sepakat harga dan Aa angkot juga akan menjemput kami esoknya di pos pendakian.
Aa angkot yang ramah dan baik menghantarkan kami dulu ke sebuah masjid. Teman-teman saya yang soleh menunaikan ibadah Sholat dulu, hehe.. Berhubung disebelah masjid ada warung nasi, sekalian saja kami bersantap siang disitu. Menu siang itu nikmat banget rasanya. Mungkin kah karena lapar atau kah karena memang enak, yang jelas makanan lewat di kerongkongan nikmat rasanya. Haha..
Kini perjalanan sesungguhnya dimulai. Mobil angkot mulai melaju melewati tanjakan yang cukup terjal. Awalnya saya pikir mobil angkotnya ngga akan kuat melewati tanjakan yang curam apalagi beberapa kali bemper mobil terantuk ke aspal jalanan. Saya sempat curiga jangan-jangan kami akan berakhir dengan mendorong mobil angkot ke atas karna ngga kuat tanjakan, untungnya khayalan saya tidak terjadi.
Semakin mendekati tujuan, awalnya kami pikir salah jalan karena Aa angkot beberapa kali berhenti dan bertanya ke warga lokal jalan menuju Gunung Lembu. Kecurigaan semakin menjadi ketika melihat penampakan gunung curam di sebelah kiri. Gunung yang lebih cocok untuk Rock climbing itu ternyata Gunung Parang. Gunung yang seperti tebing dengan batuan cadas berdiri angkuh disebelah kiri saya ketika angkot kami lewat.
Purwakarta memang sedang hits dengan tiga gunung yang menjadi destinasi pendakian baru bagi para penikmat ketinggian. Gunung Lembu, Gunung Bongkok dan Gunung Parang untuk climbing saling berdampingan dan dikelilingi waduk Jatiluhur. Alam yang saling berdampingan ini seperti tawaran sempurna yang tak bisa ditolak.
Setelah melewati beberapa perkampungan, kami tiba di Desa Sukatani sebagai titik awal pendakian. Petugas menyambut dengan ramah. Di pos ini juga terlihat beberapa kelompok orang yang sepertinya baru turun. Kami bersiap-siap dan repacking sebelum melakukan pendakian. Berdoa sebelum nanjak sangat penting. Menyerahkan diri ke Yang Maha Kuasa akan membuat perjalanan kita akan semakin ringan dan nyaman.
Oiya, awal pendakian kami memang dihadiahi beberapa kotoran sapi dimana-mana.. hahaa, jadi tak salah kalau gunung ini disebut Gunung Lembu. Trek nya cukup membuat ngos-ngosan. Menanjak terus sampai punggung Gunung Lembu. Kalau naik saat musim hujan mungkin trek nya akan lebih sulit karena kontur tanahnya yang licin dan lembek.
Tiba di punggungan gunung, treknya naik turun dan sebagian kami harus menyusuri dua sisi jurang kiri dan kanan. Namun pemandangan ciamik juga tak bisa dilewatkan begitu saja. Saya baru menyadari gunung ini ternyata dikelilingi oleh waduk. Kiri kanan jurang terlihat waduk.
Untuk mencapai puncak Gunung Lembu kami menempuhnya dalam 2 jam. Sebelum puncak kami melewati sebuah pos keramat. Disitu terdapat makam keramat tanpa nisan dan juga dibangun sebuah saung. Ada sajadah disitu, mungkin bisa juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk sholat. Sambil menunggu Kak Dabe yang ditemani Ciong (baik yak 😀 ) yang menyebut diri mereka tim keong, kami sempat beristirahat disitu karena tempatnya yang adem dan bisa leyeh-leyeh di saung.
Pukul 6 sore kami tiba di puncak Gunung Lembu. Beberapa orang sudah mendirikan tenda. Hari mulai gelap, headlamp mulai kami pasang untuk mencari spot mendirikan tenda. Karena puncak gunung tidak luas dan tidak banyak lokasi yang datar, maka kami putuskan mendirikan tenda agak dibawah dan bersebelahan dengan lembah. Disebelahnya juga terdapat batu besar yang kemudian tempat kami nongkrong menikmati kesunyian malam.
Karena bersebelahan dengan lembah, angin malam agak kencang menampar tenda kami, untuk mensiasatinya maka flysheet kemudian diikatkan mendekati tanah hingga hampir menutupi tenda. Yang paling berkesan ketika naik gunung itu adalah kebersamaannya. Kebersamaan waktu perjalanan naik, saling membantu, saling menunggu (cieh kak Dabe dan Ciong), saling berbagi, intinya semuanya jadi saling 😀
Setelah tenda berdiri, kami berbagi tugas untuk masak. Suasana malam yang sunyi senyap jadi pecaaahh.. Yang tadinya tak kenal, malah sudah seperti kawan lama.. ihiiikk.. ngobrol ngawur ngidul mengakrabkan kami.
Tadaaa, makanan mateng, kami bertujuh masuk ke tenda dan makan dengan penerangan seadanya. Makanan digelar di lembaran kertas nasi hasil barter air dengan pendaki lainnya. Walaupun nasi dan lauk sudah tak berbentuk, nikmatnya rebutan makanan itu tak ada duanya, kalau kata Mas Tris ‘ini yang saya carii’ yuhuuu.. Sampe yang lain sudah menyerah kekenyangan, doi tetap santai makan sampai butir nasi terakhir, ckckck..
Karena di gunung ini tak ada air, dan kami hanya membawa persediaan air secukupnya, tisu basah jadi solusi untuk membersihkan nesting dan perangkat masak lainnya. Yaah, di gunung walaupun tidak terlalu higienis tetap sehatlaah.. hahaa
Malam masih panjang, setelah semua perlengkapan makan dirapikan, ah masa tidur sih, sayang banget malam indah ini hanya diisi dengan makan dan tidur. Kami memutuskan untuk pergi ke tempat yang katanya cocok banget menikmati waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta dari ketinggian. Tempat itu tidak terlalu jauh dari tenda. Namun berhubung trek nya yang menurun tajam, pulang dari sana tetap saja akan capeek..
Kami berangkat menyusuri jalanan yang tak terlihat karena gelapnya malam. Ditengah jalan, kami berpapasan dengan pendaki lain yang sudah kembali dari tempat itu. Para ibu-ibu dan bapak-bapak yang tangguh. Mungkin mereka sepertinya mengadakan acara reunian atau acara keluarga gitu. Mereka saja kuat, masa anak muda nyerah! Haha…
Pemandangan takjub di depan mata. Lampu-lampu bertebaran di sekitar tambak di waduk. Gemerlap kota Purwakarta juga terpancar dari kejauhan. Pemandangan malam ini membuat saya ingin agak lama duduk di batuan pinggiran tebing ini. Sorotan lensa kamera pun agaknya susah menangkap indahnya malam ini. Pandangan mata memang takkan terganti sob. ^_^
Malam semakin temaram, saya dan kak Dabe sudah menarik sleeping bag bersiap tidur. Di luar tenda saya masih mendengar suara Komeng dan Ciong. Saya merasa aman saat mereka masih terjaga. Namun entah kenapa malam itu saya susah tidur, mungkin karena sepanjang perjalanan di kereta dan di angkot saya tidur, jadinya saya begadang sambil meringkuk dekat Kak Dabe.
Tengah malam sekitar pukul 2 dini hari saya pun masih terjaga mendengar hiruk pikuk diluar tenda. Ternyata ada pendaki lain yang baru tiba saat itu dan mencari spot mendirikan tenda yang nyaris sudah tidak ada. Mungkin mereka sengaja berangkat malam dari bawah agar tidak terlalu capek saat mendaki.
Gunung Lembu tidak terlalu tinggi sehingga sangat cocok untuk para pendaki pemula. Bahkan, gunung ini dapat ditempuh dalam satu hari naik turun tanpa harus menginap satu malam di puncak. Namun, saya memang lebih suka untuk bermalam di puncak, yang kami cari memang itu. Suasananya, kebersamaannya dan menikmati alam terbuka dengan memasrahkan segenap jiwa raga dalam pelukan alam. Suatu rasa yang mungkin saya pun tak bisa mendeskripsikannya. Sebuah rasa yang mampu membuat saya ketagihan mencapai puncak-puncak lainnya walaupun lelah dan capek.
Malam itu ternyata tidak begitu dingin, tidak seperti gunung-gunung lainnya yang sampai membuat saya menggigil. Bangun pagi itu pun terasa ringan. Ternyata banyak juga pendaki yang baru datang pagi dan langsung ke spot terbaik menikmati sunrise dengan hamparan waduk dibawahnya.

image
Hangatnya sang mentari pagi, Mt. Lembu

Kami turun kembali ke batu di pinggir tebing itu. Sesampainya disana ternyata banyak pendaki yang sudah bersantai menikmati kehangatan sang surya yang datang perlahan.
Saya ingin berlama-lama di tempat itu. Mengabadikan rasa takjub dalam sebuah foto rasanya tak cukup, Komeng kemudian merekamnya dalam sebuah video. Saya tidak menyesal tiba di tempat itu. Mas Tris, ditengah orang-orang sibuk foto narsis, si pelor itu tidur dimana saja , sampai-sampai pemandangan indah di depan mata pun tak digubris. Dia tiduran di batu raksasa tempat kami berpijak saat itu. Katanya sih, begitu caranya menikmati alam.. ahaakk, iya iya deh..

image
Saya dan Kak Dabe, viewnya Gn. Parang

Setelah puas menyambut sapa pagi Gunung Lembu, kami nanjak kembali ke tenda dan berbagi tugas kembali untuk masak. Yes, memasak menjadi bagian yang penting dan menyenangkan bila mendaki dan menginap di atas gunung.
Kami sudah janji dengan Aa angkot untuk menunggu kami di pos pendakian pukul 1 siang. Jadi, setelah makan dan istirahat sebentar, kami segera packing dan melipat tenda. Memastikan semua barang sudah masuk ke dalam carrier dan sampah-sampah sudah dikumpulkan, kami berdoa sebelum berangkat turun. Oiya, kalau naik gunung, jangan sekali-kali merusak alam yang telah menjaga kita satu malam tadi. Jangan pernah meninggalkan sampah. Intinya, apa yang kita bawa dari bawah, bawalah kembali saat kita pulang termasuk sampah.
Perjalanan turun ternyata tidak terlalu lama, saya hanya membutuhkan waktu sekitar 50 menit untuk turun. Tentu saja karena saya diajari Komeng untuk lari sampai bawah, haha.. Aaaah, benar-benar pengalaman pertama lari-larian dari atas gunung, ckckck.. tapi sarannya memang sangat manjur karena trek nya yang agak terjal dan tanah yang longgar lari membuat kaki saya tidak sakit dan tidak terlalu lelah. Hanya saja terkadang saya agak panik karena susah berhenti, haha..
Kami tiba di pos pendakian lebih awal dari rencana, maka saya dan kak Dabe memanfaatkan waktu untuk mandi. Selesai mandi rasanya segala lelah hilang dan segar kembali. Lingga memasak mie untuk santap siang dan sambil menunggu Aa angkot datang.
Pulang kembali ke Jakarta. Dan kami kini bukan menjadi orang asing lagi. Satu malam cukup untuk mengakrabkan kami saat itu. Bahkan orang asing pun bisa menjadi teman perjalanan yang baik dan sangat menyenangkan. Pergi tak kenal, pulang jadi saudara.
Semoga ketemu di puncak lainnya orang-orang kece. ^_^

Categories
Hiking Travelling

Gunung Sibayak, Mendaki Sekaligus Berwisata

Niat untuk mendaki Gunung Sinabung pupus sudah. Desember telah tiba, dan Sinabung masih belum selesai berdentum memuntahkan material vulkanik dari perutnya. Gunung Sibayak menjadi pilihan lain. Di Sumatera Utara, Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak sudah lama menjadi primadona di kalangan para pendaki gunung. Bahkan saat ini, tidak hanya pendaki saja yang bisa sampai di puncak Sibayak, pemerintah daerah setempat telah membuat jalan mulus sampai tiba di tubuh Sibayak, sehingga jalur ini dapat dilalui oleh mobil.

Gerbang pendakian Gunung Sibayak ada tiga jalur pendakian. Rute pertama bisa dilalui dari kaki Gunung Sibayak di Desa Raja Berneh atau sering disebut sebagai Desa Semangat Gunung. Desa ini berjarak 15 km dari Berastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas yang tersebar di sekitar kaki gunung. Di desa ini juga terdapat PT Pertamina yang memanfaatkan sumber panas bumi.

Jalur kedua dapat ditempuh dari kaki Gunung Sibayak dari Desa Jaranguda. Desa ini sangat dekat dari kota Berastagi yakni hanya berjarak 3 km. Bagi pendaki atau wisatawan lebih banyak memilih jalur ini.

Jalur ketiga yang terkenal cukup ekstrim adalah jalur 54 yang ditempuh dari kawasan Penatapan yang terletak di jalan raya Medan-Berastagi. Jalur ini berada di KM 54 dari Medan menuju Berastagi. Jalur ini merupakan rute terpanjang dan tergolong ekstrim. Bagi pemula tidak disarankan untuk mendaki lewat jalur ini.

Kebetulan, teman-teman saya juga lagi berada di Medan saat tanggal nanjak ditetapkan. Jadi kami sepakat Berastagi sebagai meeting point. Awalnya terjadi perdebatan diantara kami, apakah menginap dan mendirikan tenda di area perkemahan Gunung Sibayak atau pulang hari itu juga. Namun, karena berbagai pertimbangan, maka kami putuskan untuk melakukan perjalanan pulang hari itu juga.

Jalur Pendakian Desa Jaranguda
Jalur Pendakian Desa Jaranguda

Gunung Sibayak berada di ketinggian 2.212 mdpl, lebih rendah dari Gunung Sinabung. Pendakian Gunung Sibayak sangat cocok untuk para pemula,apalagi melalui jalur dari Desa Jaranguda. Kami memutuskan naik dari Desa Jaranguda dan turun lewat Desa Raja Berneh. Gunung Sibayak tergolong gunung berapi aktif mengeluarkan belerang. Gunung ini sempat meletus disekitar tahun 1800.

Persiapan kami tidak terlalu banyak karena akan pulang hari itu juga.Kami membawa bekal siang dan pakaian anti hujan. Pakaian anti hujan dan pakaian ganti menjadi prioritas saat itu karena dipenghujung Desember sudah sering terjadi hujan ekstrim. Berangkat menapaki aspal yang meliuk mengikuti jalan. Langkah kami harus terhenti sejenak ketika ada mobil angkutan yang melewati kami. Terlihat beberapa bule kece didalamnya. Namun kami masih bertekad untuk berjalan kaki sampai gerbang pendakian.

Pandangan sedikit berkabut sisa embun yang belum sirna ketika kami memulai pendakian. Ladang penduduk di kiri kanan yang kami lewati tersusun rapi. Kebanyakan mereka menanam daun bawang. Jalur pendakian ini masih mulus. Kami berjalan santai dan sesekali menyapa pendaki lain yang telah turun.

Pukul 10 pagi kami berada di gerbang pendakian. Setelah mengurus administrasi, kami bergegas naik. Perjalanan santai sambil menikmati udara segar menjadi pilihan yang menyenangkan. Hari itu cuaca pagi juga bersahabat, tidak telalu terik dan tidak mendung. Kami masih menyusuri jalan beraspal.

Jalan beraspal kemudian terputus di tengah jalan karena ada beberapa longsor yang disebabkan hujan deras yang mengguyur seputar gunung belakangan ini.

pohon tumbang dan tanah longsor akibat hujan deras
pohon tumbang dan tanah longsor akibat hujan deras

Mobil yang tadi melewati kami juga akhirnya terhenti di penghujung jalan beraspal. Kami terus melanjutkan perjalanan. Setelah tiga jam perjalanan, kami tiba di bukit kapur. Disini terdapat area yang datar walaupun tidak seluas surya kencana di Gunung Gede, tapi cukup menampung puluhan penenda. Mungkin disini biasanya orang mendirikan tenda, tapi kami tidak melihat ada tenda disekitar sini, hanya sampah-sampah yang terserak dan bekas perapian. Selain dsini, pendaki juga senang mendirikan tenda di lembah dekat kawah Gunung Sibayak.

Bukit Kapur
Bukit Kapur

Kami beristirahat disini sebelum menembus hutan. Bekal kami keluarkan. Sambil menahan terik kami menikmati makanan, karena kami tidak membawa tenda sama sekali.

Perjalanan selanjutnya adalah melewati hutan khas hutan hujan tropis yang menyelimuti Gunung Sibayak. Jenis pepohonan disekitar gunung ini selain kayu-kayu yang menjulang ternyata banyak jenis palem yang berduri. Saya beberapa kali terpaksa meringis menahan sakit tertusuk duri saat berpegangan.

Gn. Sibayak5

Jalan menuju puncak Sibayak sudah terdapat anak-anak tangga dari semen. Namun, tangga-tangga ini terkadang menyulitkan karena menjadi sumber genangan air karena tangga yang berlubang tergerus endapan air hujan. Sesekali kami harus menunduk karena jalan ditutupi oleh dedaunan palem yang rendah.

Setelah melewati anak-anak tangga itu, maka akan terdengar desingan suara yang keluar bersamaan dengan asap belerang di kawah Gunung Sibayak. Melewati area ini, saya kembali teringat ketika melakukan pendakian ke Gunung Papandayan di Garut. Terdapat beberapa lubang yang mengeluarkan asap belerang. Bau belerangnya tidak sepekat di Gunung Papandayan. Kami berdiam sejenak di sekitar kawah sambil menikmati eksotisme suasana gunung. Menikmati deretan bebatuan di puncak gunung disebelah kiri menambah eksotisme gunung ini.

Menuju Lembah Kawah
Menuju Lembah Kawah

 

kawah dengan sumber belerang dibeberapa lubang
kawah dengan sumber belerang dibeberapa lubang

Bebatuan di sekitar kawah ini sangat menawan. Berfoto mengabadikan kebersamaan bersama sahabat menjadi momen yang tak terlewatkan. Hehe..

Puncak Sibayak sudah tak jauh dari kawah. Butuh perjalanan sekitar 15-30 menit untuk menuju puncak yang bernama tapal kuda. Sebenarnya ada tiga puncak yang terbentuk di Gunung Sibayak namun yang paling sering dijalani adalah puncak tapal kuda. Kami melewati beberapa pendaki yang mendirikan tenda di sekitar lembah dekat kawah. Cuaca semakin sore semakin mendung. Tiba di puncak, kabut tebal menyapa kami. Alhasil pemandangan ciamik dibawah sana tertutup kabut. Di puncak, bebatuan khas gunung vulkanik mendominasi. Karena berkabut, saya hanya menunggu disisi yang datar saja. Beberapa teman masih berusaha menggapai puncak dengan tebing-tebingnya yang curam.

Puncak
Puncak

Perjalanan turun kami pilih melewati jalur Desa Raja Berneh. Ternyata jalur ini sangat licin apalagi ditengah perjalanan hujan mulai turun dengan deras. Tidak ada tempat untuk berteduh, akhirnya kami harus rela berbasah-basah ria dan terus menuruni tangga-tangga licin dan rusak itu. hari semakin gelap, kami harus tiba di Desa Raja Berneh sebelum malam tiba.

Hujan di tengah hutan sangat menyulitkan untuk melangkah. Beberapa kali saya terpeleset dan terkena guratan dari batang pohon yang berduri. Ingin sekali rasanya cepat-cepat tiba di desa. Kata Tommy, kalau sudah keliatan bambu-bambu maka desa sudah semakin dekat. Dan juga suara bising dari panas bumi pertanda perjalanan semakin mendekati desa.

Pemandian air panas
Pemandian air panas

Kami tiba di Desa Raja Berneh dengan basah kuyub. Hari semakin gelap, tapi sangat sayang melewatkan hari itu tanpa singgah di pemandian air panas yang menjadi objek wisata populer di daerah ini. Akhirnya kami memilih untuk berendam sejenak melepas lelah di pemandian air panas. Rasanya segar sekali berendam air hangat ditengah hawa dingin dengan pemandangan kemegahan Gunung Sibayak.

Malam semakin gulita, kami beranjak dari pemandian dan bersiap pulang. Perpisahan kami dipersimpangan jalan menuju Desa Raja Berneh. Air hujan mengguyur kami sekali lagi di perjalanan menuju persimpangan jalan itu. Suara kami riang berteriak memecah guyuran suara hujan. Mungkin desa yang tenang ini menjadi semarak ditengah teriakan riang kami.

Karena beberapa teman memutuskan untuk kembali ke Medan malam itu juga, maka sisanya kami yang pulang ke arah Berastagi sepakat untuk singgah berburu durian… hihiihi..

Daerah ini menjadi sarangnya para pemburu durian saat musim durian tiba. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk berburu durian. Di sepanjang jalan Berastagi telah berjejer penjaja durian. Kita tinggal pilih tempat mana yang lebih nyaman dan durian yang besar dan bagus.

Berburu Durian
Berburu Durian

Kami memilih untuk bersantai sambil bersantap durian di sekitar tugu kol Berastagi. Cahaya remang dari lampu pijar yang disematkan diatas tenda penjual durian menambah semarak malam yang dingin ini kawan. Kebersamaan menyantap durian menjadi kenikmatan yang sempurna dikala bau durian lewat menyentuh rongga hidung penguat rasa menjadikan durian menjadi makanan yang sempurna…

Sempurnalah sudah malam ini melewatinya bersama sahabat.

Categories
Hiking

Merangkul Gunung

Indonesia terkenal dengan kekayaan alamnya. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa untuk bergantung pada alam yang melimpah ruah sejak dahulu kala. Alam yang kaya ini sampai-sampai menjadi rebutan negara-negara lain yang ingin merasakan nikmatnya alam kita ini.

Namun terkadang manusia Indonesia seakan terlena akan kenikmatan alam yang berlimpah. Kelalaian manusianya menjadi ancaman besar bagi kelestarian alam Indonesia. Kesadaran akan pentingnya menjaga alam yang telah menjadi bagian penting dalam hidup Indonesia sering diabaikan. Pelestarian dan menjaga alam bukan hanya tugas pemerintah semata. Kontribusi besar dari masyarakat Indonesia akan sangat mempengaruhi alam kita tetap terjaga.

Keindahan alam Indonesia kini mendunia. Wisata alam Indonesia tak hanya Bali dan Lombok dengan pantainya yang membuat setiap orang berdecak kagum melihatnya. Indonesia kaya akan pegunungan dengan puncak-puncak gunung yang indah. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia dihiasi deretan gunung-gunung yang menyimpan keindahan memukau yang hanya orang-orang yang berani saja yang bisa merasakannya.

… Never take anything but pictures, never leave anything but footprints, and never kill anything but time

 

Selanjutnya..

Categories
Hiking Travelling

Sehari Bersama Suku Asli Baduy Dalam

Kakiku sudah sangat ingin melangkah. Hatiku sudah sangat ingin menyentuh hal baru. Mataku sudah merindukan kesejukan alam. Sudah lama rasanya aku tak merasakan angin dingin menusuk tulangku, dedaunan menyentuh kalbuku. Aku sangat merindukan alam yang tenang. Sudah lama aku berkutat dengan laporan-laporan kantor yang semakin menumpuk. Aku butuh bernafas. Alam adalah nafasku.

Kuputuskan untuk beralih sejenak dari kepenatan ini. Aku mulai menggerak-gerakkan mouse komputer di depanku dan mencari informasi wisata yang menarik. Aku terpaku pada suatu open trip ke Suku Baduy yang diadakan oleh suatu komunitas backpacker. Peminatnya cukup banyak, ada dua rombongan yang mengadakan trip ke Baduy di komunitas ini untuk tanggal yang sama. Setelah melihat jadwal aku segera mendaftarkan diri untuk bergabung dengan salah satu rombongan trip tersebut.

Aku agak heran kenapa begitu banyak orang yang tertarik untuk mengunjungi suku Baduy di pedalaman Banten ini. Ini bukan trip untuk bersenang-senang dengan keindahan pantai menakjubkan atau pendakian gunung dengan iming-iming keindahan tak terkira setelah pencapaian puncak gunung. Ini sebuah perjalanan ke pedalaman hutan yang tak jauh dari Jakarta.

Ini adalah suatu perjalanan yang berbeda bagiku. Selama ini perjalanan yang sering aku lakukan adalah mendaki puncak-puncak gunung nan tinggi atau menjejali pulau-pulau nan elok. Kali ini suatu perjalanan penuh makna menyentuh hati akan suatu pendirian dan kecintaan akan budaya dan tradisi. Memasuki pedalaman Baduy bagai memasuki alam lain dengan sentuhan keramahan penduduk dan kelembutan alamnya.

Perjalanan ini adalah perjalanan dengan dana seadanya. Tak akan ada kursi empuk, tak akan ada AC sejuk untuk menepis panasnya sengatan matahari siang. Perjalanan ini diawali dengan transportasi kelas ekonomi dan sarapan murah di pinggir jalan di depan stasiun.

Aku melangkah dengan semangat menembus pagi yang muram menuju Stasiun Tanah Abang tempat kami berkumpul. Selama perjalanan ke Stasiun Tanah Abang, aku sangat penasaran dan tidak sabar bertemu dengan orang-orang baru yang akan menjadi teman baruku selama semalam menginap di atap bumi Baduy. Hal ini juga baru pertama kali kulakukan, melakukan perjalanan dengan orang asing. Aku tidak tahu pasti semangat yang menggelora di dada ini datangnya darimana. Yang aku tahu pasti aku merasakan jiwaku begitu antusias menangkup alam. Sudah terbayang dibenakku alam dengan rimbunnya pepohonan dan orang-orang Baduy seperti yang aku lihat di foto-foto perjalanan para blogger.

Aku menyempatkan diri menyantap sarapan pagi di pinggir Stasiun Tanah Abang. Sarapan ini akan menjadi energi bagiku sampai siang ketika tiba di Ciboleger. Cukup murah untuk sarapan yang memuaskan itu. Aku beranjak dan berlari kecil memasuki stasiun ketika melirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07.30. Tentu saja aku takut ketinggalan kereta. Sungguh tidak lucu rasanya ketinggalan kereta padahal sudah berada di stasiun, bukan?

Aku lurus memandang ke sekeliling ruang tunggu itu, sepagi ini terlalu banyak orang yang lalu lalang di ruangan itu sehingga mengaburkan pandanganku ke arah teman-teman baruku. Aku melewati satu gerombolan orang yang aku tebak bukan bagian dari gerombolanku. Aku mencari satu sosok orang yang menjadi tim leader di rombongan kami. Dua hari sebelum berangkat kami sempat mengadakan pertemuan sembari saling berkenalan satu sama lain di Angkringan Pancoran. Fafa sebagai penggagas trip ini yang menyarankan pertemuan itu. Tidak semua yang datang sehingga memudahkan aku memingat beberapa orang. Kucari sosok wajah itu dan akhirnya kutemukan mereka berada di pojok ruang tunggu di stasiun ini, duduk berkeliling dan membekap tas ransel masing-masing.

Sudah hampir semua datang, wajah-wajah mereka masih asing bagiku. Fafa yang sudah siap dengan kertas ditangannya mengecek kehadiran para peserta. Kami masih duduk membentuk lingkaran dan secara spontan saling berkenalan. Sungguh wajar  harus berkenalan dengan teman yang akan satu atap denganku malam ini. Perkenalan ini membuka keluarga baru bagiku, setelah perkenalan itu tentu mereka bukan menjadi orang asing lagi. Tidak begitu sulit untuk menjadikan pembicaraan kami hangat. Semua sangat cepat berbaur. Tentu ini awal yang sangat menyenangkan.

Pukul 07.50 kami mengantri memasuki gerbong kereta ekonomi seharga dua ribu rupiah ini menuju Rangkas Bitung. Orang berjejal memasuki pintu gerbong dan berebut kursi yang terbatas. Asap rokok dan sampah makanan bertebaran sepanjang gerbong. Kami berusaha mendapatkan tempat duduk untuk sekedar menghemat energi untuk perjalanan yang masih panjang.

Aku bersyukur masih mendapat tempat duduk disamping seorang ibu dengan anak kecil yang mendekap ibunya dengan erat. Di depanku beberapa bapak-bapak dengan asap rokoknya yang mengepul. Aduuhh.. kenapa si bapak begitu cuek dengan asap rokoknya tanpa memedulikan sekitar gerbong yang semakin pengap dan panas, ditambah lagi bau asap rokok yang membuat mual dan bau-bau lain yang sulit aku deskripsikan. Ini sangat menyesakkan, aku berusaha menutup hidung dengan tisu namun bau itu masih menembus tisu yang kupegang. Seorang temanku sangat kreatif. Dia membeli satu buah jeruk dari penjual yang sangat sibuk lalu lalang menjajakan dagangannya sepanjang lorong kereta ini. Jeruk yang dibeli bukan dimakan karena rasanya juga sudah tak terdeskripsikan. Dia mengajariku untuk mencium kulit jeruk itu sepanjang perjalanan untuk menghilangkan bau yang terhirup. Tentu saja itu lumayan mujarab, aku mencium bau aroma jeruk dari kulitnya. Sangat membantu, pikirku.

Aku berusaha untuk menyandarkan punggungku ke sandaran tempat duduk kereta yang keras dan sebenarnya jauh dari kata nyaman tapi tetap tidak bisa. Hiruk pikuk para pedagang itu sangat memekakkan telinga dan bapak disampingku terus berbicara padaku. Dari dia bertanya kami mau kemana sampai bagaimana dia setiap harinya menggunakan kereta ini selama beraktifitas, dimana dia tinggal, mengenai sanak saudara dan kampung halamannya. Dia begitu bangga menceritakan semua itu.

Hampir tiga jam, kami tiba di stasiun Rangkas Bitung. Sebelum kami turun Fafa sudah dari tadi memperingatkan untuk mengambil barang-barang jangan sampai ada yang tertinggal dan membangunkan beberapa teman yang masih terlelap. Huuaahh.. akhirnya menghirup udara segar juga, teriakku ketika tepat menginjakkan kaki keluar gerbong sesak itu. Weeww.. sejenak aku terkesan dan masih memandangi kereta itu yang kemudian kembali mengangkut penumpang.

Penumpangnya sangat beragam. Kebanyakan warga lokal dengan barang bawaan yang super besar.Mungkin barang dagangan atau barang belanjaan. Sepintas aku teringat ketika aku masih kecil dulu, waktu pertama kali naik kereta api dari Pematang Siantar ke Medan. Hari itu hari yang tak terlupakan bagiku dan sangat berkesan. Ayah sengaja mengajak kami pulang ke Medan menggunakan kereta saat itu. Beliau mau memberikan kejutan padaku dan mungkin beliau juga mau melihat senyum lebarku ketika takjub melihat ular besi itu melaju kencang. Walaupun ekonomi, sudah cukup membuatku bahagia tidak kepalang saat itu. Banyak penjaja makanan di sekitar gerbong, persis seperti ini ditambah dengan bau-bau aroma yang bercampur aduk tidak jelas. Sepanjang jalan aku tidak mau tidur untuk melewatkan momen selama perjalanan itu. Aku berdiri diatas tempat duduk dan memandangi deretan rumah kumuh yang kami lewati. Disini juga seperti itu, deretan rumah kumuh juga menjadi pemandangan pilu sepanjang perjalanan ini. Apakah rel kereta identik berdampingan dengan rumah kumuh? Pertanyaan itu sempat menggelayut dalam benakku.

Perjalanan kami tidak berhenti sampai di Stasiun Rangkas Bitung. Setelah mengantri ke toilet untuk melaksanakan ‘panggilan alam’, kami segera bergegas untuk menuju Ciboleger menggunakan mobil elf yang sudah di booking oleh Fafa. Ciboleger adalah sebuah desa di Banten yang menjadi salah satu gerbang memasuki bumi Suku Baduy. Karena kami lumayan ramai maka dua mobil cukup untuk kami untuk meregangkan kaki yang dari tadi tertekuk di kereta yang padat tanpa space sedikitpun. Sampai-sampai kakipun sulit dan bingung diletakkan dimana.. hahaa..

Mobil elf melaju dengan kencang. Mungkin lebih kencang dari bus kopaja atau metromini yang lalu lalang di Jakarta. yeah.. tentu saja, mobil elf ini melaju tanpa rintangan yang berarti di depannya. Jalanan yang mulus melintang tanpa ujung. Sesekali mobil seperti terjungkal melewati jalanan yang berlubang. Aku dan seorang teman memilih untuk duduk disamping abang sopir.

Kumiringkan kepalaku dan melirik ke abang supir yang serius menatap ke depan. Perawakan tinggi dengan kulit hitam legam yang terkena sengatan matahari setiap hari. Ketika berhenti di pom bensin, dia berbicara dengan temannya dengan bahasa Sunda Kasar. Pandangannya yang tajam dan sangar agak menyeramkan bagiku sehingga aku enggan berbicara padanya. Namun diperjalanan dia yang mulai membuka pembicaraan. Ternyata orangnya ramah, benakku berbicara. Yeah.. tidak pantas menilai seseorang dari tampilan luar fisik saja kan.

Tugu selamat datang sudah menyambut kami di Desa Ciboleger. Satu persatu turun dari elf. Lengan dan wajah kami langsung ditampar oleh sengatan matahari yang sudah tepat berada diatas kepala kami. Kami bergegas ke warung yang berada di salah satu pojok. Kami beristirahat sejenak disini sebelum melanjutkan perjalanan. Kali ini bukan naik kereta atau naik mobil elf lagi. Kami akan berjalan menyusuri bukit-bukit, melewati desa-desa untuk menuju Desa Cikeusik. Salah satu desa tempat bermukimnya Suku Baduy Dalam.

Makan siang di warung ini menjadi menu kuliner sederhana tapi enak dan mengenyangkan. Entah bagaimana si ibu warung mengulek sambelnya menjadi begitu segar dan enak. Sambelnya berikut sayur dan lauk sudah habis kami serbu. Mungkin ibu warung akan cepat menutup warungnya hari ini, target penjualannya tercapai, kata temanku sok tahu.

Pukul setengah dua siang kami berangkat untuk memulai perjalanan yang pasti akan menguras tenaga itu. Karena perjalanan kurang lebih lima jam naik turun bukit maka kami membawa masing-masing dua botol air mineral masing-masing ukuran 1,5 liter. Air mineral kemudian bergabung dengan pakaian ganti dan bahan makanan di dalam ransel. Berat tentu saja, tapi itu tak kami rasakan ditengah gelak tawa dan semangat menggelora.

Setelah memasuki gerbang masuk bumi Baduy, kami melewati beberapa desa yang dimukim oleh warga Baduy Luar. Sapri, seorang Baduy Dalam yang akan menemani kami sepanjang perjalanan ini dan sekaligus penunjuk jalan bagi kami. Bertubuh kecil agak pendek dibalut kulit putih bersih dengan mata cokelatnya yang lembut dan segar menyambut kami. Dia tersenyum seakan mengatakan selamat datang di tanah kelahirannya.

Bersama Sapri
Bersama Sapri

Dia masih sangat muda, baru 16 tahun usianya. Namun dia sudah terbiasa dengan perjalanan sejauh ini hampir setiap hari. Dia mengenakan pakaian putih dan bawahan putih dengan ikat kepala putih tersemat disekeliling kepalanya. Dia tidak memakai alas kaki dan tas kecil yang entah apa isinya.

Sapri cepat sekali bergaul dengan kami. Dia begitu ramah dan dengan lugas menceritakan berbagai hal mengenai kampungnya ini. Dia begitu semangat ketika dia menceritakan penjelajahannya ke seantero Jakarta. Dan yang lebih mengejutkan lagi mereka mengelilingi Jakarta dengan berjalan kaki. Aku sempat terhenyak dan tak percaya, bagaimana mungkin perjalanan dari Baduy Dalam ke Jakarta dan tanpa alas kaki. Sudah kubayangkan perjalanan yang begitu panjang dan sentuhan telapak kaki di aspal jalan yang membara, bisa jadi telapak kaki melepuh. Aku berdecak kagum pada mereka. Mereka sangat luar biasa.

Sapri juga menceritakan mengenai keluarganya dan mengundang kami untuk singgah ke rumahnya nanti. Dia ingin mengenalkan kami dengan ayah ibunya, katanya. Sapri juga bisa menjadi porter dadakan untuk membawakan tas-tas pengunjung yang sudah kelelahan. Dan salutnya lagi, ketika peluh keringat kami berjatuhan dan air mineral sudah hampir habis, Sapri masih begitu segar tanpa keringat yang berarti dan tanpa minum air sebanyak yang kami minum. Dia masih sangat santai ketika kami meminta untuk berhenti sejenak menarik nafas dan menjemput energi yang hilang. Dia hanya tersenyum menatap kami. Kami mungkin malu melihat ini, kami yang sudah lunglai tanpa beban ransel di pundak, sedangkan dia masih begitu segar dengan beberapa ransel tergantung dipundak dan dadanya. Wah..wah…wah, ini tidak boleh terjadi, pikirku. Kunaikkan ransel ke punggungku dan kuhapus peluh yang sedari tadi menetes membasahi sekujur tubuhku. Aku berdiri dan mengajaknya melanjutkan perjalanan.

“Kenapa mereka disebut Baduy Luar?,” Tanyaku pada seorang bapak yang duduk disampingku ketika kami beristirahat di depan rumah seorang warga Baduy. Rumah itu masih berada di wilayah desa Baduy Luar. Rumahnya terbuat dari bambu, lantai dan dinding, segalanya dari bambu dan kayu. Rumahnya sederhana namun bersih dan nyaman. Atap rumahnya dari ijuk sehingga sangat teduh berada dibawahnya.

Rumah suku Baduy
Rumah suku Baduy

“Pada awalnya, semua Baduy adalah Baduy Dalam, mereka melanggar peraturan dan tradisi orang Baduy Dalam, sebagian memang ingin keluar dari Baduy Dalam”, cerita bapak itu. Katanya, Baduy Dalam tertutup terhadap perkembangan teknologi. Mereka sangat mempertahankan budaya leluhur sehingga tidak menerima perkembangan dari luar. Bahkan listrik dan pendidikan untuk anak-anak juga mereka tolak memasuki kampung mereka. Pemerintah pernah ke kampung membujuk mereka namun mereka tetap menolak.

Tradisi begitu mengikat mereka, namun tidak semua merasa terkekang. Hanya sebagian orang saja yang melanggar dan terpaksa keluar dari Baduy Dalam. Secara penampilan, perbedaan Baduy Luar dan Baduy Dalam sangat jelas terlihat. Baduy Dalam hanya mengenakan pakaian dengan warna putih atau hitam atau hitam putih, tidak ada warna lain. Dan mereka tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki sejauh apapun perjalanan itu. Yang lebih mencengangkan lagi, Baduy Dalam juga menolak untuk naik kendaraan ketika melakukan perjalanan. Maka bisa kita bayangkan bagaimana mereka melakukan perjalanan menggunakan kaki telanjang menyusuri jalanan beraspal dan mengarungi Kota Jakarta.

Oleh sebab itu pula tidak semua warga Baduy Dalam yang sanggup pergi ke Jakarta, mereka memilih untuk tetap tinggal disekitar kampung Baduy Dalam dan Baduy Luar. Terlebih lagi perempuan, tak satupun perempuan yang sanggup melakukan perjalanan ke Jakarta. Memilih menetap di kampung saja. Maka tak heran, hanya beberapa dari orang Baduy Dalam saja yang mengerti Bahasa Indonesia. Para perempuan tidak aku temukan yang mengerti Bahasa Indonesia.

Turis mancanegara tidak diperbolehkan menjamah wilayah Baduy Dalam. Itu sudah menjadi aturan baku dan semua warga tahu. Turis-turis luar itu hanya bisa mencapai desa-desa disekitar Baduy Luar. Dan di wilayah Baduy Dalam tidak boleh melakukan prosesi foto-foto. Jadi kami hanya berfoto ria sepanjang masih wilayah Baduy Luar.

Orang Baduy Luar sudah menerima perkembangan teknologi. Mereka menetap di beberapa desa di sekeliling desa Baduy Dalam. Pakaian mereka sudah banyak bercorak dan seperti pakaian masyarakat pada umumnya. Mereka juga sudah menggunakan alas kaki dan naik kendaraan. Mereka juga sudah menggenggam handphone. Mereka sudah seperti masyarakat pada umumnya tanpa tradisi yang mengekang. Walaupun terpisah karena tradisi, orang Baduy Dalam dan Baduy Luar masih berkerabat dan tetap menjalin hubungan baik antar kerabat. Mereka hidup berdampingan dengan harmonisasi perbedaan itu.

Perjalanan terus berlanjut, tidak hanya bukit dan desa yang kami lewati tapi juga beberapa sungai yang harus kami seberangi. Jembatannya dibuat dari kumpulan bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga kokoh menahan beban yang lewat menyeberangi sungai. Bambu-bambu itu diikat dengan sejenis ijuk dan kuperhatikan tidak ada paku yang tertancap disana. Satu persatu kami menyeberangi sungai ini. Tak ada keraguan bagi kami jikalau jembatan ini akan runtuh dan kami terperosok masuk ke sungai.

Alam Baduy Banten
Alam Baduy Banten

Selama perjalanan panjang itu, aku banyak berbincang dengan Sapri. Keingintahuanku begitu besar dan meledak-ledak. Teman yang bersamaku berjalan juga ikut nimbrung menimpali percakapan kami. Perjalanan yang santai dan penuh dengan cerita unik dan luarbiasa dari Baduy Dalam membuat semua ini semakin berkesan dan lelah tak kami hiraukan.

“Orang Baduy Dalam juga punya agama,” celetuk Sapri. “ Agama kami disebut Sunda Wiwitan dan nabinya Nabi Adam, ini adalah agama para leluhur” dia menjelaskan. Mungkin bagi mereka agama dan budaya itu masih satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka juga berpuasa sama seperti umat muslim, namun puasanya hanya sekali dalam sebulan dan berlangsung dalam tiga bulan berturut-turut. Setelah puasa itu, mereka juga merayakan hari raya yang disebut Kawaluk.

Ditengah jalan, kami perpapasan dengan serombongan orang yang memikul berkwintal beras dan yang lain menggotong ayam-ayam yang diikat rapi di kayu yang dijadikan penyangka dan diletakkan di bahu. Mereka berjalan lebih cepat dari kami, mungkin agar perjalanan tidak terlalu lama untuk menahan beban berat itu. Mereka mengarah ke jalan menuju Kampung Cikeusik. Kata Sapri, akan ada acara pernikahan di kampung. Mendengar itu, aku melonjak senang dan berharap bisa menyaksikan perhelatan besar itu.

Masih penasaran, aku menanyakan apa saja kegiatan selama pesta. Bagaimana pakaian pengantinnya. Pertanyaan bertubi-tubi itu tetap disambut Sapri dengan santai. “ Perayaan akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut, ada beberapa tradisi yang dilakukan. Perayaan dilakukan di lapangan kampung. Semua orang akan berkumpul dan sanak saudara diundang. Bagi para tamu yang berkunjung kesana juga boleh turut serta memeriahkan perhelatan itu. Kalau Pakaian sih, biasa saja tidak ada manik-manik atau asesoris lain yang menghiasi sang pengantin untuk terlihat lebih anggun, hanya saja pakaiannya lebih baru, kata Sapri yang membuat kami tergelak.

 Hari semakin kelabu, malam semakin temaram. “Kita harus sudah sampai di kampung sebelum malam semakin gelap,” seru Sapri. Kami semakin mempercepat langkah karena kampung sudah dekat. Setelah melewati satu sungai lagi, kami sudah melihat rumah penduduk suku Baduy Dalam. Disini sangat gelap, tak ada lampu yang menerangi rumah, hanya lampu kecil yang dibuat dan bahan bakarnya minyak tanah berada disudut ruangan rumah itu.

Kami akan menginap di rumah Bapak Herman. Beliau sudah berkeluarga dan memiliki dua orang putra putri. Mereka masih terlihat sangat muda. Bapak Herman mengerti Bahasa Indonesia, namun sang istri dan anak-anak tidak. Kami jadi lebih banyak mengobrol dengan Bapak Herman. Beliau begitu ramah menyambut kami. Beliau dan istri begitu romantis memasak berdua untuk menjamu kami malam ini.

Walaupun diluar sana mereka tidak menggunakan alas kaki, rumah mereka sangat bersih dan nyaman. Setiap kali masuk rumah wajib cuci kaki yang sudah disediakan di depan rumah. Ada setumpuk bambu-bambu yang disenderkan didinding rumah dan isinya air bersih. Airnya bisa langsung diminum dan sangat segar. Kampung ini sangat terhindar dari polusi baik polusi udara, polusi air ataupun polusi lain. Kami tidak diperkenankan menggunakan berbagai sabun ketika membersihkan diri di sungai atau masih berada di sekitar kampung ini. Mereka sangat menjaga keaslian dan keasrian kampung ini, kampung dimana mereka hidup dan tumbuh. Kalau bukan mereka siapa lagi yang akan menjaga kampungnya dari segala ancaman polusi itu.

Aku tidak mau melewatkan malam ini hanya meringkuk dan tidur. Kami bercengkerama didepan rumah sambil menikmati rembulan malam. Kampung ini akan begitu sepi tanpa kehadiran kami. Anak-anak berlarian hanya sekitar jam tujuh malam. Mereka berlari kesana kemari tanpa penerangan dan tidak takut gelap. Mereka sudah terbiasa dengan malam gelap ini. langkah mereka pasti menyusuri sungai-sungai tanpa alas kaki selembar pun. Tanpa takut kaki mereka akan tergores benda tajam.

Bapak Herman juga menyempatkan diri untuk bercerita dan mengobrol dengan kami. Mereka kebanyakan sudah dijodohkan dari kecil. Mereka tidak menolak dan menjalankan semua tradisi itu sepenuh hati. Mereka sangat mencintai budaya dan tradisi mereka. Keramahan dan kelembutan mereka begitu nyata.

Malam ini begitu dingin namun tidak sedingin diluar rumah. Kami tidur berjejer di rumah sederhana ini. suara jangkrik diluar sana terdengar samar. Satu hal yang masih kuingat ketika kami ke sungai membersihkan diri, ada kunang-kunang berterbangan dipinggir sungai. Tubuhnya yang menghasilkan cahaya dimalam gelap bagai lampu berkelap kelip menghiasi malam senyap itu.

Aku bangun lebih pagi dan menyempatkan berkeliling sekitar kampung kecil ini. deretan rumah dengan cirri khas Baduy Dalam tersusun rapi membentuk lorong sebagai jalan. Banyak orang Baduy yang bersantai di depan rumahnya sambil menikmati pagi yang sejuk. Anak-anak bergerombol dan menatap kami yang lewat di depan rumah mereka. Anak-anak disini putih bersih dan cantik dan ganteng. Mereka pemalu dan berlari ketika kami mendekat.

Karena perjalanan yang jauh, sebelum siang kami sudah berbenah untuk kembali ke kota. Ikat kepala khas Baduy sudah terikat di setiap kepala kami. Bapak Herman juga akan ikut bersama kami dan menghantar kami sampai kami bertemu elf di perkampungan Baduy Luar.

“Kabari kalau mau ke Baduy lagi,” pesan Bapak Herman. Mereka dengan senang hati membuka rumahnya dan turun bukit untuk menyambut kami.

Repost from: here

Categories
Hiking

Pesona Gunung Papandayan, Pendakian Istimewa

Pendakian ke gunung Papandayan sudah direncanakan dari sebulan sebelumnya. Dan akhirnya, kami berangkat tanggal 19 Oktober 2012 dan kembali ke Jakarta tanggal 21 Oktober 2012 tepatnya berangkat jumat malam dan pulang minggu sore. Selama kurang lebih satu bulan ini, saya bersama teman mencari teman yang lain yang tertarik ikut pendakian ini. Dan ternyata lumayan, dari 23 orang yang terdaftar yang memastikan ikut, akhirnya yang benar-benar berangkat sebanyak 22 orang, 21 orang dari Jakarta dan 1 orang dari Bandung, lumayaann.. hehe, tadinya saya pikir tidak akan sampe 20an orang, karena mengingat pendakian sebelumnya ke gunung Gede yang pertama kita berangkat dengan 15 orang dan pendakian gunung Gede yang kedua Cuma 10 orang, Jadi dengan 22 orang yang berangkat pendakian gunung Papandayan akan semakin seru dan semakin semangat. Apalagi, selama persiapan sampai menunggu tanggal yang sudah dipastikan untuk berangkat, teman-teman sudah tidak sabar untuk nanjak, haha..semua bersemangat, semua penasaran, sungguh memancarkan energi positif, dan saya suka. Hehe..

Masa pencarian teman mendaki dan pencarian informasi

Karena merasa sudah lama tidak mendaki gunung, ada rasa kangen juga untuk mendaki karena terakhir mendaki bulan Mei 2012 ke gunung Gede. Maka, saya dengan teman-teman satu komunitas yaitu OMKKJ merencanakan pendakian ke gunung Papandayan. Berhubung saya belum pernah ke gunung Papandayan bahkan ke Garut pun belum pernah (haha..) jadi saya tidak punya gambaran gimana situasi disana. Maka mulailah om google berfungsi kembali, mencari dan mencari sebanyak mungkin info mengenai gunung Papandayan.

Gunung Papandayan tidak setinggi gunung Gede Pangrango sehingga sangat cocok untuk pemula. Gunung Papandayan dengan ketinggian 2665 mdpl berada di desa Cisurupan kabupaten Garut. Dan awal tracking juga tidak dimulai dari bawah banget, karena hampir setengah perjalanan sudah beraspal dan dapat dilalui dengan menggunakan mobil pick up.

Setelah membaca artikel teman-teman yang sudah pernah kesana, saya mulai kebayang bagaimana situasi disana dan bagaimana menganggarkan biayanya. Nah, belum bisa lega karna jujur kami tidak punya perlengkapan nge-camp yang memadai bahkan bisa dibilang sangat minim. Mencari penyewaan  perlengkapan nge-camp seperti tenda, matras, nesting di Jakarta menurut saya agak sulit (karna saya tidak tau tempatnya dimana dan walau searching di google juga tidak nemu hiks..), akhirnya usaha dan berharap banget niy di Garut atau di desa Cisurupan ada yang menyewakan perlengkapan yang kami butuhkan dan jumlahnya cukup.

Tidak banyak informasi, tapi akhirnya dapat juga satu website yang menyediakan jasa porter dan menyewakan perlengkapan nge-camp dan tepat banget di desa Cisurupan, hooraayy.. saya bersorak dalam hati.. hehe.. ada pencerahan, dan langsung menghubungi nomor telepon yang tercantum di website tersebut. Waktu di telpon, nyambung dan ada yang angkat, hhh.. agak lenga, yang menyahut di seberang sana namanya Kang Rahayu. Saya langsung menanyakan apakah perlengkapan yang kami butuhkan tersedia dan cukup, karna Kang Rahayu juga menawarkan untuk membantu transportasi selama di Garut ke Papandayan, saya langsung menerima niat baiknya. Akhirnya segalanya saya tanya ke Kang Rahayu. Orangnya cukup ramah dan banyak memberikan informasi. Tadinya siy dia juga menawarkan jasa porter atau guide tapi saya piker jasa itu tidak perlu karena teman-teman yang saya bawa untuk mendaki bukan newbie dalam dunia pendakian.

Jumat,19 Oktober 2012

Akhirnya hari ini tiba juga, setelah penantian dan persiapan, kami akan berangkaat.. ^^

Saya mengumpulkan pasukan pukul 20.00 malam dan meeting point di Cililitan karena kami akan menggunakan bus primajasa jurusan Garut. Awalnya bus terakhir yang berangkat ke Garut katanya pukul 21.00, namun setelah nego sama pak mandor maka kami akan ditunggu sampai pukul 21.30, sambil menunggu teman-teman yang belum nyampe di cililitan, saya dan beberapa teman packing bahan makanan dan barang-barang yang akan kita bawa, tidak terlalu banyak karena perlengkapan seperti tenda, matras, nesting, dan sleeping bag akan kita sewa di tempat Kang Rahayu. Maka tibalah pukul 21.30 dan kita langsung capcus menuju terminal primajasa dan go go, berangkaat..

Pasukan 22 berangkat dengan perasaan hepi.. di bus semua sudah mengambil posisi dan beristirahat untuk saving energy, walau pun demikian sebagian pada ga bisa istirahat atau tidur, memang kawan-kawan saya ini gemar bercerita. Estimasi sampai di Garut pukul 03.00 dini hari agak meleset, karena pukul 01.30 kami sudah hampir sampai, untung pak supir pick up yang akan menjemput kami selalu standby jadi kami tidak terlantar menunggu jemputan. Kami berhenti di bunderan tarogong sebelum terminal guntur, dan akan dijemput pick up dari situ. Untung tidak lama menunggu, pick up kami datang dan langsung meluncur. Tadinya, kami berencana langsung ke pelataran parkir gunung Papandayan, namun berhubung kami kecepatan nyampe di Garut, maka kami singgah dan ngaso dulu di rumah Kang Rahayu di desa Cisurupan.

Sekitar pukul 03.00 dini hari  kami tiba di rumah Kang Rahayu, dan teman saya yang dari Bandung sudah sampai duluan dan sudah bersantai ria. Sebagian teman langsung ngantri di toilet, mungkin pada masuk angin diterba angin yang bukan sepoi-sepoi lagi selama diatas mobil pick up haha..

Pukul 05.00 pagi, kami lanjut ke pelataran parkir gunung papandayan menggunakan mobil pick up yang dari tadi setia menunggu. Setibanya disana, masih agak gelap karena warung-warung yang ada disana memang tidak memakai listrik sehingga tidak ada lampu yang menerangi, hanya ada lilin dan lampu badai. Kami langsung menuju pos jaga dan menyewa perlengkapan yang sudah di booking sebelumnya ke Kang Rahayu. Sambil menunggu fajar menyingsing dan kabut pagi itu menghilang, kami beristirahat, nongkrong di warung dan sarapan.

Sabtu, 20 Oktober 2012 —Start tracking

Setelah packing ulang dan embun pagi mulai meninggalkan padang rerumputan, dan bukit dibelakang pos jaga mulai memancarkan pesonanya, lets goooo.. tracking dimulai.

Batu kerikil yang sangat labil kami lalui sepanjang jalan menuju ke pondok saladah tempat dimana kami akan mendirikan tenda dan menginap. Hamparan kawah dengan asap yang mengepul dari setiap lubang kawah, bau belerang yang tajam, dan suara seperti air mendidih yang terdengar dari lubang kawah menjadi pesona tersendiri bagi yang mendaki gunung Papandayan. Karena bau belerang yang sangat kuat, disarankan memakai masker atau slyer yang dibasahi air, sehingga tidak susah bernafas dan bau belerangnya jadi tidak terlalu menyengat. Berhubung pasukan 22 belum pernah satu orang pun ke gunung ini, sempat kehilangan arah karena adanya longsor yang akhirnya mengubah sedikit jalur pendakian, namun tidak terlalu susah untuk mencari jalur pendakian yang baru, karena gunung papandayan tidak banyak ditumbuhi pepohonan sehingga jarak pandang mata sangat luas.

Setelah kurang lebih 2 jam berjalan akhirnya sampai juga di pondok saladah. Kami bertemu juga dengan para pendaki dari komunitas lain yang akan nge-camp disini. Pondok saladah merupakan suatu dataran yang berumput dan terdapat air yang bisa dikonsumsi dan cocok sebagai tempat beristirahat bagi para pendaki. Setelah semua tenda berdiri dengan kokohnya dan makan siang, maka kami bersantai ria dan istirahat menikmati angin semilir.

Dari pondok saladah terlihat beberapa puncak Papandayan, sempat agak heran puncak sebenarnya yang mana. Dari kejauhan juga terlihat hutan mati sebagai akibat adanya erupsi di tahun 2002 yang membuat papandayan semakin mempesona.

Malam hari dibawah sinar rembulan yang terang, udara mulai terasa dingin, kami membuat perapian untuk menghangatkan badan, agar tidak terlalu dingin kami pun bernyanyi ria sambil bersahutan sehingga angin yang menusuk tidak terasa dingin.

Minggu, 21 Oktober 2012 — tracking berlanjut

Tracking selanjutnya adalah padang tegal alun. Tracking ini akan kami tempuh kurang lebih selama satu jam. Karena beberapa teman tidak ikut untuk track ini, maka kami tugaskan mereka untuk packing semua perlengkapan hehe..

Track menuju tegal alun sangat terjal, kami melalui bebatuan besar sebagai pijakan untuk naik, mungkin jalur itu merupakan jalur aliran sungai yang kering. Cuaca sangat cerah dan terik, tapi tidak mematahkan semangat untuk melihat edelweis yang tumbuh subur di tegal alun. Selama perjalanan, semua asik narsis berfoto ria, karena view nya baguus banget.. hehe

Setelah turun kembali ke pondok saladah, teman yang menunggu di pondok saladah ternyata sangat teladen karna sudah menyelesaikan tugas yaitu membereskan semua perlengkapan. Dan setelah istirahat sejenak kami langsung bersiap untuk pulang kembali ke Jakarta.

Banyak hal kami rasakan, mulai dari pertemanan, sukacita, pemandangan yang luar biasa dan kesan yang tak kan terlupakan sepanjang perjalanan ke gunung Papandayan. Mendaki sampai ke puncak tanpa ada kata menyerah, menghilang sejenak dari peradaban kota yang penuh sesak, mendengar bisikan angin dan menyatu dengan alam, menghirup udara segar yang takkan didapat di kota yang penuh polusi. Semangat mendaki gunung semoga mengalir sampai semangat untuk tetap mendaki mimpi yang lebih tinggi dari gunung.