Kakiku sudah sangat ingin melangkah. Hatiku sudah sangat ingin menyentuh hal baru. Mataku sudah merindukan kesejukan alam. Sudah lama rasanya aku tak merasakan angin dingin menusuk tulangku, dedaunan menyentuh kalbuku. Aku sangat merindukan alam yang tenang. Sudah lama aku berkutat dengan laporan-laporan kantor yang semakin menumpuk. Aku butuh bernafas. Alam adalah nafasku.
Kuputuskan untuk beralih sejenak dari kepenatan ini. Aku mulai menggerak-gerakkan mouse komputer di depanku dan mencari informasi wisata yang menarik. Aku terpaku pada suatu open trip ke Suku Baduy yang diadakan oleh suatu komunitas backpacker. Peminatnya cukup banyak, ada dua rombongan yang mengadakan trip ke Baduy di komunitas ini untuk tanggal yang sama. Setelah melihat jadwal aku segera mendaftarkan diri untuk bergabung dengan salah satu rombongan trip tersebut.
Aku agak heran kenapa begitu banyak orang yang tertarik untuk mengunjungi suku Baduy di pedalaman Banten ini. Ini bukan trip untuk bersenang-senang dengan keindahan pantai menakjubkan atau pendakian gunung dengan iming-iming keindahan tak terkira setelah pencapaian puncak gunung. Ini sebuah perjalanan ke pedalaman hutan yang tak jauh dari Jakarta.
Ini adalah suatu perjalanan yang berbeda bagiku. Selama ini perjalanan yang sering aku lakukan adalah mendaki puncak-puncak gunung nan tinggi atau menjejali pulau-pulau nan elok. Kali ini suatu perjalanan penuh makna menyentuh hati akan suatu pendirian dan kecintaan akan budaya dan tradisi. Memasuki pedalaman Baduy bagai memasuki alam lain dengan sentuhan keramahan penduduk dan kelembutan alamnya.
Perjalanan ini adalah perjalanan dengan dana seadanya. Tak akan ada kursi empuk, tak akan ada AC sejuk untuk menepis panasnya sengatan matahari siang. Perjalanan ini diawali dengan transportasi kelas ekonomi dan sarapan murah di pinggir jalan di depan stasiun.
Aku melangkah dengan semangat menembus pagi yang muram menuju Stasiun Tanah Abang tempat kami berkumpul. Selama perjalanan ke Stasiun Tanah Abang, aku sangat penasaran dan tidak sabar bertemu dengan orang-orang baru yang akan menjadi teman baruku selama semalam menginap di atap bumi Baduy. Hal ini juga baru pertama kali kulakukan, melakukan perjalanan dengan orang asing. Aku tidak tahu pasti semangat yang menggelora di dada ini datangnya darimana. Yang aku tahu pasti aku merasakan jiwaku begitu antusias menangkup alam. Sudah terbayang dibenakku alam dengan rimbunnya pepohonan dan orang-orang Baduy seperti yang aku lihat di foto-foto perjalanan para blogger.
Aku menyempatkan diri menyantap sarapan pagi di pinggir Stasiun Tanah Abang. Sarapan ini akan menjadi energi bagiku sampai siang ketika tiba di Ciboleger. Cukup murah untuk sarapan yang memuaskan itu. Aku beranjak dan berlari kecil memasuki stasiun ketika melirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07.30. Tentu saja aku takut ketinggalan kereta. Sungguh tidak lucu rasanya ketinggalan kereta padahal sudah berada di stasiun, bukan?
Aku lurus memandang ke sekeliling ruang tunggu itu, sepagi ini terlalu banyak orang yang lalu lalang di ruangan itu sehingga mengaburkan pandanganku ke arah teman-teman baruku. Aku melewati satu gerombolan orang yang aku tebak bukan bagian dari gerombolanku. Aku mencari satu sosok orang yang menjadi tim leader di rombongan kami. Dua hari sebelum berangkat kami sempat mengadakan pertemuan sembari saling berkenalan satu sama lain di Angkringan Pancoran. Fafa sebagai penggagas trip ini yang menyarankan pertemuan itu. Tidak semua yang datang sehingga memudahkan aku memingat beberapa orang. Kucari sosok wajah itu dan akhirnya kutemukan mereka berada di pojok ruang tunggu di stasiun ini, duduk berkeliling dan membekap tas ransel masing-masing.
Sudah hampir semua datang, wajah-wajah mereka masih asing bagiku. Fafa yang sudah siap dengan kertas ditangannya mengecek kehadiran para peserta. Kami masih duduk membentuk lingkaran dan secara spontan saling berkenalan. Sungguh wajar harus berkenalan dengan teman yang akan satu atap denganku malam ini. Perkenalan ini membuka keluarga baru bagiku, setelah perkenalan itu tentu mereka bukan menjadi orang asing lagi. Tidak begitu sulit untuk menjadikan pembicaraan kami hangat. Semua sangat cepat berbaur. Tentu ini awal yang sangat menyenangkan.
Pukul 07.50 kami mengantri memasuki gerbong kereta ekonomi seharga dua ribu rupiah ini menuju Rangkas Bitung. Orang berjejal memasuki pintu gerbong dan berebut kursi yang terbatas. Asap rokok dan sampah makanan bertebaran sepanjang gerbong. Kami berusaha mendapatkan tempat duduk untuk sekedar menghemat energi untuk perjalanan yang masih panjang.
Aku bersyukur masih mendapat tempat duduk disamping seorang ibu dengan anak kecil yang mendekap ibunya dengan erat. Di depanku beberapa bapak-bapak dengan asap rokoknya yang mengepul. Aduuhh.. kenapa si bapak begitu cuek dengan asap rokoknya tanpa memedulikan sekitar gerbong yang semakin pengap dan panas, ditambah lagi bau asap rokok yang membuat mual dan bau-bau lain yang sulit aku deskripsikan. Ini sangat menyesakkan, aku berusaha menutup hidung dengan tisu namun bau itu masih menembus tisu yang kupegang. Seorang temanku sangat kreatif. Dia membeli satu buah jeruk dari penjual yang sangat sibuk lalu lalang menjajakan dagangannya sepanjang lorong kereta ini. Jeruk yang dibeli bukan dimakan karena rasanya juga sudah tak terdeskripsikan. Dia mengajariku untuk mencium kulit jeruk itu sepanjang perjalanan untuk menghilangkan bau yang terhirup. Tentu saja itu lumayan mujarab, aku mencium bau aroma jeruk dari kulitnya. Sangat membantu, pikirku.
Aku berusaha untuk menyandarkan punggungku ke sandaran tempat duduk kereta yang keras dan sebenarnya jauh dari kata nyaman tapi tetap tidak bisa. Hiruk pikuk para pedagang itu sangat memekakkan telinga dan bapak disampingku terus berbicara padaku. Dari dia bertanya kami mau kemana sampai bagaimana dia setiap harinya menggunakan kereta ini selama beraktifitas, dimana dia tinggal, mengenai sanak saudara dan kampung halamannya. Dia begitu bangga menceritakan semua itu.
Hampir tiga jam, kami tiba di stasiun Rangkas Bitung. Sebelum kami turun Fafa sudah dari tadi memperingatkan untuk mengambil barang-barang jangan sampai ada yang tertinggal dan membangunkan beberapa teman yang masih terlelap. Huuaahh.. akhirnya menghirup udara segar juga, teriakku ketika tepat menginjakkan kaki keluar gerbong sesak itu. Weeww.. sejenak aku terkesan dan masih memandangi kereta itu yang kemudian kembali mengangkut penumpang.
Penumpangnya sangat beragam. Kebanyakan warga lokal dengan barang bawaan yang super besar.Mungkin barang dagangan atau barang belanjaan. Sepintas aku teringat ketika aku masih kecil dulu, waktu pertama kali naik kereta api dari Pematang Siantar ke Medan. Hari itu hari yang tak terlupakan bagiku dan sangat berkesan. Ayah sengaja mengajak kami pulang ke Medan menggunakan kereta saat itu. Beliau mau memberikan kejutan padaku dan mungkin beliau juga mau melihat senyum lebarku ketika takjub melihat ular besi itu melaju kencang. Walaupun ekonomi, sudah cukup membuatku bahagia tidak kepalang saat itu. Banyak penjaja makanan di sekitar gerbong, persis seperti ini ditambah dengan bau-bau aroma yang bercampur aduk tidak jelas. Sepanjang jalan aku tidak mau tidur untuk melewatkan momen selama perjalanan itu. Aku berdiri diatas tempat duduk dan memandangi deretan rumah kumuh yang kami lewati. Disini juga seperti itu, deretan rumah kumuh juga menjadi pemandangan pilu sepanjang perjalanan ini. Apakah rel kereta identik berdampingan dengan rumah kumuh? Pertanyaan itu sempat menggelayut dalam benakku.
Perjalanan kami tidak berhenti sampai di Stasiun Rangkas Bitung. Setelah mengantri ke toilet untuk melaksanakan ‘panggilan alam’, kami segera bergegas untuk menuju Ciboleger menggunakan mobil elf yang sudah di booking oleh Fafa. Ciboleger adalah sebuah desa di Banten yang menjadi salah satu gerbang memasuki bumi Suku Baduy. Karena kami lumayan ramai maka dua mobil cukup untuk kami untuk meregangkan kaki yang dari tadi tertekuk di kereta yang padat tanpa space sedikitpun. Sampai-sampai kakipun sulit dan bingung diletakkan dimana.. hahaa..
Mobil elf melaju dengan kencang. Mungkin lebih kencang dari bus kopaja atau metromini yang lalu lalang di Jakarta. yeah.. tentu saja, mobil elf ini melaju tanpa rintangan yang berarti di depannya. Jalanan yang mulus melintang tanpa ujung. Sesekali mobil seperti terjungkal melewati jalanan yang berlubang. Aku dan seorang teman memilih untuk duduk disamping abang sopir.
Kumiringkan kepalaku dan melirik ke abang supir yang serius menatap ke depan. Perawakan tinggi dengan kulit hitam legam yang terkena sengatan matahari setiap hari. Ketika berhenti di pom bensin, dia berbicara dengan temannya dengan bahasa Sunda Kasar. Pandangannya yang tajam dan sangar agak menyeramkan bagiku sehingga aku enggan berbicara padanya. Namun diperjalanan dia yang mulai membuka pembicaraan. Ternyata orangnya ramah, benakku berbicara. Yeah.. tidak pantas menilai seseorang dari tampilan luar fisik saja kan.
Tugu selamat datang sudah menyambut kami di Desa Ciboleger. Satu persatu turun dari elf. Lengan dan wajah kami langsung ditampar oleh sengatan matahari yang sudah tepat berada diatas kepala kami. Kami bergegas ke warung yang berada di salah satu pojok. Kami beristirahat sejenak disini sebelum melanjutkan perjalanan. Kali ini bukan naik kereta atau naik mobil elf lagi. Kami akan berjalan menyusuri bukit-bukit, melewati desa-desa untuk menuju Desa Cikeusik. Salah satu desa tempat bermukimnya Suku Baduy Dalam.
Makan siang di warung ini menjadi menu kuliner sederhana tapi enak dan mengenyangkan. Entah bagaimana si ibu warung mengulek sambelnya menjadi begitu segar dan enak. Sambelnya berikut sayur dan lauk sudah habis kami serbu. Mungkin ibu warung akan cepat menutup warungnya hari ini, target penjualannya tercapai, kata temanku sok tahu.
Pukul setengah dua siang kami berangkat untuk memulai perjalanan yang pasti akan menguras tenaga itu. Karena perjalanan kurang lebih lima jam naik turun bukit maka kami membawa masing-masing dua botol air mineral masing-masing ukuran 1,5 liter. Air mineral kemudian bergabung dengan pakaian ganti dan bahan makanan di dalam ransel. Berat tentu saja, tapi itu tak kami rasakan ditengah gelak tawa dan semangat menggelora.
Setelah memasuki gerbang masuk bumi Baduy, kami melewati beberapa desa yang dimukim oleh warga Baduy Luar. Sapri, seorang Baduy Dalam yang akan menemani kami sepanjang perjalanan ini dan sekaligus penunjuk jalan bagi kami. Bertubuh kecil agak pendek dibalut kulit putih bersih dengan mata cokelatnya yang lembut dan segar menyambut kami. Dia tersenyum seakan mengatakan selamat datang di tanah kelahirannya.
Dia masih sangat muda, baru 16 tahun usianya. Namun dia sudah terbiasa dengan perjalanan sejauh ini hampir setiap hari. Dia mengenakan pakaian putih dan bawahan putih dengan ikat kepala putih tersemat disekeliling kepalanya. Dia tidak memakai alas kaki dan tas kecil yang entah apa isinya.
Sapri cepat sekali bergaul dengan kami. Dia begitu ramah dan dengan lugas menceritakan berbagai hal mengenai kampungnya ini. Dia begitu semangat ketika dia menceritakan penjelajahannya ke seantero Jakarta. Dan yang lebih mengejutkan lagi mereka mengelilingi Jakarta dengan berjalan kaki. Aku sempat terhenyak dan tak percaya, bagaimana mungkin perjalanan dari Baduy Dalam ke Jakarta dan tanpa alas kaki. Sudah kubayangkan perjalanan yang begitu panjang dan sentuhan telapak kaki di aspal jalan yang membara, bisa jadi telapak kaki melepuh. Aku berdecak kagum pada mereka. Mereka sangat luar biasa.
Sapri juga menceritakan mengenai keluarganya dan mengundang kami untuk singgah ke rumahnya nanti. Dia ingin mengenalkan kami dengan ayah ibunya, katanya. Sapri juga bisa menjadi porter dadakan untuk membawakan tas-tas pengunjung yang sudah kelelahan. Dan salutnya lagi, ketika peluh keringat kami berjatuhan dan air mineral sudah hampir habis, Sapri masih begitu segar tanpa keringat yang berarti dan tanpa minum air sebanyak yang kami minum. Dia masih sangat santai ketika kami meminta untuk berhenti sejenak menarik nafas dan menjemput energi yang hilang. Dia hanya tersenyum menatap kami. Kami mungkin malu melihat ini, kami yang sudah lunglai tanpa beban ransel di pundak, sedangkan dia masih begitu segar dengan beberapa ransel tergantung dipundak dan dadanya. Wah..wah…wah, ini tidak boleh terjadi, pikirku. Kunaikkan ransel ke punggungku dan kuhapus peluh yang sedari tadi menetes membasahi sekujur tubuhku. Aku berdiri dan mengajaknya melanjutkan perjalanan.
“Kenapa mereka disebut Baduy Luar?,” Tanyaku pada seorang bapak yang duduk disampingku ketika kami beristirahat di depan rumah seorang warga Baduy. Rumah itu masih berada di wilayah desa Baduy Luar. Rumahnya terbuat dari bambu, lantai dan dinding, segalanya dari bambu dan kayu. Rumahnya sederhana namun bersih dan nyaman. Atap rumahnya dari ijuk sehingga sangat teduh berada dibawahnya.
“Pada awalnya, semua Baduy adalah Baduy Dalam, mereka melanggar peraturan dan tradisi orang Baduy Dalam, sebagian memang ingin keluar dari Baduy Dalam”, cerita bapak itu. Katanya, Baduy Dalam tertutup terhadap perkembangan teknologi. Mereka sangat mempertahankan budaya leluhur sehingga tidak menerima perkembangan dari luar. Bahkan listrik dan pendidikan untuk anak-anak juga mereka tolak memasuki kampung mereka. Pemerintah pernah ke kampung membujuk mereka namun mereka tetap menolak.
Tradisi begitu mengikat mereka, namun tidak semua merasa terkekang. Hanya sebagian orang saja yang melanggar dan terpaksa keluar dari Baduy Dalam. Secara penampilan, perbedaan Baduy Luar dan Baduy Dalam sangat jelas terlihat. Baduy Dalam hanya mengenakan pakaian dengan warna putih atau hitam atau hitam putih, tidak ada warna lain. Dan mereka tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki sejauh apapun perjalanan itu. Yang lebih mencengangkan lagi, Baduy Dalam juga menolak untuk naik kendaraan ketika melakukan perjalanan. Maka bisa kita bayangkan bagaimana mereka melakukan perjalanan menggunakan kaki telanjang menyusuri jalanan beraspal dan mengarungi Kota Jakarta.
Oleh sebab itu pula tidak semua warga Baduy Dalam yang sanggup pergi ke Jakarta, mereka memilih untuk tetap tinggal disekitar kampung Baduy Dalam dan Baduy Luar. Terlebih lagi perempuan, tak satupun perempuan yang sanggup melakukan perjalanan ke Jakarta. Memilih menetap di kampung saja. Maka tak heran, hanya beberapa dari orang Baduy Dalam saja yang mengerti Bahasa Indonesia. Para perempuan tidak aku temukan yang mengerti Bahasa Indonesia.
Turis mancanegara tidak diperbolehkan menjamah wilayah Baduy Dalam. Itu sudah menjadi aturan baku dan semua warga tahu. Turis-turis luar itu hanya bisa mencapai desa-desa disekitar Baduy Luar. Dan di wilayah Baduy Dalam tidak boleh melakukan prosesi foto-foto. Jadi kami hanya berfoto ria sepanjang masih wilayah Baduy Luar.
Orang Baduy Luar sudah menerima perkembangan teknologi. Mereka menetap di beberapa desa di sekeliling desa Baduy Dalam. Pakaian mereka sudah banyak bercorak dan seperti pakaian masyarakat pada umumnya. Mereka juga sudah menggunakan alas kaki dan naik kendaraan. Mereka juga sudah menggenggam handphone. Mereka sudah seperti masyarakat pada umumnya tanpa tradisi yang mengekang. Walaupun terpisah karena tradisi, orang Baduy Dalam dan Baduy Luar masih berkerabat dan tetap menjalin hubungan baik antar kerabat. Mereka hidup berdampingan dengan harmonisasi perbedaan itu.
Perjalanan terus berlanjut, tidak hanya bukit dan desa yang kami lewati tapi juga beberapa sungai yang harus kami seberangi. Jembatannya dibuat dari kumpulan bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga kokoh menahan beban yang lewat menyeberangi sungai. Bambu-bambu itu diikat dengan sejenis ijuk dan kuperhatikan tidak ada paku yang tertancap disana. Satu persatu kami menyeberangi sungai ini. Tak ada keraguan bagi kami jikalau jembatan ini akan runtuh dan kami terperosok masuk ke sungai.
Selama perjalanan panjang itu, aku banyak berbincang dengan Sapri. Keingintahuanku begitu besar dan meledak-ledak. Teman yang bersamaku berjalan juga ikut nimbrung menimpali percakapan kami. Perjalanan yang santai dan penuh dengan cerita unik dan luarbiasa dari Baduy Dalam membuat semua ini semakin berkesan dan lelah tak kami hiraukan.
“Orang Baduy Dalam juga punya agama,” celetuk Sapri. “ Agama kami disebut Sunda Wiwitan dan nabinya Nabi Adam, ini adalah agama para leluhur” dia menjelaskan. Mungkin bagi mereka agama dan budaya itu masih satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka juga berpuasa sama seperti umat muslim, namun puasanya hanya sekali dalam sebulan dan berlangsung dalam tiga bulan berturut-turut. Setelah puasa itu, mereka juga merayakan hari raya yang disebut Kawaluk.
Ditengah jalan, kami perpapasan dengan serombongan orang yang memikul berkwintal beras dan yang lain menggotong ayam-ayam yang diikat rapi di kayu yang dijadikan penyangka dan diletakkan di bahu. Mereka berjalan lebih cepat dari kami, mungkin agar perjalanan tidak terlalu lama untuk menahan beban berat itu. Mereka mengarah ke jalan menuju Kampung Cikeusik. Kata Sapri, akan ada acara pernikahan di kampung. Mendengar itu, aku melonjak senang dan berharap bisa menyaksikan perhelatan besar itu.
Masih penasaran, aku menanyakan apa saja kegiatan selama pesta. Bagaimana pakaian pengantinnya. Pertanyaan bertubi-tubi itu tetap disambut Sapri dengan santai. “ Perayaan akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut, ada beberapa tradisi yang dilakukan. Perayaan dilakukan di lapangan kampung. Semua orang akan berkumpul dan sanak saudara diundang. Bagi para tamu yang berkunjung kesana juga boleh turut serta memeriahkan perhelatan itu. Kalau Pakaian sih, biasa saja tidak ada manik-manik atau asesoris lain yang menghiasi sang pengantin untuk terlihat lebih anggun, hanya saja pakaiannya lebih baru, kata Sapri yang membuat kami tergelak.
Hari semakin kelabu, malam semakin temaram. “Kita harus sudah sampai di kampung sebelum malam semakin gelap,” seru Sapri. Kami semakin mempercepat langkah karena kampung sudah dekat. Setelah melewati satu sungai lagi, kami sudah melihat rumah penduduk suku Baduy Dalam. Disini sangat gelap, tak ada lampu yang menerangi rumah, hanya lampu kecil yang dibuat dan bahan bakarnya minyak tanah berada disudut ruangan rumah itu.
Kami akan menginap di rumah Bapak Herman. Beliau sudah berkeluarga dan memiliki dua orang putra putri. Mereka masih terlihat sangat muda. Bapak Herman mengerti Bahasa Indonesia, namun sang istri dan anak-anak tidak. Kami jadi lebih banyak mengobrol dengan Bapak Herman. Beliau begitu ramah menyambut kami. Beliau dan istri begitu romantis memasak berdua untuk menjamu kami malam ini.
Walaupun diluar sana mereka tidak menggunakan alas kaki, rumah mereka sangat bersih dan nyaman. Setiap kali masuk rumah wajib cuci kaki yang sudah disediakan di depan rumah. Ada setumpuk bambu-bambu yang disenderkan didinding rumah dan isinya air bersih. Airnya bisa langsung diminum dan sangat segar. Kampung ini sangat terhindar dari polusi baik polusi udara, polusi air ataupun polusi lain. Kami tidak diperkenankan menggunakan berbagai sabun ketika membersihkan diri di sungai atau masih berada di sekitar kampung ini. Mereka sangat menjaga keaslian dan keasrian kampung ini, kampung dimana mereka hidup dan tumbuh. Kalau bukan mereka siapa lagi yang akan menjaga kampungnya dari segala ancaman polusi itu.
Aku tidak mau melewatkan malam ini hanya meringkuk dan tidur. Kami bercengkerama didepan rumah sambil menikmati rembulan malam. Kampung ini akan begitu sepi tanpa kehadiran kami. Anak-anak berlarian hanya sekitar jam tujuh malam. Mereka berlari kesana kemari tanpa penerangan dan tidak takut gelap. Mereka sudah terbiasa dengan malam gelap ini. langkah mereka pasti menyusuri sungai-sungai tanpa alas kaki selembar pun. Tanpa takut kaki mereka akan tergores benda tajam.
Bapak Herman juga menyempatkan diri untuk bercerita dan mengobrol dengan kami. Mereka kebanyakan sudah dijodohkan dari kecil. Mereka tidak menolak dan menjalankan semua tradisi itu sepenuh hati. Mereka sangat mencintai budaya dan tradisi mereka. Keramahan dan kelembutan mereka begitu nyata.
Malam ini begitu dingin namun tidak sedingin diluar rumah. Kami tidur berjejer di rumah sederhana ini. suara jangkrik diluar sana terdengar samar. Satu hal yang masih kuingat ketika kami ke sungai membersihkan diri, ada kunang-kunang berterbangan dipinggir sungai. Tubuhnya yang menghasilkan cahaya dimalam gelap bagai lampu berkelap kelip menghiasi malam senyap itu.
Aku bangun lebih pagi dan menyempatkan berkeliling sekitar kampung kecil ini. deretan rumah dengan cirri khas Baduy Dalam tersusun rapi membentuk lorong sebagai jalan. Banyak orang Baduy yang bersantai di depan rumahnya sambil menikmati pagi yang sejuk. Anak-anak bergerombol dan menatap kami yang lewat di depan rumah mereka. Anak-anak disini putih bersih dan cantik dan ganteng. Mereka pemalu dan berlari ketika kami mendekat.
Karena perjalanan yang jauh, sebelum siang kami sudah berbenah untuk kembali ke kota. Ikat kepala khas Baduy sudah terikat di setiap kepala kami. Bapak Herman juga akan ikut bersama kami dan menghantar kami sampai kami bertemu elf di perkampungan Baduy Luar.
“Kabari kalau mau ke Baduy lagi,” pesan Bapak Herman. Mereka dengan senang hati membuka rumahnya dan turun bukit untuk menyambut kami.
Repost from: here