Categories
Travelling

Perjalanan Museum Nasional Dahulu, Kini dan Masa Mendatang

Libur akhir pekan menjadi saat yang dinanti banyak orang, termasuk saya, seorang pekerja kantoran yang hanya bisa melepaskan segala rutinitas disaat akhir pekan atau libur nasional. Kalau pandangan banyak orang, libur akhir pekan ya diisi dengan bersantai ria atau bermalas-malasan di rumah. Mengisi liburan akhir pekan dengan berwisata ke tempat-tempat keren dan menarik juga sangat happening saat ini.

Bagaimana kalau libur akhir pekan kali ini ke museum saja?

Minggu Pagi (17/05/2014), Saya rela menembus terik matahari yang menyengat pagi itu untuk menuju ke arah Jakarta Pusat. Tujuan saya tak lain dan tak bukan untuk menghadiri acara pembukaan Festival Hari Museum Internasional. Museum Nasional Indonesia (MNI) genap berusia 236 tahun tepat pada tanggal 24 April 2014. MNI mengadakan rangkaian kegiatan untuk memeriahkan Festival Hari Museum Internasional dan Hari Jadi Museum Nasional Indonsia yang ke-236 tahun. Sebuah kegiatan yang atraktif dilangsungkan untuk memberikan hiburan sekaligus menambah wawasan dan kecintaan rakyat Indonesia terhadap bangsanya. Rangkaian kegiatan ini akan berlangsung 17-24 Mei 2014. Berbagai acara menarik telah dikemas dengan menarik dengan acara puncaknya pada tanggal 24 Mei 2014.

Bila boleh mengutip sebuah pesan yang pernah diucapkan sang proklamator kita, Ir. Soekarno “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Pesan ini tentu bukan tanpa alasan, dimana bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, bangsa yang tidak melupakan identitasnya. Pesan ini sangat relevan dengan keadaan jaman sekarang. Perkembangan jaman dan kecanggihan teknologi bisa saja menggeser minat dan pola pikir masyarakat. Sejarah bila tak terdokumentasikan dengan baik, maka akan hilang tanpa jejak.

Dalam kata sambutannya, Ibu Dra. Intan Mardiana, M.Hum selaku Kepala Museum Nasional Indonesia mengatakan bahwa pada pameran yang diselenggarakan saat ini tidak hanya menampilkan Museum Nasional Indonesia pada masa lalu namun juga bagaimana Museum Nasional Indonesia bermetamorfosa menjadi museum yang modern dari segi bagunan yang terpelihara dengan baik begitupun dengan pengembangan koleksi dan ragam kegiatan yang rutin diselenggarakan. Melalui pameran ini para pengelola yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pengembangan museum ini ingin menyampaikan cita-cita besar Museum Nasional Indonesia di masa yang akan datang.

Acara pembukaan Festival Hari Museum Internasional ini juga dihadiri oleh Bapak Prof. Kacung Marijan,Ph.D selaku Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Bapak Prof.Dr.-Ing.Wardiman Djojonegoro yang merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998.

Dengan dress code batik para tamu undangan sudah tak sabar menunggu acara dimulai. Acara diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang diiringi oleh paduan suara dari SMP SMPN 29 Jakarta. Jujur, sudah lama saya tidak menyanyikan lagu kebangsaan ini. Nyanyian yang syahdu membawa saya kembali meresapi setiap petikan kata dalam lagu Indonesia Raya, rasa cinta terhadap tanah air kembali berkobar.. haha..

Tari Piring
Tari Piring

Rangkaian acara dalam pembukaan Festival Hari Museum Internasional ini dimeriahkan juga oleh siswa-siswa SMA 70 Jakarta dengan menampilkan tarian daerah seperti Tari Piring dan Tari Tokecang. Selain itu, penampilan dari grup musik Archipelago juga tidak mau kalah. Penampilan musik instrumen gabungan dari berbagai alat musik yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia berhasil membuat suasana acara semakin riuh dan meriah.

Penampilan musik tradisional nusantara oleh Grup Archipelago
Penampilan musik tradisional nusantara oleh Grup Archipelago

Peresmian acara Pembukaan Festival Hari Museum Internasional pun ditandai dengan penabuhan gondang yang secara bersama yang dilakukan oleh Ibu Intan Mardiana, Bapak Kacung Marijan dan Bapak Wardiman Djojonegoro. Gondang sendiri merupakan alat musik dari suku Batak. Setelah meresmikan pembukaan acara Festival Hari Museum Internasional, Ibu Intan Mardiana, Bapak Kacung Marijan dan Bapak Wardiman Djojonegoro diiringi seluruh tamu undangan berkeliling melihat pameran yang menyajikan perjalanan panjang MNI.

MNI mempunyai tujuan jelas untuk terus berinovasi mengembangkan museum dan meningkatkan daya tarik masyarakat untuk berkunjung ke museum dan mengenal Indonesia dan sejarahnya lebih dekat.

Peresmian Festival Hari Museum Internasional
Peresmian Festival Hari Museum Internasional

Sejarah panjang telah dilalui MNI, mulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda,masa pendudukan Jepang, masa kemerdekaan sampai saat ini. Melalui berbagai pergantian generasi membuat MNI semakin tangguh. Kehadiran MNI yang konsisten menjaga dan memelihara segala peninggalan peradaban masa lampau membuktikan diri mampu bertahan melewati berbagai masa. Sebuah perjalanan yang tidak mudah. Melalui pameran “Potret Museum Nasional Dulu, Kini dan Akan Datang” yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian Festival Hari Museum Internasional & 236 Tahun Museum Nasonal Indonesia, saya dapat merasakan sebuah energi yang luar biasa dari orang-orang yang berperan besar untuk menghantarkan MNI menjadi seperti saat ini. Sebuah museum yang semakin memantapkan dirinya untuk menjadi museum terbaik di Indonesia.

Museum Nasional Indonesia mulai berdiri sejak abad ke-18 dinamakan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda kemudian berubah nama yang kini lebih dikenal dengan Museum Nasional Indonesia.

Dari pameran ini, saya seperti menyusuri lorong waktu dan mengikuti perjalanan sejarah panjang dari sebuah museum yang mampu bertahan sampai saat ini. Selain cerita sejarah yang lengkap, pameran ini juga menyajikan tokoh-tokoh yang berperan besar dalam pengembangan MNI. Bapak Prof. Dr.-Ing.Wardiman Djojonegoro merupakan seorang tokoh penting dan menjadi bagian dalam rekam jejak perjalanan MNI. Beliau ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada periode 1993-1998, memberikan andil besar terhadap perluasan dan pengembangan MNI.

Pak Wardiman didampingi oleh Ibu intan Mardiana
Pak Wardiman didampingi oleh Ibu intan Mardiana

Tak cukup melihat-lihat di sekitar pameran, saya semakin ingin melihat koleksi-koleksi di MNI. Saya masuk ke gedung tempat dimana koleksi-koleksi tersebut tersimpan rapi. Saya temui banyak anak sekolah yang sedang berkunjung ke museum dan belajar lebih dekat dengan benda-benda peninggalan peradaban masa lalu.

Tidak hanya pelajar yang meramaikan museum, tampak beberapa biksu yang asyik mengamati berbagai arca yang berderet dan menyebar di sekitar pelataran musuem. Bule atau orang asing juga ternyata terpikat pada koleksi yang ada di MNI. Koleksi yang ada di MNI memang cukup lengkap dan dirawat dengan baik.

Guci dari Kapal Tek Sing yang karam pada tahun 1822 di Selat gelasa, Bangka Belitung
Guci dari Kapal Tek Sing yang karam pada tahun 1822 di Selat gelasa, Bangka Belitung

Keadaan ruangan yang bersih dan nyaman membuat saya betah untuk berlama-lama mengamati deretan arca, etnografi berbagai daerah di Indonesia termasuk koleksi keramik yang cukup banyak dan antik.

Kehadiran MNI menjadi suatu oase ditengah hiburan modern yang bermunculan. MNI kini berperan juga sebagai penjaga identitas bangsa dengan menjaga peninggalan-peninggalan sejarah yang menyisakan sejuta kisah masa lalu dari perkembangan bangsa.

Dirgahayu Museum Nasional Indonesia 😀

Categories
Travelling

Memorable Moment Dufan

Sebenarnya aku sudah beberapa kali ke Dunia Fantasi Ancol atau sering disebut Dufan. Walaupun begitu, selalu saja ada cerita berbeda yang aku alami. Mulai dari kisah sepanjang perjalanan menuju Dufan ataupun cerita selama bermain-main menaiki setiap wahana seru yang ada di Dufan.

Rasanya Dufan menyimpan #MemorableMoment yang akan selalu seru untuk diceritakan kepada teman dan saudara. Keseruan-keseruan yang tergambar dari ekspresi mukaku ketika menaiki wahana-wahana yang menantang adrenalin walaupun sudah menaikinya beberapa kali membuktikan bahwa Dufan memberikan #NeverEndingFun bagi para pengunjung. Kejutan-kejutan yang tak terduga ketika menaiki wahana-wahana yang disediakan Dufan membuat aliran darahku mengalir deras.

Pertama kali ke Dufan itu waktu aku masih kuliah di Bandung. Saat itu karena lagi melarikan diri sejenak dari Bandung. Akhirnya aku dan empat sahabatku sepakat untuk memacu adrenalin di Dufan. Karena tidak memungkinkan bagi kami untuk melakukan perjalanan langsung Bandung – Dufan, maka kami menginap semalam di rumah Indah di Bekasi. Esoknya baru kami berangkat menuju Dufan dengan menggunakan taksi.

Wahana Kincir Angin
Wahana Kincir Angin

Saat itu memang hari kerja bagi yang sedang bekerja tapi hari libur bagi kami yang notabene nya mahasiswa (walau bukan libur semester yah kita anggap saja hari libur, hehehe..). kami sampai di Dufan tepat waktu dan Dufan terlihat sepi. Tidak ada antrian seperti yang diceritakan banyak orang ketika mereka berkunjung ke Dufan.

Kami pun akhirnya bebas menaiki wahana-wahana raksasa itu. Wahana pertama yang kami naiki adalah Kora-kora. Sebuah perahu raksasa yang kemudian diayun kesana kemari. Teman-teman memilih duduk paling ujung perahu, katanya biar lebih menantang. Perlahan perahu raksasa bergerak dan akhirnya makin kencang.

Saat itu, aku pertama kalinya ke Dufan. Benar saja, bukan hanya memacu adrenalin tetapi jantungku berdetak tak karuan, nafasku pun tersengal. Kupegang erat lengan Nisa yang juga tampak tak bisa bernafas. Mau teriak juga susah, hahaa… Turun dari Kora-kora lututku bergetar. Langit tampak berputar-putar diatasku. Agak berlebihan memang, tapi mau gimana lagi, sepertinya tubuhku kaget menerima sensasi ayunan kora-kora.

Kami sempat berhenti sebentar untuk menenangkan getaran tubuh. Mulai menstabilkan kembali aliran darah. Karena kami berlima tampak lemas dan pucat, kami akhirnya memutuskan untuk makan siang. Haha.. Baru sekali naik wahana langsung keok, 😀

Cukup lama beristirahat kami tidak khawatir tidak mendapat giliran untuk menjajaki setiap wahana. Ingat kami sedang berada di Dufan di saat orang-orang sedang berpusing ria dibalik gedung perkantoran.. hehehe..

Naik Ontang Anting
Naik Ontang Anting

Setelah batin tenang dan siap untuk berteriak ria, kami memilih wahana-wahana yang agak santai dulu seperti arum jeram, ontang-anting kami bolak balik naiki karena memang tidak mengantri dan waktu kami tidak habis di antrian. Setelah puas dengan arum jeram dan ontang-anting, darah mulai panas akhirnya kami memutuskan untuk menaiki tornado.

Hmm.. melihatnya saja lututku mulai bergetar lagi, tapi kalau tidak dicoba ya tidak tahu rasanya toh. Kata Indah, tornado wahana yang paling memacu adrenalin dan paling seru. Cukup penasaran, akhirnya kami siap untuk di goyang di tornado.

Wahana Tornado
Wahana Tornado

Awalnya, aku memegang alat pelindung yang membekap tubuhku kencang-kencang, ketika operator mulai menggerakkan tornado, kututup mataku dan tak berani membuka mata karena takut sesuatu terjadi. Justru malah aku berteriak histeris dan ketakutan. Sungguh aku sangat ketakutan dan aku tidak bisa rileks selama naik tornado.

Itu pertama kalinya naik. “Aku tidak mau naik lagi”, tekadku dalam hati. Tapi ternyata sahabat-sahabatku itu menyeretku untuk naik lagi. Kata Mia, aku harus melawan rasa takutku, kalau tidak dilawan ya bakalan takut terus. Benar juga kata Mia, pikirku. Akhirnya aku luluh juga dan naik tornado ke dua kalinya. Kali ini aku berusaha untuk rileks dan mempercayakan tubuhku pada alat tornado.

Eh ternyata, kalau sudah tahu triknya wahana-wahana permainan di Dufan benar-benar mengasikkan. Aku yang tadinya ketakutan setengah mati, setelah bisa rileks mempercayakan dan menumpukan badan di alat tornado, akhirnya aku bisa menikmati setiap hantaman dan goyangan tornado yang dikendalikan operator. Bahkan kami sampai naik 7 kali putaran. . hahaha..

Foto 0440

yang jelas, dufan #NeverEndingFun deh. Setiap keceriaan yang tercipta menjadikannya #iniDufanKami. Tak pernah bosan untuk datang lagi ke Dufan merasakan sensasi yang luar biasa. Kini Dufan pun semakin memberikan inovasi dengan menambah wahana-wahana baru seperti Ice Age.

Semoga Dufan semakin berjaya dan memberikan keceriaan baru bagi masyarakat yang menikmati setiap wahananya.

Categories
Lomba Travelling

Mengenal Indonesia Lebih Dekat

Mengikuti perkembangan zaman Jakarta kini berubah menjadi kota metropolitan. Selera masyarakat untuk menikmati liburan juga berkembang. Hal ini terlihat dari banyaknya tempat menghabiskan waktu libur di berbagai tempat di Jakarta.

Walaupun demikian, suasana kekeluargaan dan mengenal Indonesia lebih dekat tak ada yang menggantikan Taman Mini Indonesia Indah(TMII). TMII masih menjadi pilihan terbaik bagi banyak masyarakat yang menginginkan wisata santai penuh suasana kekeluargaan dan tak terlepas dari wisata yang kaya akan manfaat. Wisata di TMII masih belum tergantikan untuk memuaskan keinginan para pengunjung terlebih orang tua yang menginginkan anaknya menikmati wisata sekaligus mengedukasi anak untuk mengenal keragaman Indonesia yang kaya akan budaya dan adat istiadat.

Tidak hanya yang sudah berkeluarga saja yang berkunjung ke TMII membawa rombongan keluarganya. Banyak anak muda yang juga sangat menikmati suasana asri di sekitar TMII. Tidak hanya melihat-lihat, banyak kegiatan yang atraktif bisa dilakukan di TMII sehingga memberikan keceriaan yang lebih di TMII.

TMII sangat dekat dengan rumah saya, sehingga tidak terlalu menyulitkan saya untuk sering-sering berkunjung ke situ. TMII telah menjadi ikon wisata Jakarta sejak dulu. Saya ingat waktu kecil di kampung, setiap kali ada keluarga atau teman yang baru pulang dari Jakarta, mereka dengan bangga menceritakan pengalaman mereka berwisata ke TMII. Dan kini, saya juga merasakan hal yang sama. Rasa bangga menginjakkan kaki di TMII.

Decak kagum masih tersirat dalam senyuman saya kala melihat bentangan alam Indonesia diisi oleh beraneka ragam budaya dan ditunjukkan dalam sebuah taman. Dulu saya pikir, disebut taman mini karena rumah-rumah adat setiap suku bangsa yang mendiami Indonesia dibuat kecil-kecil sehingga kita hanya melihat miniaturnya saja, Eh ternyata ukuran rumah adatnya memang sesuai dengan aslinya, haha.. dan lebih menariknya lagi kita bisa masuk ke dalam dan benar-benar bisa merasakan kalau kita memasuki rumah adat asli.

Berwisata ke TMII murah meriah tapi mengandung segudang wawasan nusantara. Biasanya saya ke TMII bersama teman. Hal mengasikkan untuk mengelilingi TMII yang luas adalah dengan menggunakan sepeda. Disini telah tersedia sepeda yang bisa disewa oleh pengunjung. Kalau tidak mau capek-capek menggowes sepeda, ada juga penyewaan sepeda motor atau mobil keliling. Tapi mengingat darah muda yang mengalir di dalam diri kami maka kami akhirnya memilih sepeda, hehee…

Dengan menggunakan sepeda, kami berkeliling menyambangi satu per satu replika rumah adat yang tersusun rapi membentang disepanjang taman wisata itu. Selain anjungan rumah adat, ada juga 7 tempat ibadah yang diakui oleh negara berdiri kokoh di area ini. Rumah ibadah ini juga dapat digunakan oleh masyarakat sekitar untuk beribadah. Suatu harmonisasi yang lengkap melihat beragam aktivitas yang bisa dilakukan di TMII.

Setiap anjungan rumah adat dapat juga digunakan untuk melangsungkan sebuah acara terutama acara-acara kebudayaan. Seperti ketika kami melewati rumah adat Bali, disitu sedang berlangsung sebuah pesta pernikahan bergaya adat Bali. Di anjungan yang lain, saya melihat banyak anak-anak yang asik berlatih menari. Saya dan teman-teman sempat memarkirkan sepeda sejenak dan menikmati tarian indah mereka.

Tidak puas hanya berkeliling dengan sepeda, saya ingin melihat lebih jelas indahnya Indonesia yang ditampilkan TMII. Saya dan teman akhirnya sepakat untuk menaiki kereta gantung. Kereta gantung dibandrol 30 ribu Rupiah per orang. Satu kereta gantung mampu menampung sampai 4 orang.

Sesaat setelah menutup pintu kereta gantung, kereta melaju dan saya benar-benar menikmati Indonesia dari atas kereta gantung. Dari atas saya bisa melihat dengan jelas ke danau yang menampilkan miniatur pulau-pulau di Indonesia yang membentang dari Aceh sampai Merauke. Sungguh unik memang danau itu dan saya semakin bangga dan disadarkan betapa saya harus bersyukur lahir di Indonesia yang kaya akan alam dan budaya.

Dari kereta gantung, saya juga dapat melihat deretan anjungan rumah adat, suatu cara yang menakjubkan memang melihat pemandangan sepanjang taman dari udara, seperti melihat Indonesia dalam sekejab mata. Rasanya beberapa menit mengitari TMII dengan menggunakan kereta gantung terasa kurang dan ingin lagi. Namun karena ukuran dompet tidak memungkinkan terpaksa saya menggowes sepeda lagi untuk menikmati udara segar di TMII.

Ada satu tempat yang menarik perhatian saya ketika melintas dengan sepeda. Sebuah tempat seperti cangkang kerang raksasa yang ternyata sebuah taman kaktus. Di dalamnya terdapat banyak kaktus dari berbagai jenis. Tempatnya sangat unik dan cantik.

Sebenarnya TMII tidak hanya rumah adat dan tempat ibadah. Tetapi karena saya lebih tertarik dengan budaya yang tergambar dari rumah adat berbagai daerah, maka saya lebih banyak melihat-lihat keragaman rumah adat di TMII. Sebenarnya masih banyak tempat-tempat yang tidak kalah menarik seperti taman-taman untuk flora dan fauna, istana boneka, gedung teaterdan museum.

Beriwisata ke TMII menjadi pilihan yang bagus bagi kita yang ingin bersantai dengan keluarga atau teman. Akses masuk ke TMII juga sangat mudah dan terdapat beberapa pintu masuk. Tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam, kita sudah bisa keliling Indonesia di TMII.

Hanya saja, sedikit repot juga bagi pengunjung yang tidak membawa kenderaan untuk lebih menikmati setiap sudut TMII seperti saya. Ketika melewati pintu masuk utama, saya melintas lewat jalur pejalan kaki yang sudah disediakan, namun tidak ada yang berjaga di loket tiket di jalur pejalan kaki. Terpaksa saya menyeberang ke arah penjaga loket untuk kendaraan. Mungkin saat itu hanya kebetulan saja.

Oiya, untuk mobil keliling yang menjadi transportasi untuk mengelilingi TMII. Saya sebenarnya sangat berharap mobil keliling tidak memberikan tarif alias diberikan gratis kepada para penumpang yang hendak berhenti di setiap anjungan. Dengan begitu, TMII tidak terlihat terlalu komersial dan memberikan sebuah pelayanan yang optimal bagi para pengunjung.

TMII kini telah menginjak ulang tahun ke-39. Puluhan tahun TMII tak lekang oleh waktu. TMII masih menjadi primadona wisata di Jakarta. Di usia yang semakin matang, TMII semakin berbenah untuk memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat Indonesia. TMII sebagai pelestari budaya bangsa semakin mempertajam perannya untuk memberikan edukasi nusantara bagi generasi bangsa. Selamat ulang tahun TMII.

Categories
blogdetik Travelling

Melipir Sejenak Ke Pulau Cipir

Akhir pekan yang ditunggu datang juga. Berhubung kantong lagi tipis tapi ingin jalan-jalan, saya akhirnya memilih liburan ke pulau untuk menghabiskan akhir pekan. Tidak perlu jauh-jauh dari Jakarta, Pulau Cipir menjadi pilihan bagus untuk menyejukkan mata dan pikiran setelah sepekan bekerja.

Pulau Cipir merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Pulau ini sangat dekat dengan Jakarta bersama dengan Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Biasanya, para penyedia paket perjalanan menyatukan ketiga pulau ini menjadi satu trip. Karena jaraknya berdekatan, maka pulau-pulau ini dapat di eksplore dalam waktu satu hari.

Ketiga pulau ini memang mengandung peninggalan sejarah masa kolonial Belanda. Reruntuhan bagunan di sekitar ketiga pulau ini menjadi saksi bisu akan aktivitas yang dilakukan di masa lalu. Jejak sejarah itu kini dikembangkan pemerintah setempat menjadi wisata sejarah dan dipelihara dengan baik.

Perjalanan ke Pulau Cipir hanya menghabiskan waktu kurang lebih satu jam dari Muara Kamal. Pulau ini memang masih sangat dekat dengan Jakarta, bahkan bangunan-bangunan pencakar langit yang berdiri kokoh di Jakarta masih jelas terlihat dari pulau ini. Namanya juga kantong lagi tipis, jadi perjalanan ini sudah pasti ala backpacker.

Jakarta dari Pulau Cipir
Jakarta dari Pulau Cipir

Untuk menuju Muara Kamal, saya naik transjakarta dan berhenti di halte Rawa Buaya. Di seberang jalan Rawa Buaya sudah berjejer mobil pribadi Carry yang disulap menjadi mobil angkutan umum. Sepertinya bapak supirnya sudah tahu tampang-tampang orang yang akan menyeberang ke pulau. Ketika saya mendekat dia langsung memangil-manggil saya.

Selain menggunakan transportasi umum, kita juga bisa menggunakan sepeda motor sampai Muara Kamal. Di Muara Kamal biasanya ada tempat untuk penitipan sepeda motor, dan tentu saja aman. Parkir motor biasanya tujuh ribu rupiah.

Dari Rawa Buaya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai dermaga Muara Kamal. Di daerah ini memang sudah biasa menjadikan mobil pribadi berubah fungsi menjadi angkutan umum. Cukup membayar enam ribu rupiah saya diantar sampai di pasar Muara Kamal.

Bau amis dari ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan sudah tercium. Makin berjalan ke dalam pasar, bau amis semakin kuat. Pasar ini mulai buka dari dini hari sekitar jam 1 sampai jam 8 pagi. Ikannya masih segar-segar karena baru ditanggap oleh nelayan. Jalanan yang becek dan bau amis yang menyengat menghiasi suasana pasar ini. Ikan-ikan segar menumpuk disana sini, tapi itu hanya sesaat, para pembeli dengan sekejap memborong ikan ini dan dijual kembali di pasar-pasar lainnya.

Perjalanan menuju Pulau Cipir
Perjalanan menuju Pulau Cipir

Untuk menyeberang ke pulau Cipir, cukup menggunakan perahu nelayan yang banyak bersender di dermaga. Penumpang umum biasanya dikenakan ongkos  sebesar 30 ribu rupiah, kita bisa diantar dan dijemput dari pulau. Pagi itu, suasana di dermaga tidak begitu ramai, yah.. setidaknya tidak seramai dermaga Muara Angke yang menjadi salah satu pintu gerbang menuju Kepulauan Seribu.

Pulau Cipir menyambut dengan ramah. Walaupun sedikit mendung, pulau ini tetap mengeluarkan aura sejarah yang kental. Terdapat plang besar bertuliskan “Taman Arkeologi Onrust Pulau Cipir” di bibir dermaga. Satu per satu saya baca plang yang ditancapkan di setiap reruntuhan bangunan. Secara keseluruhan saya langsung membayangkan kesibukan yang terjadi di pulau ini di sekitar abad 19. Sebagian besar reruntuhan bangunan di Pulau Cipir adalah situs reruntuhan rumah sakit karantina haji yang berdiri tahun 1911 pada jaman kedudukan Belanda.

Situs bangunan Rumah pasien karantina haji di Pulau Cipir tahun 1911
Situs bangunan Rumah pasien karantina haji di Pulau Cipir tahun 1911

Hampir seluruh permukaan pulau dipenuhi bangunan rumah sakit untuk karantina haji, jadi bisa saya bayangkan begitu banyaknya para calon haji yang dikarantina di tempat ini. Pepohonan rimbun memberikan kesejukan di tengah pulau. Pemerintah juga mendirikan beberapa saung tempat untuk bersantai dan menikmati desau angin laut.

Memancing menjadi salah satu kegiatan seru di Pulau Cipir. Dari dermaga tampak bapak-bapak asyik melemparkan kailnya dan berharap ikan segera menyambar. Terik matahari tak mereka rasakan ketika lahut dalam kegiatan memancing.

Di satu sudut pulau, saya melihat semacam jembatan terputus yang mengarah ke pulau seberang. Saya pikir jembatan ini merupakan penghubung Pulau Cipir dan Pulau Onrust di seberang sana. Jaraknya tidak terlalu jauh dan Pulau Onrust terlihat dengan jelas. Jembatan ini dibuat untuk mengevakuasi para jemaah haji dari Pulau Onrust ke Pulau Cipir yang terkena penyakit menular.

Jembatan putus penghubung Pulau Cipir dan Pulau Onrust
Jembatan putus penghubung Pulau Cipir dan Pulau Onrust

Pulau ini menjadi satu kesatuan yang utuh. Di Pulau Onrust kita bisa menemukan situs-situs reruntuhan bangunan barak karantina haji pada tahun yang sama dengan Pulau Cipir. Pulau ini lebih besar dari Pulau Cipir. Konon, barak karantina haji di Pulau Onrust dapat menampung 100  orang jemaah haji.

Situs barak karantina haji di Pulau Onrust tahun 1911
Situs barak karantina haji di Pulau Onrust tahun 1911

Pulau-pulau ini merupakan pulau yang tak berpenghuni. Tapi tenang saja, di Pulau Onrust sudah terdapat warung untuk sekedar jajan atau meneguk air untuk pelega dahaga.

Saya memang tidak sempat ke Pulau Kelor, tapi dari Pulau Onrust saya bisa melihat benteng Mortello di Pulau Kelor dari kejauhan. Kemegahan dan kekokohannya memang mengagumkan. Terlihat beberapa kali speedboat menyambangi pulau itu. Jelas terlihat pulau itu kini semakin populer setelah beberapa kali menjadi sorotan kamera media massa.

Pulau Kelor dan benteng Mortello
Pulau Kelor dan benteng Mortello

Perjalanan ini memang singkat, namun bagai menyusuri lorong waktu memasuki masa-masa pendudukan VOC di Indonesia dan merasakan sendiri cerita historis kental yang terkandung dalam pulau ini. Perjalanan menjadi tidak biasa dikala perjalanan dimaknai dengan pengalaman-pengalaman yang luar biasa.

Categories
Travelling

Temukan Tumpukan Emas Batangan Disini!

Museum Bank indonesia
Museum Bank indonesia

Berkunjung ke museum Bank Indonesia sudah pasti yang terbayang dibenak adalah sejarah perkembangan uang di Indonesia. selain itu ternyata, di Museum Bank Indonesia juga kita temukan bagaimana kisah Hindia Belanda memasuki Indonesia dan sejarah nenek moyang Indonesia yang sering disebut seorang pelaut. Ada hal menarik lainnya di Museum ini, di salah satu ruangan disini terdapat tumpukan emas batangan yang menyilaukan mata. Tentu bukan emas betulan toh, namanya juga museum, semua ya replika. 😀

Categories
Hiking Travelling

Gunung Sibayak, Mendaki Sekaligus Berwisata

Niat untuk mendaki Gunung Sinabung pupus sudah. Desember telah tiba, dan Sinabung masih belum selesai berdentum memuntahkan material vulkanik dari perutnya. Gunung Sibayak menjadi pilihan lain. Di Sumatera Utara, Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak sudah lama menjadi primadona di kalangan para pendaki gunung. Bahkan saat ini, tidak hanya pendaki saja yang bisa sampai di puncak Sibayak, pemerintah daerah setempat telah membuat jalan mulus sampai tiba di tubuh Sibayak, sehingga jalur ini dapat dilalui oleh mobil.

Gerbang pendakian Gunung Sibayak ada tiga jalur pendakian. Rute pertama bisa dilalui dari kaki Gunung Sibayak di Desa Raja Berneh atau sering disebut sebagai Desa Semangat Gunung. Desa ini berjarak 15 km dari Berastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas yang tersebar di sekitar kaki gunung. Di desa ini juga terdapat PT Pertamina yang memanfaatkan sumber panas bumi.

Jalur kedua dapat ditempuh dari kaki Gunung Sibayak dari Desa Jaranguda. Desa ini sangat dekat dari kota Berastagi yakni hanya berjarak 3 km. Bagi pendaki atau wisatawan lebih banyak memilih jalur ini.

Jalur ketiga yang terkenal cukup ekstrim adalah jalur 54 yang ditempuh dari kawasan Penatapan yang terletak di jalan raya Medan-Berastagi. Jalur ini berada di KM 54 dari Medan menuju Berastagi. Jalur ini merupakan rute terpanjang dan tergolong ekstrim. Bagi pemula tidak disarankan untuk mendaki lewat jalur ini.

Kebetulan, teman-teman saya juga lagi berada di Medan saat tanggal nanjak ditetapkan. Jadi kami sepakat Berastagi sebagai meeting point. Awalnya terjadi perdebatan diantara kami, apakah menginap dan mendirikan tenda di area perkemahan Gunung Sibayak atau pulang hari itu juga. Namun, karena berbagai pertimbangan, maka kami putuskan untuk melakukan perjalanan pulang hari itu juga.

Jalur Pendakian Desa Jaranguda
Jalur Pendakian Desa Jaranguda

Gunung Sibayak berada di ketinggian 2.212 mdpl, lebih rendah dari Gunung Sinabung. Pendakian Gunung Sibayak sangat cocok untuk para pemula,apalagi melalui jalur dari Desa Jaranguda. Kami memutuskan naik dari Desa Jaranguda dan turun lewat Desa Raja Berneh. Gunung Sibayak tergolong gunung berapi aktif mengeluarkan belerang. Gunung ini sempat meletus disekitar tahun 1800.

Persiapan kami tidak terlalu banyak karena akan pulang hari itu juga.Kami membawa bekal siang dan pakaian anti hujan. Pakaian anti hujan dan pakaian ganti menjadi prioritas saat itu karena dipenghujung Desember sudah sering terjadi hujan ekstrim. Berangkat menapaki aspal yang meliuk mengikuti jalan. Langkah kami harus terhenti sejenak ketika ada mobil angkutan yang melewati kami. Terlihat beberapa bule kece didalamnya. Namun kami masih bertekad untuk berjalan kaki sampai gerbang pendakian.

Pandangan sedikit berkabut sisa embun yang belum sirna ketika kami memulai pendakian. Ladang penduduk di kiri kanan yang kami lewati tersusun rapi. Kebanyakan mereka menanam daun bawang. Jalur pendakian ini masih mulus. Kami berjalan santai dan sesekali menyapa pendaki lain yang telah turun.

Pukul 10 pagi kami berada di gerbang pendakian. Setelah mengurus administrasi, kami bergegas naik. Perjalanan santai sambil menikmati udara segar menjadi pilihan yang menyenangkan. Hari itu cuaca pagi juga bersahabat, tidak telalu terik dan tidak mendung. Kami masih menyusuri jalan beraspal.

Jalan beraspal kemudian terputus di tengah jalan karena ada beberapa longsor yang disebabkan hujan deras yang mengguyur seputar gunung belakangan ini.

pohon tumbang dan tanah longsor akibat hujan deras
pohon tumbang dan tanah longsor akibat hujan deras

Mobil yang tadi melewati kami juga akhirnya terhenti di penghujung jalan beraspal. Kami terus melanjutkan perjalanan. Setelah tiga jam perjalanan, kami tiba di bukit kapur. Disini terdapat area yang datar walaupun tidak seluas surya kencana di Gunung Gede, tapi cukup menampung puluhan penenda. Mungkin disini biasanya orang mendirikan tenda, tapi kami tidak melihat ada tenda disekitar sini, hanya sampah-sampah yang terserak dan bekas perapian. Selain dsini, pendaki juga senang mendirikan tenda di lembah dekat kawah Gunung Sibayak.

Bukit Kapur
Bukit Kapur

Kami beristirahat disini sebelum menembus hutan. Bekal kami keluarkan. Sambil menahan terik kami menikmati makanan, karena kami tidak membawa tenda sama sekali.

Perjalanan selanjutnya adalah melewati hutan khas hutan hujan tropis yang menyelimuti Gunung Sibayak. Jenis pepohonan disekitar gunung ini selain kayu-kayu yang menjulang ternyata banyak jenis palem yang berduri. Saya beberapa kali terpaksa meringis menahan sakit tertusuk duri saat berpegangan.

Gn. Sibayak5

Jalan menuju puncak Sibayak sudah terdapat anak-anak tangga dari semen. Namun, tangga-tangga ini terkadang menyulitkan karena menjadi sumber genangan air karena tangga yang berlubang tergerus endapan air hujan. Sesekali kami harus menunduk karena jalan ditutupi oleh dedaunan palem yang rendah.

Setelah melewati anak-anak tangga itu, maka akan terdengar desingan suara yang keluar bersamaan dengan asap belerang di kawah Gunung Sibayak. Melewati area ini, saya kembali teringat ketika melakukan pendakian ke Gunung Papandayan di Garut. Terdapat beberapa lubang yang mengeluarkan asap belerang. Bau belerangnya tidak sepekat di Gunung Papandayan. Kami berdiam sejenak di sekitar kawah sambil menikmati eksotisme suasana gunung. Menikmati deretan bebatuan di puncak gunung disebelah kiri menambah eksotisme gunung ini.

Menuju Lembah Kawah
Menuju Lembah Kawah

 

kawah dengan sumber belerang dibeberapa lubang
kawah dengan sumber belerang dibeberapa lubang

Bebatuan di sekitar kawah ini sangat menawan. Berfoto mengabadikan kebersamaan bersama sahabat menjadi momen yang tak terlewatkan. Hehe..

Puncak Sibayak sudah tak jauh dari kawah. Butuh perjalanan sekitar 15-30 menit untuk menuju puncak yang bernama tapal kuda. Sebenarnya ada tiga puncak yang terbentuk di Gunung Sibayak namun yang paling sering dijalani adalah puncak tapal kuda. Kami melewati beberapa pendaki yang mendirikan tenda di sekitar lembah dekat kawah. Cuaca semakin sore semakin mendung. Tiba di puncak, kabut tebal menyapa kami. Alhasil pemandangan ciamik dibawah sana tertutup kabut. Di puncak, bebatuan khas gunung vulkanik mendominasi. Karena berkabut, saya hanya menunggu disisi yang datar saja. Beberapa teman masih berusaha menggapai puncak dengan tebing-tebingnya yang curam.

Puncak
Puncak

Perjalanan turun kami pilih melewati jalur Desa Raja Berneh. Ternyata jalur ini sangat licin apalagi ditengah perjalanan hujan mulai turun dengan deras. Tidak ada tempat untuk berteduh, akhirnya kami harus rela berbasah-basah ria dan terus menuruni tangga-tangga licin dan rusak itu. hari semakin gelap, kami harus tiba di Desa Raja Berneh sebelum malam tiba.

Hujan di tengah hutan sangat menyulitkan untuk melangkah. Beberapa kali saya terpeleset dan terkena guratan dari batang pohon yang berduri. Ingin sekali rasanya cepat-cepat tiba di desa. Kata Tommy, kalau sudah keliatan bambu-bambu maka desa sudah semakin dekat. Dan juga suara bising dari panas bumi pertanda perjalanan semakin mendekati desa.

Pemandian air panas
Pemandian air panas

Kami tiba di Desa Raja Berneh dengan basah kuyub. Hari semakin gelap, tapi sangat sayang melewatkan hari itu tanpa singgah di pemandian air panas yang menjadi objek wisata populer di daerah ini. Akhirnya kami memilih untuk berendam sejenak melepas lelah di pemandian air panas. Rasanya segar sekali berendam air hangat ditengah hawa dingin dengan pemandangan kemegahan Gunung Sibayak.

Malam semakin gulita, kami beranjak dari pemandian dan bersiap pulang. Perpisahan kami dipersimpangan jalan menuju Desa Raja Berneh. Air hujan mengguyur kami sekali lagi di perjalanan menuju persimpangan jalan itu. Suara kami riang berteriak memecah guyuran suara hujan. Mungkin desa yang tenang ini menjadi semarak ditengah teriakan riang kami.

Karena beberapa teman memutuskan untuk kembali ke Medan malam itu juga, maka sisanya kami yang pulang ke arah Berastagi sepakat untuk singgah berburu durian… hihiihi..

Daerah ini menjadi sarangnya para pemburu durian saat musim durian tiba. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk berburu durian. Di sepanjang jalan Berastagi telah berjejer penjaja durian. Kita tinggal pilih tempat mana yang lebih nyaman dan durian yang besar dan bagus.

Berburu Durian
Berburu Durian

Kami memilih untuk bersantai sambil bersantap durian di sekitar tugu kol Berastagi. Cahaya remang dari lampu pijar yang disematkan diatas tenda penjual durian menambah semarak malam yang dingin ini kawan. Kebersamaan menyantap durian menjadi kenikmatan yang sempurna dikala bau durian lewat menyentuh rongga hidung penguat rasa menjadikan durian menjadi makanan yang sempurna…

Sempurnalah sudah malam ini melewatinya bersama sahabat.

Categories
Travelling

Menikmati Sepi Di Pantai Pangandaran

Perjalanan ini memang dadakan dan modal nekad. Belum ada perencanaan sebelumnya, tiba-tiba kami beranjak saja pergi naik busway sampai di kampung rambutan. Setelah browsing, katanya siy bus ke Pangandaran banyak berseliweran di terminal kampung rambutan. Kami sengaja berangkat malam karena akan menghemat waktu dan bisa beristirahat lebih tenang di bus. Saya memang sangat suka perjalanan malam, karena tidak akan berhadapan dengan terik matahari yang menggila dan udara malam itu enak dan adem. Tapi yang ngga enaknya siy saya kurang bisa melihat pemandangan sepanjang perjalanan karena gelap dan mata kantuk.

Sesampainya di terminal kampung rambutan, berdasarkan saran dari bapak supir busway, kami akhirnya menunggu bus Pangandaran di pintu keluar terminal. “Kalau nunggu di dalam terminal suka banyak calo mbak,” kata supir busway. Jam menunjuk pukul 20.00 malam, bus jurusan Pangandaran belum juga terlihat. Dari tadi yang terlihat bus yang ke Tasikmalaya, hmm.. sebenarnya siy dari Tasikmalaya juga bisa, nanti nyambung bus lagi yang ke Pangandaran, tapi berhubung malam dan agak repot untuk gonta ganti bus, kami kekeuh menunggu bus jurusan Pangandaran.

Setelah menunggu sekitar 45 menit, bus itu datang, awalnya saya syok karena waktu melogok ke kaca bus ada cowok bertopeng monyet menyeramkan, saya sempat menarik tangan Anu untuk ngga usah naik, pikiran saya langsung terbang ke cerita-cerita menakutkan tentang perjalanan jauh di malam hari, apalagi kami berdua cewek. Ugghh.. Segera saya tepis pikiran jelek itu dan langsung melangkah memasuki pintu bus, daripada ketinggalan bus dan harus menunggu lebih lama lagi.

Saya arahkan pandangan ke seluruh ruang bus, bus setengah penuh dan cowok bertopeng tadi ternyata anak-anak yang iseng, dia tertawa terkekeh melihat saya yang masih terkejut dan syok. Kami memilih tempat duduk di tengah-tengah, kami lebih bersyukur bus ini tidak kosong, jadi masih merasa aman karena beberapa keluarga menjadi penumpang bus ini, jadi mungkin kami bisa tidur nyenyak malam ini.

Bus yang kami tumpangi ini ternyata bisnis non AC, alhasil angin glebug menghempas tepat di muka saya, kaca bus di buka lebar-lebar oleh seorang bapak diseberang tempat duduk saya. Oh my, kalau begini sampai pagi, bisa-bisa sampai di Pangandaran udah masuk angin duluan. Akhirnya saya pindah ke belakang, dan Anu pindah ke belakangnya lagi. Jadi tidur lebih lega.

Pukul 04.00 pagi kami akhirnya sampai di terminal Pangandaran, sepi.. Ada beberapa warung dan mang tukang ojek yang sudah mondar mandir menawarkan ojek. Kami janji ketemu dengan seorang teman lagi disini, dia dari Bandung ke Pangandaran dan tadi pukul 02.00 dini hari dia sudah sampai di Pangandaran, dan dimanakah dia?

Seorang bapak menyampiri kami, “Neng, ada temannya ya? Dari tadi udah nyampe, nunggu di warnet,” kata bapak itu. Waah, pasti Bang Alex nanya sana sini tadi ke bapak-bapak itu tempat untuk nangkring sembari menunggu kami, hihihi..

Kami duduk sebentar di kayu di depan warnet, ada Si Mbah yang menggendong dan menjajakan nasi kuning. Kata Si Mbah dia mau ke pantai timur, mau jualan nasi kuning. Ah, apa ngikutin Si Mbah aja ya ke pantai timur, tapi Si Mbah jalan kaki. Walaupun udah tua, tapi dia tampaknya masih sangat kuat dan sudah terbiasa menggendong barang dagangannya ke pantai.

Akhirnya kami berkemas dan berniat mengikuti Si Mbah yang sudah menghilang ditelan gelap. Bapak tukang ojek sempat mengingatkan kalau mau ke pantai timur itu jauh, mendingan naik ojek, dan kami merasa itu hanya gurauan bapak ojek saja biar kami pake ojeknya. Nekatlah kami terus berjalan.

Kami kehilangan jejak Si Mbah, waahh.. ternyata walaupun udah uzur, jalannya cepat juga. Kami bertanya sama Aa yang nongkrong di pos jaga.

“Kalau ke pantai timur mah dari sana neng, kalau dari sini ke pantai barat,” Aa itu menjelaskan. Tapi keyakinan saya mengatakan Si Mbah tadi berbelok kearah sini dan dia tadi katanya mau ke pantai timur. “Oiya, dari sini juga boleh sih, nanti jalan terus belok kiri terus luruuus aja, nanti pantai timur setelah melewati cagar alam.”

Kami melanjutkan langkah, jalan subuh-subuh seperti ini memang sudah sangat jarang saya lakukan jadi sekalian olahraga peregangan otot, hehee.. Tadi kata si Aa jaraknya sekitar 2 km, saya masih kurang pintar untuk mengukur jarak 2 km itu jauh apa tidak, jadi kami tetap memutuskan untuk berjalan, apalagi hari juga masih gelap.

Belum lama berjalan, Aa tukang ojek menghampiri kami, dan kami tetap menolak. Dia tetap mengiringi kami, tak terasa dia menemani kami sepanjang perjalanan. Dia banyak cerita sana sini, saya sampaikan juga niat saya untuk ke Green Canyon, dan dengan bangga dia menunjukkan fotonya di handphone yang sedang bergaya di Green Canyon. “Naik ojek saja kesana, 100 ribu satu hari penuh, mau kemana saja saya antar deh!” rayunya. “Nanti sekalian juga ke pantai pasir putih, batu  hiu, Green Canyon, Citumang, gimana?” “Aaahh, Aa mahal banget!!” kataku tersentak. Belum lagi biaya kapal untuk masuk Green Canyon yang kata si Aa udah naik. Nekad kesini juga ga bawa uang lebih. Huh, dengan berfikir keras menimbang-nimbang apakah harus tetap ke Green Canyon apa disini saja, kami tetap mengayun langkah.

Nafas saya mulai tersengal, kata Aa ojek, ini masih setengah jalan. “Kita masih belum melewati cagar alam, jadi perjalanan masih setengahnya lagi,” kata Aa ojek sambil menunjuk-nunjuk peta yang terpampang di tepi jalan. Dia dengan luwes juga sempat menjelaskan isi peta itu, dimana kami berada saat ini dan apa saja yang bisa kami eksplor di tempat ini.

Kami masih bertahan tidak naik ojek, dan Aa ojek juga bertahan mengiringi kami berjalan. “Matahari udah mau terbit, ayo naik ojek aja, takut telat ketemu matahari terbitnya,” dia masih mencoba melobi kami. Haha…

Setelah berjalan hampir satu jam, yah.. satu jam dan kami tidak menyadari itu, hari sudah terang benderang, tapi tak ada matahari yang menyembul. Pagi ini memang masih mendung, tadi malam hujan deras di daerah ini. Hal itu juga yang membuat kami mengurungkan niat ke Green Canyon. Katanya sih kalau baru selesai hujan, Green Canyon sudah ngga green lagi tapi brown.

Kami memilih saung yang sekaligus tempat menyandarkan kapal-kapal nelayan di pinggir pantai. Pantai timur terlihat tenang pagi ini, sangat berbeda dengan pantai barat yang kami lewati tadi, ombak menerjang-nerjang pantai dan mengamuk. Yang unik di pantai Pangandaran ini, kita bisa menyaksikan sunrise dan sunset. Sunrise bila beruntung bisa kita nikmati melalui pantai timur dan sunset bisa kita lihat dari pantai barat. Pantai timur dan pantai barat ini hanya dipisah oleh cagar alam yang berbentuk tanjung yang menjorok kearah laut.

Pagi di Pantai Timur Pangandaran
Pagi di Pantai Timur Pangandaran

Hari ini sudah kami putuskan untuk menikmati waktu disepanjang pesisir Pangandaran ini. Ada Pak Iyus, orang Bandung yang sudah menetap di Pangandaran hampir 20 tahun. Beliau yang akan menemani langkah kami hari ini. Setelah sarapan, kami siap-siap untuk beraktivitas.

Kapal kami melaju membelah tenangnya laut. Alat snorkel sudah terpasang dikepala dan kami siap nyebur, Pak Iyus memilih spot terbaik untuk snorkeling tak jauh dari batu layar. Batu layar adalah batu raksasa yang berdiri tegak di pinggir laut dan sisi bawahnya sangat tipis namun tetap kokoh menopang batu besar itu. Bentuknya kalau dilihat dari sisi depan seolah-olah mirip gajah.

Batu Layar
Batu Layar

Pagi-pagi udah nyebur ke laut bbbrrrr… dingin!

Kali ini kami beruntung, banyak ikan yang berseliweran dibawah sini. Air yang tenang juga sangat membantu, karena kami bisa dengan santai menikmati ikan warna-warni di sela-sela terumbu karang. Eh, ada kapal lewat berisi wisatawan memenuhi kapal itu, tetapi mereka ngga mau nyebur, hanya say heloo saja dan berlalu dari tempat kami snorkeling.

Setelah puas snorkeling, kami menepi di cagar alam. Tepat ketika kapal kami mendarat di tepian pantai, hujan rintik-rintik mulai turun. Dengan gesit Pak Iyus mendorong kapal ke pinggir dan kami berlari ke teras bangunan yang juga biasa dijadikan tempat menginap bagi pengunjung yang ingin menginap di sekitar cagar alam ini.

Sementara kami berteduh, monyet-monyet yang tadi bergelantungan di pohon mulai turun dan mendekati kami. Pak Iyus melempar gorengan dan roti yang kami bawa. Tak mau kalah, beberapa rusa ikut menghampiri. Karena tidak berani memberi makan langsung, saya suruh Pak Iyus saja yang memberinya makan, hehehe…

Hari ini kami puas menjelajah goa yang saya ceritakan disini. Hari sudah siang, namun kami masih enggan beranjak dari Pangandaran. Tujuan kami selanjutnya memang Ciamis, ada acara nikahan temannya Anu besok. Kami masih mau menunggu senja disini.

tenangnya pantai timur pangandaran
tenangnya pantai timur pangandaran

Karena hari ini bukan hari libur atau akhir pekan, jadi tempat ini sangat sepi, tapi itulah yang saya cari. Saya tidak butuh keramaian untuk merayakan keindahan alam ini, saya menikmati sepinya suasana pantai ini. Karena letih menjelajah goa, kami tepar di saung dermaga di tepi pantai timur. Kapal-kapal bersandar di dermaga bambu ini. Kami rebahan, karena kecapekan dan disapu angin sepoi kami pun terlelap.

Saya terbangun ketika seorang bapak dan anak muda menghampiri kami. Mereka turun ke dermaga dan mulai menyalakan kapal. Si bapak ternyata mau memancing di kapal di tengah laut itu, sedangkan anak muda itu mau ke pantai pasir putih, katanya sih mau memperbaiki kapal yang bocor. Kami diperbolehkan ikut, jadi kami sangat bersemangat dan hoop.. melompat ke kapal.

Pantai Pasir Putih
Pantai Pasir Putih

Ternyata kapal bocor itu kapal Pak Iyus yang kami tumpangi tadi, dan anak muda ini adalah anak Pak Iyus. Pak Iyus sudah menunggu perlengkapan yang dibawa anaknya dan siap memperbaiki kapal. Sementara Pak Iyus memperbaiki kapal, kami kembali mengeksplor pulau ini. Kami baru mau beranjak setelah hari sudah semakin sore, karena takut ketinggalan angkutan ke Ciamis kami memutuskan tidak menunggu senja di pantai barat, tapi kami langsung ke terminal dan menaiki elf ke Ciamis.

Categories
Travelling

Jelajah Goa Sampai Ke Pangandaran

Saya baru tahu ternyata Pangandaran mempunyai beberapa goa setelah Pak Iyus mengajak untuk menjelajahinya. Pengalaman memasuki goa bukan yang pertama, namun masuk ke goa menjadi pengalaman menakjubkan bagi saya. Sebelumnya saya pernah memasuki goa di pedalaman Tasikmalaya. Goa itu tidak dikelola menjadi tempat wisata, bahkan jalan menuju kesana tidak ada, kami membuat jalan sendiri. Jadi aroma goa yang pernah saya datangi dulu seperti mencuat kembali disela rongga-rongga tenggorokanku.

Kami mulai beranjak ketika tanda-tanda hujan mulai mereda. Namun beberapa langkah memasuki hutan, hujan mengguyur bumi lagi, secepat kilat kami berlari kembali ke pondokan untuk berteduh, tapi tetap saja basah sudah menguasai sekujur tubuh. Dengan sedikit menggigil kami mengunyah gorengan yang masih hangat, lumayan untuk menghangatkan tubuh.

Walau hujan masih rintik kami memutuskan untuk menembusnya. Kami bela-belain basah karena memang sudah terlanjur basah. Kami melangkah mengikuti Pak Iyus. Langkah awal menyusuri hutan itu, disebelah kiri terdapat sungai kecil berair tawar. Kata Pak Iyus air sungai ini berhulu dari mata air yang ada di Goa Rengganis.

Setibanya di depan mulut Goa Rengganis, saya terdiam sejenak. Ada aura mistis yang saya rasakan namun adem dan sejuk sekali. Dasar goa ini digenangi air tawar yang sejuk dan tenang. Goa dan mata air ini konon katanya berawal dari sebuah legenda petilasan Ibu Dewi Rengganis. Rakyat sekitar juga percaya bila membersihkan badan disini akan berkasiat dan awet muda. Pak Iyus juga mengatakan begitu, namun karena hujan dan basah kuyup kami tidak masuk ke dalam Goa.

Goa Rengganis
Goa Rengganis

Kami melanjutkan perjalanan ke Goa Keramat/Parat. Konon goa ini merupakan tempat bersemedinya para keluarga pangeran Mesir yaitu Syech Ahmad dan Syech Muhammad yang ditugaskan untuk mengajarkan agama islam di daerah ini. Kemudian   di depan goa dibuat dua petilasan untuk Syech Ahmad dan Syech Muhammad oleh penduduk yang menerima ajaran. Petilasan ini bukan kubur namun untuk mengenang kedua pangeran yang menghilang tanpa diketahui keberadaannya.

Hal yang unik di dalam goa ini terdapat stalaktit yang mirip seperti alat kelamin perempuan dan laki-laki. Mitosnya stalaktit ini manjur bagi yang sedang mencari jodoh, untuk lelaki pegang stalaktit yang berbentuk mirip alat kelamin perempuan dan demikian sebaliknya, perempuan pegang stalaktit yang berbentuk mirip alat kelamin laki-laki. Selain itu, ada juga stalaktit yang berbentuk paha ayam dan batu yang berkilat-kilat ketika sinar handphone saya sorotkan. Unik sekali sekaligus indah, seperti permata yang berkilat-kilat.

Mulut Goa Keramat/Parat
Mulut Goa Keramat/Parat

Goa ini lumayan panjang dan tembus ke mulut goa yang lain. Saya memang tidak bisa menunjukkan foto dari bentuk stalaktit di dalam goa ini, karena goa ini sangat gelap dan kemampuan kamera saya yang terbatas ( hehe..). Karena tidak ada persiapan memasuki goa yang gelap, cahaya dari handphone satu-satunya menjadi penerang bagi jalan kami di gelapnya goa ini. Yah, ini adalah kegelapan abadi.

Oiya, masih ada yang menarik mengenai Goa Keramat/Parat ini. Kami bisa melihat landak dipojokan goa yang gelap. Landak itu memang pemalu, dia bersembunyi dilubang kecil disudut goa. Selain itu ada kelelawar yang menggelantung dan sebagian beterbangan diatas kami. Goa Keramat/Parat ini merupakan gua yang terpanjang disekitar cagar alam ini. Yang lainnya hanya beberapa meter saja dan tidak sampai gelap sempurna seperti goa ini.

Setelah menyusuri goa ini kami keluar dari mulut goa yang satunya, di depan mulut goa ini terlihat dua berbentuk nisan, mungkin inilah yang dimaksud dengan petilasan itu. Kami melanjutkan penjelahan kami menapaki jalan kecil disela pepohonan.

Kami tiba di Goa Miring, kenapa dikatakan Goa Miring? Untuk memasuki goa ini, kita harus memiringkan badan kita karena celah memasuki goa ini sangat sempit. Kalau saya amati, goa ini seperti bongkahan batu raksasa yang terbelah dan membentuk celah yang sempit dan terbentuk ruang didalam pecahan batu itu. Goa ini kecil, jelas terlihat dari sempurat sinar matahari dari ujung goa yang tak lain dari mulut goa seberang sana. Goa ini dekat dengan pantai, hempasan ombak bisa terdengar samar dari sini. Hal yang unik yang kami temui di dalam goa ini adalah stalaktitnya yang berbentuk pocong. Di dinding goa juga kami melihat susunan batunya menyerupai tulang belakang manusia, bentuknya sangat mirip.

Goa Miring
Goa Miring

Setelah puas menelusuri setiap sudut Goa Miring, kami melipir ke Goa Lanang. Berjalan kaki mengitari hutan, beranjak dari satu goa ke goa yang lain memang agak menguras tenaga, apalagi kami berhujan ria. Pakaian di badan agak berat, tapi untunglah cuaca mulai membaik di tengah perjalanan. Untuk menuju goa ini, kami harus melewati beberapa anak tangga. Yaa… memang Goa ini agak berbeda dengan goa yang lain, posisi mulut goa vertikal, namun tidak terlalu dalam.

Setelah sampai dibawah dan menyelesaikan anak tangga terakhir, saya terkesiap dan takjub. Di depan saya terdapat mulut goa yang sangat besar dan luas. “Disini sering dijadikan lokasi syuting film laga,”kata Pak Iyus. Yaa.. memang terlihat beberapa bekas di goa ini menunjukkan sering terjadi beberapa aktivitas. Kami beristirahat sebentar di goa ini. Karena mulut goa vertikal maka sinar matahari sempurna masuk ke dalam goa. Suasana goa bersih dan sepertinya memang sering dibersihkan. Terdapat perapian juga di pojok sana. Kalau dipikir-pikir tempat ini cocok juga menjadi tempat berteduh sambil menyalakan perapian.

Goa ini dulu merupakan kerajaan Penanjung dengan rajanya bernama Prabu Anggalarang dan permaisurinya Dewi Rengganis. Prabu Anggalarang merupakan lelaki yang gagah dan sakti sehingga dijuluki “Sang Lanang” dan goa ini merupakan tempat tinggalnya sehingga disebut Goa Lanang. Goa Lanang ini menjadi keraton kerajaan Galuh pertama. Di goa ini ada batu gamelan yang bila ditabuh dengan tangan akan mengeluarkan nada seperti gamelan. Selain itu stalaktit indah terdapat di goa ini. dari stalaktit yang besar dan bertebaran di sekitar goa ini menunjukkan goa ini sudah berdiri tegak selama berabad-abad lalu.

Goa Lanang
Goa Lanang

Ada satu lagi goa yang akan kami masuki yaitu Goa Jepang. Perjalanan menanjak ternyata tidak gampang. Kami harus sangat hati-hati karena jalanan sangat licin habis diguyur hujan. Karena wilayah ini merupakan cagar alam, selama perjalanan menjelajah goa ini kita bisa menyaksikan monyet-monyet yang dengan bebas menggelantung di pepohonan. Dan yang menakjubkan lagi, ketika hampir sampai di Goa Jepang, kami bertemu dengan biawak dan rusa yang bersantai di sela-sela dedaunan. Mereka bergerak bebas tanpa merasa terusik. Diam-diam saya memotret mereka.

Rusa di Cagar Alam Pangandaran
Rusa di Cagar Alam Pangandaran

Goa Jepang dikawasan ini dibuat pada masa Perang Dunia Kedua (1941-1945) dengan menggunakan kerja paksa atau Romusha selama kurang lebih satu tahun. Keunikan dari goa ini adalah dibuat dibawah bukit kapur dengan dinding batu karang dan pintu goa berbentuk persegi empat. Pada bagian akhir goa ini terdapat tangga yang berakhir dengan lubang kecil sebagai tempat untuk berlindung. Secara sepintas memang lubang goa ini tidak terlihat.

Goa Jepang
Goa Jepang

Penyusuran Goa berakhir ketika kami melewati Batu Kalde. Batu ini merupakan situs peninggalan sejarah pada masa kerajaan Galuh. Namun sayangnya, bebatuan peninggalan sejarah ini kurang terawat dengan baik dan terserak. Di sisi yang lain terlihat beberapa makam tanpa nisan. Menurut saya, mungkin berapa dekade silam terdapat peradaban penting di daerah ini, namun sejarah yang mahal ini masih kurang terawat dan kurang perhatian.

Categories
Travelling

[Part II] Pulau Harapan, Berlari Bersama Mentari

Setelah sampai di homestay, saya langsung merebahkan diri di dinding dekat kamar, mendekati kipas angin yang mengirim sedikit kelegaan setelah hampir tiga jam terpanggang matahari seperti cerita saya disini..

Makanan sudah terhidang, rasa lapar memang sudah terasa, sarapan tadi pagi masih belum nendang dan tak bisa menahan perut lebih lama, hehehe..

Kami lahap menyantap makanan yang sudah disiapkan pemilik homestay,  selain rasanya yang nikmat menggoyang lidah, rasa lapar karna lelah sangat mendukung. Tak berlama-lama kami beristirahat di homestay, aroma laut sudah memanggil-manggil dari tadi, jadi bergegas kami ke dermaga dan goo…!

Perahu perlahan meninggalkan dermaga dan menuju pulau-pulau yang akan kami selami. Ada beberapa pulau kecil yang berada di sekitar Pulau Harapan, dan terumbu karang di sekitar pulau-pulau itu terkenal ciamik. Tak perlu berlayar terlalu lama, sekitar setengah jam perjalanan kami sudah sampai di spot yang bagus untuk menikmati indahnya etalase laut itu. Seorang awak kapal menyebur untuk memastikan bahwa tempat perhentian kami ini memang spot terbaik di sekitar pulau kecil ini.

Perlengkapan snorkeling siap terpasang dikepala dan mulut, dan byuurr… satu persatu melompat dari kapal dan mulai asyik menikmati indahnya alam Indonesia. Bagaimana tidak bersyukur kita punya alam seindah ini di Nusantara, sampai-sampai alam indah ini membuat iri negara-negara sebelah. Alam sudah menyuguhkan beribu pesona tak terbantahkan dan sekarang tugas kita untuk menjaga alam ini tetap lestari dan  terhindar dari pengrusakan liar, yah paling tidak berkunjung tanpa merusak harmoni biota yang sudah ada.

Beberapa spot terbaik untuk menikmati terumbu karang di sekitar Pulau Harapan seperti Pulau Kayu Angin Sepa, Pulau Bira, Pulau Bulat, Pulau Papatheo, Pulau Pelangi. Tapi spot terbaik bagiku menikmati coral-coral yang paling bagus itu ada di Pulau Bira. Ada juga Pulau Kotok yang sering dijadikan tempat diving para diver.

Kegiatan snorkeling ini memang memancing rasa lapar cepat muncul kembali, kapal kami kembali melaju ke tepian sebuah pulau. Pulau ini terdapat dua warung yang biasa menjadi tempat persinggahan bagi para wisatawan yang asyik snorkeling di dekat pulau ini. Pulau ini kecil dan tak berpenghuni. Selain kami ada juga komunitas lain yang singgah ke pulau ini. menikmati gorengan dan air kelapa muda memang nikmat sambil memandang ke laut lepas… hihihi..

Agak lama kami bersantai di pulau ini, yah sekalian menunggu teman-teman yang lain yang penasaran untuk mengeskplor pulau ini. Bermain air laut yang putih bening menyapu bibir pantai berpasir putih satu simponi yang indah, menikmati surga yang mungkin esok takkan sama lagi.

Santai di tepi pantai!
Santai di tepi pantai!

Puas menikmati pulau ini, kami kembali beranjak ke kapal dan melipir ke pulau yang lain, ombak agak mengguncang kapal kami sore itu, tapi tak ada yang gentar, pulau-pulau itu masih menanti untuk di eksplor, hihi..

Sore telah datang, kami baru naik ke kapal, tak terasa rasa lelah telah menggelayut setiba diatas kapal, sang mentari perlahan meninggalkan peraduannya di bagian barat, kapal kami bergerak dengan perlahan, hening itu yang saya rasakan, kami bener-bener menikmati aroma sunset walau menikmati sunset di tengah jalan diatas kapal. Kami menikmati setiap detik pergerakannya sampai sisa-sisa binarnya masih terasa ketika kami menginjakkan kami kembali di dermaga Pulau Harapan. Rasa senang tentu saja menghiasi senyum kami sore itu.

senja di harapan

Saya ingat, kamar mandi di homestay hanya dua dan kami ada sekitar 10 orang cewek, jadi saya memilih leyeh-leyeh  dulu bersama Tommy di dekat dermaga. Disini ada semacam pasar malam kecil yang menjual aneka ragam makanan. Kami sengaja mencari makanan yang khas tapi tidak ada, tidak ada yang unik di deretan makanan-makanan itu. Akhirnya saya dan Tommy memilih melahap gorengan di pinggir jalan disamping dermaga..Ehhmm.. yummmyy..saya menyantap gorengan yang masih panas sambil meniup-niupnya biar cepat dingin. ( ngga tahu lapar apa emang doyan, hahaa..  😀 )

Karena capek banget, jadinya tidur pun nyenyak, pagi hari berasa cepaat banget datangnya. Kami bergiliran mandi. FYI, air di kamar mandi homestay di pulau ini tidak tawar, asin, jadi walaupun udah mandi tapi masih berasa kurang segar, hihihi.. jadinya rambut yang dikeramas kalau diraba berasa kasar.

Setelah voting, kami sepakat hari ini kami tidak akan snorkeling, sebagian bilang sudah puas sebagian bilang sudah capek, jadi kami putuskan hari ini benar-benar menikmati pulau dan bibir pantainya. Segera berangkat, kami bergegas kembali ke dermaga. Bapak pemilik kapal kami bersama tiga orang anaknya sudah menunggu kami.

Kali ini saya duduk dekat bapak pemilik kapalnya ( saya lupa nama bapaknya, huhu..).  Bapak banyak cerita mengenai rumahnya yang nun jauh di seberang lautan sana. Pulau Sebira  sekitar 4-5 jam dari Pulau Harapan. Disana pulaunya lebih bagus dan lebih jernih katanya, terumbu karangnya juga jauh lebih bagus. Oooo… saya hanya bisa manggut-manggut, saya pikir Bapak warga Pulau Harapan, ternyata dari pulau yang kalau dipandang dari sini takkan terlihat digaris batas pembelah langit dan bumi. “Disana sudah ada air tawar, jadi kalau mandi ngga perlu pakai air asin lagi,”katanya pula. Widiih, kok lebih canggih yah daripada Pulau Harapan.

Bapak ini lantas mengundang kami untuk datang ke rumahnya, mau siiyy.. tapi,.. tapii.. jauuh banget, butuh satu hari waktu untuk perjalanan saja.. hmm… mungkin lain waktu ada kesempatan kesana.

Kami telah sampai di satu pulau, hari ini kami bebas keliling pulau. Kami menyebar, mencari spot bagus untuk foto-foto (biasaa narsis  hehe..). Eh, tiba-tiba nemu pantai ini, ada tempat duduk yang sengaja dibangun di tepiannya. Saya tak melihat sedikitpun jejak kaki dsini, tandanya belum ada yang menginjak pantai ini yah paling tidak sepanjang hari ini, suasana sepi, suara teriakan terdengar samar disebelah sana, tapi suara ombak yang menghempas pantai lebih terdengar jelas. Angin yang semilir mengelus kulit terasa lembut dan bau pantai yang khas. Nikmat banget dan sejenak saya hanya terdiam dan menatap jaauuuh.. Tatapan terhentak seketika waktu teman-teman berlarian dan berteriak histeris ke pantai tempat saya berdiam itu, seketika pula pantai itu menjadi ramai.

Pantainya sepi, hanya suara ombak dan burung yang terdengar samar
Pantainya sepi, hanya suara ombak dan burung yang terdengar samar

Hari ini kami hanya setengah hari. Tengah hari kami harus kembali ke Jakarta. ada dua kapal penumpang yang siap mengangkut penumpang untuk dihantarkan ke Jakarta siang ini. kapal yang kami tumpangi terlihat semakin penuh. Saya menduga siang ini matahari akan sangat garang bersinar jadi saya minta Tommy agar kami ambil posisi duduk di dalam kapal saja, tapi Tommy menolak dan memilih nangkring diatap kapal, uugghh.. nurut juga deh, daripada pisah, ga asik banget apalagi kapal kami semakin sesak dipenuhi penumpang. Ternyata peminat diatap kapal cukup banyak, sampai kami berebut space dengan tiga orang bule Jepang (dari bahasanya siy Jepang, kok sok tau gini yah hihi).

Setelah lama menunggu, akhirnya kapal melaju, karena kami berada diatas atap dan ombak siang ini lebih ganas dari kemarin, jadi kami terombang ambing diatasnya, sebagian berteriak samar ketika kapal diayun ombak, kami ternyata harus dipanggang kembali, uughh.. saya coba untuk tidur ditutupi handuk lembab, tapi tidak bisa,ombaknya terlalu tinggi untuk menina bobokkan saya, haha… Eh, tapi ada bonusnya ketika saya tidak tidur dan menikmati sepanjang perjalanan pulang ini, mau tauuu… hihi.. sepasang lumba-lumba mulut botol melompat beriringan tepat di sebelah kapal kami. Huuuaahh.. bonus banget ini mah. Lumba-lumba ini tanpa malu menunjukkan keanggunannya dan beberapa kali menampakkan diri. Hmmm.. I love Indonesia. ^^

Categories
Travelling

Carita Berderu

Ini lanjutan cerita saya dari yang sebelumnya disini

Hari yang ditunggu tiba, semua persiapan matang. Yang salah, ternyata Rano lupa mengkonfirmasi kepada ibu warung untuk menyediakan nasi untuk sarapan dan makan siang. Kami sepakat berangkat tengah malam. Ini bukan tak disengaja, kenapa? Tentu masih berkaitan dengan istilah ekonomis, hehe.. kami tak rela mengeluarkan kocek lebih dalam demi penginapan yang ditempati hanya beberapa saat saja. Jadi kami putuskan tidak menginap dengan cara menargetkan tiba di tujuan pagi hari. Maka kami sudah pesankan ke driver bus untuk menjemput kami pukul 12 malam.

Rano panik, ibu warung tak bisa dihubungi, panggilan telpon yang dilakukan berulang kali tidak diangkat, bahkan SMS yang dilayangkan Rano juga tidak mendapat balasan. Tidak mau mengambil resiko untuk iseng-iseng berhadiah mudah-mudahan si Ibu memasakkan kami sarapan, segera keputusan untuk memasak sendiri nasi kami lakukan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Teman-teman semakin rame berkumpul. Yeah.. saya belum bilang ya, kami berangkat sekitar 60 orang kali ini. Suatu keputusan nekad pula memasak sendiri bekal untuk nyawa 60 orang. Karena belum ada kepastian dari ibu warung, terpaksa Rano dan beberapa teman beli beras dan mulai masak. Sambil menunggu teman semua komplit, nasi menunggu matang. Suara semakin riuh seiring bertambahnya manusia yang berkumpul. Ibu warung itu membalas SMS Rano hampir ketika tengah malam, sudah tentu agak telat karena nasi sudah bertegger di kompor, akhirnya kami hanya memesan nasi untuk makan siang besok kepada si Ibu.

Kami berangkat pukul setengah dua dini hari, meleset dari perkiraan. Bus melaju menembus gelapnya malam. Tentu perjalanan mulus tanpa ada macet sedikitpun. Ini tengah malam. Jalanan sepi. Mata saya semakin tertahan dan meredup dan seketika terlelap. Saya sama sekali tak merasakan situasi malam yang kami lewati sampai saya tersentak mendengar teriakan histeris teman-teman. Mata saya terbuka mendadak, saya melihat teman-teman melihat keluar lewat jendela bus. Apa yang mereka lihat, semua gelap, mata saya tak bisa menembus gelapnya malam dibalik jendela bus itu, saya juga tak terlalu tertarik untuk melirik lebih dekat. Ah, paling pekikan teman-teman yang ga sabar untuk sampai di pantai, pikirku. Mata saya yang mulai redup kembali tersentak ketika pekikan itu terdengar histeris dengan kata BANJIIR…

Saya melompat mendekati jendela bus, kuusap-usap jendela yang berkabut. Ternyata hujan yang mengguyur Banten menyebabkan banjir dimana-mana. Sangat memperihatinkan. Banjir meluap sampai setengah badan bus, kasian rumah-rumah yang mengambang di pinggir jalan. Jalanan sudah tak terbedakan dengan selokan. Bus bergerak pelan beriringan dengan mobil di depan dan di belakang kami. Hujan deras masih enggan berhenti, saya sedikit khawatir acara hari ini akan hancur berantakan terguyur hujan.

Ini memang diluar dugaan, cuaca hari ini memang sangat berbeda dengan minggu lalu ketika kami melakukan survey ke daerah ini, semua tampak cerah, warna langit yang biru memantulkan warna nya dilaut lepas dan melukiskan warna cerah bersih. Dan kini, semua berbeda. Huh, saya kembali terlelap, banjir itu sekitar pukul tiga dini hari.

Setelah perjalanan lamban terjebak banjir, akhirnya hujan deras berhenti ketika hari menjelang pagi, ini tentu pertanda baik. Acara yang kami susun dengan apik menuju sinyal akan terlaksana dengan baik. Saya merasakan bus membelok ke kanan dan tak lama berhenti di tempat parkiran. Pukul 04.45 kami tiba di Pantai Pasir Putih Carita. Sepi, bahkan petugas di posko tiket masuk juga tak ada. Kami main masuk saja dan mengambil posisi paling cocok untuk parkir. Sebagian turun dari bus, meregangkan tubuh yang sedari tadi kaku terduduk di bangku bus.

Diluar masih gelap gulita. Saya enggan keluar, mata saya masih tertarik dan nikmatnya tidur masih terasa. Saya biarkan tubuh saya terkulai di dudukan bus, hiruk pikuk teman-teman saya hiraukan saja, waktu untuk tidur masih berlangsung. Pukul 06.00 saya terbangun, mengucek mata dan menyegarkan badan. Saya segera turun dari bus, melihat ke sekeliling, masih sepi juga. Saat itu pandangan sudah jelas terlihat. Suara deru ombak juga jelas terdengar, tampaknya ombak laut saat ini lagi tinggi, saya bisa prediksikan berdasarkan suara ombak yang menerjang pantai dengan kasar. Mungkin memang pengaruh hujan deras tadi malam.

Tak lama, lelaki setengah baya menghampiri kami.

“Neng, bayar uang parkir..,” katanya sambil menunjukkan tiket masuk untuk bus seharga 600ribu Rupiah.. “WHAATT! “ saya tersentak membelalak melihat angka di lembaran yang masih digenggamnya. Naluri tawar menawar saya mulai bergerak. “ Pak, ini kan bulan puasa, saya yakin tidak akan rame orang yang liburan, apalagi ke pantai,” celetuk saya. Oh tuhan, agak susah tawar menawar dengan si Bapak. Kami hanya berhasil menawarnya menjadi 500ribu Rupiah. Padahal jurus jitu sudah saya keluarkan, ah lumayan deh. Bener saja sampai siang pantai yang seminggu lalu terekam lautan manusia, kini hanya kami dan beberapa pengunjung di sekitar pantai yang mempunyai garis pantai yang panjang dan landai ini.

Kami menggelar tikar tepat di bawah pohon di tepi pantai, ini spot terbaik. Tempat ini memang menjadi pilihan jitu dengan waktu yang jitu bagi kami yang ingin menyepi. Disini hanya kami yang meramaikan tempat ini, yeah memang terlihat beberapa keluarga kecil bermain air di pojok sebelah sana, namun suara kami mengalahkan ocehan anak kecil itu bahkan deburan ombak terlahap oleh teriakan kami yang sedang beradu. Hah, beradu?

Yups.. tim acara tidak mati gaya untuk membuat acara-acara yang bikin urat-urat leher hampir keluar saling meneriakkan kelompok masing-masing. Tim acara membentuk beberapa kelompok dan membuat permainan-permainan seru. Salah satunya, pertandingan sepak bola pantai antara perempuan tapi semuanya kudu pake sarung diikatkan di dada. Ini permainan seru, apalagi gaya permainan cewek-cewek bermain bola, kemana bola menggelinding, seluruh peserta berlari merebut bola rame-rame. Gelak tawa pecah dan teriakan beradu tatkala bola sampai dikuasai pihak lawan. Permainan bola para laki-laki tampaknya lebih ahli. Gerak geriknya lebih luwes ketimbang cewek-cewek yang sambil menendang bola sembari teriak histeris. Mereka memang sudah terbiasa main futsal.

Main bola pake sarung
Main bola pake sarung

Acara bebas tentu ada juga. Pihak pengelola menyediakan wahana banana boat bagi yang berminat menerima tantangan yang memacu adrenalin. Banana boat itu ditarik oleh speedboat  sampai ke pulau kecil di suatu sudut yang terlihat dari pantai ini dan sebelum tiba di daratan itu, banana boat itu akan digulingkan dan penumpang akan terjungkal ke air dan siap-siap berenang. Tapi tenang saja, tidak akan tenggelam bagi yang tidak bisa berenang karena pelampung siap menyelamatkan nyawa dengan mengapungkan tubuh kita.

Tapi saat itu saya kurang tertarik dengan wahana itu. Ombak yang berderu sejak pagi tadi lebih kuat menarik saya dan bermain bersamanya. Pantai saat ini memang kurang baik, agak keruh. Hujan yang baru berhenti subuh tadi sangat perperan penting dalam mengeruhkan pantai ini. sudah ombaknya tinggi dengan angin yang tidak bisa dibilang sepoi, airnya juga terlihat keruh. Langit memang sedang tidak secerah minggu lalu, tapi saya masih bisa bersyukur, hari ini hujan tidak kembali datang. Pantai yang agak keruh karena angin yang mengayun ombak menghempas pantai tidak menyurutkan kami bermain-main diayun ombak.

Ombak kencang itu tidak menggetarkan ketakutan kami, malah kami lebih menikmati ombak yang datang dengan tinggi nya. Kami dengan papan selancar ditubuh menanti ombak tinggi untuk menghempaskan tubuh kami ke tepi pantai. Berulang dan kami tergelak. Pasirnya bersih, pandangan luas, seluas mata memandang, bahkan tak terbentur oleh tubuh manusia. Ini memang pilihan yang tepat dan waktu yang tepat.

Saat bulan puasa, Sepi !!
Saat bulan puasa, Sepi !!

Dimana pun, bila bermain di air pasti bawaannya lapar. Begitupun kami, makan siang seadanya dilahap tanpa celetukan dari setiap mulut yang kelaparan. Makan siang ini terasa nikmat diiringi deburan ombak yang masih kasar menyentuh pasir pantai, kami menikmati setiap rasa yang terhidang, makanan itu tampak sederhana namun nikmat dilidah. Nyam..nyam.. air laut itu sukses merampas energi kami untuk sesaat dan kelaparan yang melanda membuat kami melahap apa saja yang sudah disediakan panitia.

Sore hari, menjelang pulang hujan rintik-rintik kembali pelan-pelan datang. Dengan sigap, kami membereskan semua barang yang terserak dan berlarian ke bus sebelum hujan benar-benar menguasai bumi. Rasa lebih namun bahagia ringan kami rasakan, penat yang terkukung sebelum melihat pantai, kini terlepas dan terbawa angin ke tengah laut. Saya ucapkan selamat tinggal pada penat dan selamat datang jiwa yang baru dengan pikiran segar dan semangat yang bergelora.