Categories
Travelling

Kisah Sebelum Membelai Carita

Bertepatan dengan menyambut bulan puasa tahun 2013 ini, saya bersama teman-teman yang senasib sepenanggungan menjadi perantau sejati (tidak pulang ke kampung halaman) memutuskan untuk meregangkan otot-otot saraf yang mengencang sepanjang minggu-minggu terakhir kesibukan kerja menjelang bulan puasa. Setelah perdebatan sengit, akhirnya kami memutuskan untuk menjelajah ke pesisir pantai di seputaran Banten.

Tentu sudah tidak menjadi kabar baru bagi para pemburu alam bahwa Banten menawarkan pantai-pantai yang masih bersih dan masih menjadi pilihan terbaik saat ini karena lokasinya yang cukup dekat dengan ibukota kita tercinta ini tempat dimana kami dan segerombol orang bermukim. Trus nanti ngapain aja disana??

Akhirnya, terpilihnya lima orang menjadi tim kecil yang mengurusi segala titik bengek persiapan sebelum meluncur ke TKP. Tim kecil ini sebut saja tim volunteer yang siap mengemban tugas dan merelakan waktu dan tenaga demi kesuksesan acara bermain ini. Kami mulai browsing mencari informasi selengkap-lengkapnya mengenai pantai Banten. Pantai mana yang akan kami tuju, berapa lama perjalanan, bagaimana dengan konsumsi, transportasi. Yeaahh.. bagaimana layaknya panitia, itulah yang sedang kami lakoni.

Kami ingin memberikan yang terbaik dan membuat acara yang murah meriah dan bahagia. Pertemuan tim pun kami adakan demi mematangkan rencana dan menimbang-nimbang alternatif terbaik seperti apa yang akan kami suguhkan kepada teman-teman tercinta ini.

Untuk transportasi tidak sulit mendapatkan bus yang sesuai dengan budget kami. Yeahh berhubung saat itu bulan puasa bagi umat muslim, mungkin tidak banyak orang yang berwisata ke pantai. Buktinya banyak bus yang kami telpon sangat bersedia untuk mengantarkan kami ke tempat wisata itu. Nah, tentu harga harus getol untuk menawarnya karena mereka kerap berkelit karena puasa maka tips untuk driver lebih mahal. Jurus negosiasi harga terpaksa dikeluarkan bila situasi tak mendukung seperti itu.

Dengan perhitungan detail akhirnya untuk konsumsi, kami memutuskan untuk memasak sendiri lauk pauk, tinggal nasi yang akan kami beli di sekitar Banten. Rano dan beberapa teman siap membantu untuk memasak bekal kami nanti. Tentu ini sangat meringankan biaya perjalanan. Kabarnya jalan menuju sekitaran pantai Banten sudah bagus, jadi perjalanan tidak akan terlalu lama seperti yang dulu-dulu yang katanya bisa sampai enam jam perjalanan. Namun kabar ini pun masih diragukan beberapa pihak teman yang akhirnya kami memutuskan mengutus beberapa untuk melakukan survey seminggu sebelumnya.

Tujuan kami survey selain untuk melihat jalanan dan berapa lama sebenarnya jarak tempuh Jakarta Banten saat ini, kami ingin menentukan pantai mana yang sesuai dengan keinginan kami dan cocok untuk tempat kami bermain nantinya. Selain itu, kami mencari dimana tempat untuk memesan nasi, yeah..cukup nasi saja.. hehee..

Dan entah kenapa, penentuan siapa yang akan berangkat survey saja ternyata sangat runyam sodara-sodara. Semua ingin ikut survey, ternyata kebanyakan tidak sabar untuk menyapa nyiur melambai di pesisir Banten itu. Setelah berebut siapa yang akan berangkat, ternyata pada kenyataannya yang akhirnya bisa berangkat hanya bertiga.. krik..krik.. telpon si ana si anu susah dihubungi, masih pada molor di kosan masing-masing. Alhasil kami berangkat saja tanpa ada satu orang pun diantara kami bertiga yang tahu jalan.. haha, sangat gambling tapi kami pasrah saja deh.

Petunjuk jalan menuju Banten ditambah berbekal hasil browsing dari internet, ternyata tidak susah untuk mencapai pantai. Jalanan ternyata sudah bagus dan mulus, walaupun masih ada beberapa sisi jalan yang mengalami perbaikan. Katanya sore hari masih diberlakukan sistem buka tutup. Kayak jalan ke puncak saja ya. Perjalanan kami mencapai Banten ternyata cukup sekitar tiga jam.

Banten, yeah kami sudah berada di daerah Banten, aroma pantai sudah tercium setelah melewati Krakatau steel. Setelah makan di pinggiran jalan, kami mulai memilih pantai mana yang akan kami masuki. Pantai pertama tentu pantai yang terdekat yang kami dapati. Namanya pantai pasir putih, kami masuk dan ternyata dipungut biaya 70 ribu rupiah karena bawa mobil. Agak tercekat mendengar harga yang harus dibayar, mahal bo..

Pantai ini sangat tidak terurus menurut penilaianku. Ada beberapa saung kecil dan tentu lengkap dengan penunggunya yang menawarkan tikar bertarif. Pantainya sangat luas namun agak kotor. Mungkin karena banyak pengunjung yang kurang menjaga kebersihan. Entah kenapa dibilang pantai pasir putih, yang terlihat pasirnya cenderung kehitaman. Kami Cuma sebentar disini, pantai ini tidak masuk kualifikasi kami.

Setelah menyusuri jalanan dipinggir pantai ternyata kebanyakan pantainya memang mereka namai pantai pasir putih. Agak membingungkan memang, tapi begitulah. Kami akhirnya berhenti di Karang Bolong. Kenapa karang bolong, ternyata pantai ini tidak begitu landai dan sebagian pantainya berkarang sehingga kurang cocok untuk berenang,tapi tidak berarti pantai ini tidak bisa digunakan untuk berenang. Di Banten, pantai mana sih yang sepi peminat? Hehe.. Sepanjang pantai yang kami lewati, semua penuh dengan hamparan manusia yang membanjiri laut. Selain itu ada batuan besar yang membentuk karang dan di tengahnya bolong dan memperlihatkan pantainya yang eksotik. Tepat di depan karang yang bolong itu berdiri satu saung yang agak tinggi, sehingga pengunjung juga bisa menikmati sentuhan angin laut yang lembut dari saung ini.

Pantai Karang Bolong

Dipikir-pikir, Karang Bolong lumayan asyik dan lebih bagus dari pantai sebelumnya. Namun kami masih belum puas, kami masih mau mencari, lagi pula masih ada waktu sebelum mentari semakin kesudut barat. Mobil melaju, kami masih bersemangat, yuhuu…

Beberapa gerbang menuju pantai yang entah apa namanya kami lewati, dan kami berhenti di pantai yang namanya jelas-jelas dibilang pantai pasir putih Carita. Banyak bus yang berbaris di parkiran. Hmm.. tampaknya peminat di pantai ini lebih banyak, kami mencari parkir yang nyaman diluar kawasan pantai. Kami masuk ke dalam jalan kaki, saya melongok ke tukang tiket, tapi tak ada orang. Orang-orang juga lalu lalang begitu bebasnya, maka dengan inisiatif tinggi kami masuk saja melewati palang yang melintang di depan kami.

Saya agak terkejut melihat begitu ramainya orang membanjiri pantai ini, ini jauh lebih ramai dari pantai-pantai yang kami lihat sebelumnya, bahkan melebihi kapasitas bus-bus yang berderet diparkiran itu. Ramai banget dan pantai ini sangat luas, aneka wahana seperti berenang dengan ban, banana boat juga ada beberapa disini. Ahaa.. ini sepertinya sesuai dengan kualifikasi kami. Kami mencari warung yang bisa menyediakan nasi untuk kami nantinya.

Pantai sebelum bulan puasa
Pantai sebelum bulan puasa

Setelah semuanya beres, sebelum beranjak pergi meninggalkan Banten, kami menikmati sore sambil menyantap makanan seafood yang lezat di tepi jalan. Sambil memandangi jalanan yang macet karena efek sistem buka tutup yang diberlakukan sore itu, jalanan benar-benar tak bergerak di satu sisinya. Sedangkan sisi lainnya lancar tanpa rintangan. Malam semakin temaram ketika kami tiba kembali di Jakarta dan saya sudah tak sabar menyentuh kasur setelah seharian berkeliaran hari ini.

Categories
Travelling

[Part I] Pulau Harapan, Berlari Bersama Mentari

Tidak jauh dari Jakarta menjadikan Kepulauan Seribu menjadi pilihan destinasi bagi para penikmat alam. Pulau Harapan merupakan salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Dari ratusan pulau-pulau yang bertebaran di Kepulauan Seribu, Pulau Harapan menjadi salah satu tujuan favorit para wisatawan. Selain waktu tempuh yang masih relatif dekat dan cara menjangkaunya juga tidak sulit, Pulau Harapan menawarkan keindahan yang tidak kalah saing dengan pulau-pulau di daerah lain.

Perjalanan kami berawal dari Muara Angke. Dermaga nelayan yang juga menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal penumpang menuju pulau-pulau di Kepulauan Seribu seperti Pulau Harapan, Pulau Tidung dan Pulau Pari. Sabtu pagi-pagi sekali saya harus sudah berangkat dan berusaha sebelum pukul 07.00 pagi tepat tiba di dermaga. Kalau telat sampai di dermaga muara angke jangan harap bisa menunggu kapal berikutnya.

Pagi itu saya bangun kesiangan, entah kenapa alarm yang sengaja saya pasang tak berbunyi. Karena hari terasa begitu cepat siang dan terang benderang, saya memutuskan untuk naik ojek menuju Muara Angke. Saya masih membayangkan kemacetan yang luar biasa setelah mendekat Muara Angke waktu saya dan teman-teman ke Pulau Tidung di Tahun sebelumnya. Saya tidak mau gara-gara ketinggalan kapal saya tidak bisa bersantai di tepi pantai sore ini.

Inilah saatnya saya berlari bersama sang mentari pagi yang semakin menunjukkan taringnya. Setelah tawar menawar harga, saya sepakat dengan bapak ojek membayar dua puluh ribu Rupiah sampai di depan pom bensin di pinggir dermaga Muara Angke. Saya tidak lupa pesankan pada bapak ojek untuk ngebut sekencangnya karena kapal akan segera berangkat. Bapak ojek sangat mengerti kepanikan saya sampai ojek melaju sangat kencang, saya sempat agak deg-deg an karena saking kencangnya, ojek yang saya tumpangi hampir menyerempet sepeda motor lain yang tiba-tiba melaju dari arah berseberangan. Bapak ojek sempat memaki tapi tetap fokus dan menyelip di antara mobil-mobil yang berhenti karena macet total.

Teman saya sampai menelpon beberapa kali karena kapal sudah mau berangkat. Mereka ternyata sudah berada di kapal dan tinggal saya dan Tommy yang masih belum naik. Kepanikan semakin menjadi ketika mendekati dermaga, jalanan sangat macet luar biasa. Untung bapak ojek tahu jalan kecil untuk mencapai pom bensin. Memasuki jalanan kecil yang becek dan bau amis saya mengangkat kaki agar tidak terciprat air jalanan yang becek.

Setelah membayar ongkos ojek, kami sedikit berlari menuju dermaga, jalan menuju dermaga persis disamping pom bensin ada terowongan dan kami masuk ke dalam dan terlihat begitu banyak kapal bersandar. Pun begitu, ternyata orang yang lalu lalang ternyata jauh lebih banyak. Saking banyaknya kami sempat bingung menemukan rombongan yang diperparah karena kami belum kenal teman-teman satu rombongan. Saya mulai memperhatikan tampang orang-orang yang hilir mudik. Tampang mereka kebanyakan memang seperti ingin menyeberang ke pulau, tapi rombongan saya manaa??

Kepanikan semakin memuncak, manusia tumpah ruah. Sebagian sudah mengantri untuk menaiki kapal menuju pulau masing-masing. Para wisatawan berebutan dengan penumpang domestik yang memang tempat tinggalnya di Kepulaun Seribu. Sang mentari pagi ini memang agak menggigit, sebenarnya kawasan dermaga ini kurang kondusif untuk menampung ribuan wisatawan yang ingin menggapai nikmatnya angin sepoi dan deburan ombak di pesisir pantai di gugusan pulau di Kepulauan Seribu.

Kapal penumpang berjejer berdampingan dengan kapal nelayan. Padatnya aktivitas dermaga yang tidak dibarengi dengan pemeliharaan kebersihan dan kenyamanan menyebabkan dermaga ini tampak kotor dan kumuh. Airnya yang keruh kecoklatan lengkap dengan bau amis terbawa angin semilir. Pun begitu, orang-orang terus berdatangan. Ternyata, Kepulauan Seribu telah menunjukkan pamornya di mata para penikmat alam yang haus akan alam-alam yang eksotis.

Saya bolak balik menelpon teman, katanya mereka sudah menaiki kapal dan kapalnya sudah mau berangkat. Saya mulai memperhatikan kapal yang mana yang mereka naiki. Kami harus berteriak-teriak di telpon karena suara kami memang lenyap di telan suara ratusan orang yang mempunyai kepentingan yang sama.

Akhirnya saya melihat lambaian tangan. Berdasarkan cirri-ciri yang dia sebutkan, yeah.. mungkin itu memang orang yang saya cari. Saya mulai mengantri dibelakang ibu-ibu yang membawa anaknya dan melompat dari satu kapal ke kapal yang lain untuk mencapai kapal yang kami tuju. Saya dan Tommy akhirnya tiba di kapal yang akan membawa kami ke Pulau Harapan dengan terengah-engah dan masih bersyukur tidak ditinggal. Kapal ini sudah dipenuhi puluhan orang yang sibuk mencari posisi yang paling nyaman. Berhubung perjalanan ini adalah perjalanan serba ekonomis, maka kapal yang kami naiki juga super ekonomis, semua penumpang bebas duduk dimana saja asal tidak menghalangi nakhoda dan awak kapal selama menjalankan tugasnya.

Saya sadar kalau saya memang telat, dan itu impas dengan mendapatkan tempat di pinggir kapal dan menahan teriknya matahari pagi itu. Karena kapal bertumpuk, maka kapal kami sulit untuk keluar dari tumpukan kapal-kapal lain. Penumpang bergencetan duduk dimana saja, ada yang berdiri termasuk kami yang duduk di pinggir kapal disamping pintu tempat singgasana sang nakhoda.

Waktu berlalu, kapal semakin menjauh dari tepian dermaga, hiruk pikuk para penumpang yang masih berusaha menggapai kapal masing-masing masih terdengar samar. Matahari tepat mengarah ke tempat kami bersandar. Sinarnya persis menampar wajah saya sampai saya harus memicingkan mata dan menarik kain pantai dari ransel untuk menutupi muka saya.

Perjalanan ini akan berlangsung selama kurang lebih tiga jam, dan saya tidak rela kulit saya gosong duluan sebelum mencapai bibir pantai Pulau Harapan. Berusaha membaluti tubuh dengan kain pantai, menimbulkan penyesalan kenapa ga bawa topi atau jaket.

Ngantuk tertahan diantara menangkis  teriknya matahari dan kapal yang bergoyang diayun ombak laut yang lumayan besar. Tidur tak nyenyak namun sangat mengantuk membuat kepala saya pusing dan ingin mengakhiri semua ini. Tapi ini dimanaa?? Ini di tengah laauuutt.. hhuuhhh.. pilihan terakhir hanya bisa bertahan dan berharap semua ini cepat berlalu.

Untuk menghibur diri, saya pandangi penumpang lain yang meringkuk disela lututnya, yang lain pasrah dan berpura-pura menikmati matahari garang itu. Yang lainnya memaksakan diri masuk ke dalam yang tentu juga tetap panas plus sesak karena rame banget. Yang lain lagi, sama seperti saya, berusaha menarik apa saja yang bisa menjadi pelindungnya dari panas matahari yang semakin mendidih.

Cuaca hari itu memang sangat bagus, tidak ada rintangan berarti selama perjalanan itu. Disela-sela ngantuk saya, saya menguping pembicaraan penumpang dengan salah seorang yang lain yang menurut saya sangat mengenal Kepulauan Seribu ( mungkin dia awak kapal atau mungkin tour guide-nya, ah entahlah). Saya juga ikut manggut-manggut saat sang wisatawan itu manggut-manggut tanda paham.

Setelah dipanggang hampir tiga jam, pulau-pulau mulai kelihatan. Saya dan Tommy mulai tebak-tebakan, di pulau yang mana kapal kami akan bersandar.. Yeaahh.. lewat, bukan pulau inii.. tebakan saya salah, ternyata kapalnya terus melengos melewati pulau yang sudah menyambut. Ternyata pulaunya masih berada dikejauhan.. hm..hmm.. hm

Sepertinya kapal mengarah ke Pulau yang terlihat besar diantara pulau-pulau kecil disekitarnya. Dan terang saja, kapal kami semakin mengarah ke Pulau itu. Yesss, saya berteriak dalam hati, ternyata penantian panjang ditambah perlawanan terhadap tambaran matahari terbayar, laut biru gradasi biru muda mulai mengeluarkan pesonanya. Jelas ini sangat berbeda dengan pemandangan di dermaga Muara Angke yang sudah tiga jam yang lalu kami tinggalkan. Awal kapal melempar jangkar dan menikatkan tali di tepian dermaga Pulau Seribu. Dan Hup..hup.. penumpang melompat satu persatu ke dermaga.

Tulisan selamat datang di Pulau Harapan menyambut kami, leher, lengan dan pinggang aku putar-putar untuk membuatnya kembali ke posisi semula. Meringkuk selama tiga jam di cuaca yang mendidih seperti tadi cukup membuat tulang-tulang saya remuk dan meretak ketika di putar-putar. Setelah bergabung kembali dengan rombongan, bersama kami jalan-kaki menuju homestay. Homestay kami tepat dipinggir pantai Pulau Harapan, dekat dengan dermaga. Tentunya ini menjadi posisi yang sangat strategis untuk memandang dan menikmati laut tanpa batas.

Menanti Desiran Ombak
Menanti Desiran Ombak

-bersambung-

Categories
Hiking Travelling

Sehari Bersama Suku Asli Baduy Dalam

Kakiku sudah sangat ingin melangkah. Hatiku sudah sangat ingin menyentuh hal baru. Mataku sudah merindukan kesejukan alam. Sudah lama rasanya aku tak merasakan angin dingin menusuk tulangku, dedaunan menyentuh kalbuku. Aku sangat merindukan alam yang tenang. Sudah lama aku berkutat dengan laporan-laporan kantor yang semakin menumpuk. Aku butuh bernafas. Alam adalah nafasku.

Kuputuskan untuk beralih sejenak dari kepenatan ini. Aku mulai menggerak-gerakkan mouse komputer di depanku dan mencari informasi wisata yang menarik. Aku terpaku pada suatu open trip ke Suku Baduy yang diadakan oleh suatu komunitas backpacker. Peminatnya cukup banyak, ada dua rombongan yang mengadakan trip ke Baduy di komunitas ini untuk tanggal yang sama. Setelah melihat jadwal aku segera mendaftarkan diri untuk bergabung dengan salah satu rombongan trip tersebut.

Aku agak heran kenapa begitu banyak orang yang tertarik untuk mengunjungi suku Baduy di pedalaman Banten ini. Ini bukan trip untuk bersenang-senang dengan keindahan pantai menakjubkan atau pendakian gunung dengan iming-iming keindahan tak terkira setelah pencapaian puncak gunung. Ini sebuah perjalanan ke pedalaman hutan yang tak jauh dari Jakarta.

Ini adalah suatu perjalanan yang berbeda bagiku. Selama ini perjalanan yang sering aku lakukan adalah mendaki puncak-puncak gunung nan tinggi atau menjejali pulau-pulau nan elok. Kali ini suatu perjalanan penuh makna menyentuh hati akan suatu pendirian dan kecintaan akan budaya dan tradisi. Memasuki pedalaman Baduy bagai memasuki alam lain dengan sentuhan keramahan penduduk dan kelembutan alamnya.

Perjalanan ini adalah perjalanan dengan dana seadanya. Tak akan ada kursi empuk, tak akan ada AC sejuk untuk menepis panasnya sengatan matahari siang. Perjalanan ini diawali dengan transportasi kelas ekonomi dan sarapan murah di pinggir jalan di depan stasiun.

Aku melangkah dengan semangat menembus pagi yang muram menuju Stasiun Tanah Abang tempat kami berkumpul. Selama perjalanan ke Stasiun Tanah Abang, aku sangat penasaran dan tidak sabar bertemu dengan orang-orang baru yang akan menjadi teman baruku selama semalam menginap di atap bumi Baduy. Hal ini juga baru pertama kali kulakukan, melakukan perjalanan dengan orang asing. Aku tidak tahu pasti semangat yang menggelora di dada ini datangnya darimana. Yang aku tahu pasti aku merasakan jiwaku begitu antusias menangkup alam. Sudah terbayang dibenakku alam dengan rimbunnya pepohonan dan orang-orang Baduy seperti yang aku lihat di foto-foto perjalanan para blogger.

Aku menyempatkan diri menyantap sarapan pagi di pinggir Stasiun Tanah Abang. Sarapan ini akan menjadi energi bagiku sampai siang ketika tiba di Ciboleger. Cukup murah untuk sarapan yang memuaskan itu. Aku beranjak dan berlari kecil memasuki stasiun ketika melirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07.30. Tentu saja aku takut ketinggalan kereta. Sungguh tidak lucu rasanya ketinggalan kereta padahal sudah berada di stasiun, bukan?

Aku lurus memandang ke sekeliling ruang tunggu itu, sepagi ini terlalu banyak orang yang lalu lalang di ruangan itu sehingga mengaburkan pandanganku ke arah teman-teman baruku. Aku melewati satu gerombolan orang yang aku tebak bukan bagian dari gerombolanku. Aku mencari satu sosok orang yang menjadi tim leader di rombongan kami. Dua hari sebelum berangkat kami sempat mengadakan pertemuan sembari saling berkenalan satu sama lain di Angkringan Pancoran. Fafa sebagai penggagas trip ini yang menyarankan pertemuan itu. Tidak semua yang datang sehingga memudahkan aku memingat beberapa orang. Kucari sosok wajah itu dan akhirnya kutemukan mereka berada di pojok ruang tunggu di stasiun ini, duduk berkeliling dan membekap tas ransel masing-masing.

Sudah hampir semua datang, wajah-wajah mereka masih asing bagiku. Fafa yang sudah siap dengan kertas ditangannya mengecek kehadiran para peserta. Kami masih duduk membentuk lingkaran dan secara spontan saling berkenalan. Sungguh wajar  harus berkenalan dengan teman yang akan satu atap denganku malam ini. Perkenalan ini membuka keluarga baru bagiku, setelah perkenalan itu tentu mereka bukan menjadi orang asing lagi. Tidak begitu sulit untuk menjadikan pembicaraan kami hangat. Semua sangat cepat berbaur. Tentu ini awal yang sangat menyenangkan.

Pukul 07.50 kami mengantri memasuki gerbong kereta ekonomi seharga dua ribu rupiah ini menuju Rangkas Bitung. Orang berjejal memasuki pintu gerbong dan berebut kursi yang terbatas. Asap rokok dan sampah makanan bertebaran sepanjang gerbong. Kami berusaha mendapatkan tempat duduk untuk sekedar menghemat energi untuk perjalanan yang masih panjang.

Aku bersyukur masih mendapat tempat duduk disamping seorang ibu dengan anak kecil yang mendekap ibunya dengan erat. Di depanku beberapa bapak-bapak dengan asap rokoknya yang mengepul. Aduuhh.. kenapa si bapak begitu cuek dengan asap rokoknya tanpa memedulikan sekitar gerbong yang semakin pengap dan panas, ditambah lagi bau asap rokok yang membuat mual dan bau-bau lain yang sulit aku deskripsikan. Ini sangat menyesakkan, aku berusaha menutup hidung dengan tisu namun bau itu masih menembus tisu yang kupegang. Seorang temanku sangat kreatif. Dia membeli satu buah jeruk dari penjual yang sangat sibuk lalu lalang menjajakan dagangannya sepanjang lorong kereta ini. Jeruk yang dibeli bukan dimakan karena rasanya juga sudah tak terdeskripsikan. Dia mengajariku untuk mencium kulit jeruk itu sepanjang perjalanan untuk menghilangkan bau yang terhirup. Tentu saja itu lumayan mujarab, aku mencium bau aroma jeruk dari kulitnya. Sangat membantu, pikirku.

Aku berusaha untuk menyandarkan punggungku ke sandaran tempat duduk kereta yang keras dan sebenarnya jauh dari kata nyaman tapi tetap tidak bisa. Hiruk pikuk para pedagang itu sangat memekakkan telinga dan bapak disampingku terus berbicara padaku. Dari dia bertanya kami mau kemana sampai bagaimana dia setiap harinya menggunakan kereta ini selama beraktifitas, dimana dia tinggal, mengenai sanak saudara dan kampung halamannya. Dia begitu bangga menceritakan semua itu.

Hampir tiga jam, kami tiba di stasiun Rangkas Bitung. Sebelum kami turun Fafa sudah dari tadi memperingatkan untuk mengambil barang-barang jangan sampai ada yang tertinggal dan membangunkan beberapa teman yang masih terlelap. Huuaahh.. akhirnya menghirup udara segar juga, teriakku ketika tepat menginjakkan kaki keluar gerbong sesak itu. Weeww.. sejenak aku terkesan dan masih memandangi kereta itu yang kemudian kembali mengangkut penumpang.

Penumpangnya sangat beragam. Kebanyakan warga lokal dengan barang bawaan yang super besar.Mungkin barang dagangan atau barang belanjaan. Sepintas aku teringat ketika aku masih kecil dulu, waktu pertama kali naik kereta api dari Pematang Siantar ke Medan. Hari itu hari yang tak terlupakan bagiku dan sangat berkesan. Ayah sengaja mengajak kami pulang ke Medan menggunakan kereta saat itu. Beliau mau memberikan kejutan padaku dan mungkin beliau juga mau melihat senyum lebarku ketika takjub melihat ular besi itu melaju kencang. Walaupun ekonomi, sudah cukup membuatku bahagia tidak kepalang saat itu. Banyak penjaja makanan di sekitar gerbong, persis seperti ini ditambah dengan bau-bau aroma yang bercampur aduk tidak jelas. Sepanjang jalan aku tidak mau tidur untuk melewatkan momen selama perjalanan itu. Aku berdiri diatas tempat duduk dan memandangi deretan rumah kumuh yang kami lewati. Disini juga seperti itu, deretan rumah kumuh juga menjadi pemandangan pilu sepanjang perjalanan ini. Apakah rel kereta identik berdampingan dengan rumah kumuh? Pertanyaan itu sempat menggelayut dalam benakku.

Perjalanan kami tidak berhenti sampai di Stasiun Rangkas Bitung. Setelah mengantri ke toilet untuk melaksanakan ‘panggilan alam’, kami segera bergegas untuk menuju Ciboleger menggunakan mobil elf yang sudah di booking oleh Fafa. Ciboleger adalah sebuah desa di Banten yang menjadi salah satu gerbang memasuki bumi Suku Baduy. Karena kami lumayan ramai maka dua mobil cukup untuk kami untuk meregangkan kaki yang dari tadi tertekuk di kereta yang padat tanpa space sedikitpun. Sampai-sampai kakipun sulit dan bingung diletakkan dimana.. hahaa..

Mobil elf melaju dengan kencang. Mungkin lebih kencang dari bus kopaja atau metromini yang lalu lalang di Jakarta. yeah.. tentu saja, mobil elf ini melaju tanpa rintangan yang berarti di depannya. Jalanan yang mulus melintang tanpa ujung. Sesekali mobil seperti terjungkal melewati jalanan yang berlubang. Aku dan seorang teman memilih untuk duduk disamping abang sopir.

Kumiringkan kepalaku dan melirik ke abang supir yang serius menatap ke depan. Perawakan tinggi dengan kulit hitam legam yang terkena sengatan matahari setiap hari. Ketika berhenti di pom bensin, dia berbicara dengan temannya dengan bahasa Sunda Kasar. Pandangannya yang tajam dan sangar agak menyeramkan bagiku sehingga aku enggan berbicara padanya. Namun diperjalanan dia yang mulai membuka pembicaraan. Ternyata orangnya ramah, benakku berbicara. Yeah.. tidak pantas menilai seseorang dari tampilan luar fisik saja kan.

Tugu selamat datang sudah menyambut kami di Desa Ciboleger. Satu persatu turun dari elf. Lengan dan wajah kami langsung ditampar oleh sengatan matahari yang sudah tepat berada diatas kepala kami. Kami bergegas ke warung yang berada di salah satu pojok. Kami beristirahat sejenak disini sebelum melanjutkan perjalanan. Kali ini bukan naik kereta atau naik mobil elf lagi. Kami akan berjalan menyusuri bukit-bukit, melewati desa-desa untuk menuju Desa Cikeusik. Salah satu desa tempat bermukimnya Suku Baduy Dalam.

Makan siang di warung ini menjadi menu kuliner sederhana tapi enak dan mengenyangkan. Entah bagaimana si ibu warung mengulek sambelnya menjadi begitu segar dan enak. Sambelnya berikut sayur dan lauk sudah habis kami serbu. Mungkin ibu warung akan cepat menutup warungnya hari ini, target penjualannya tercapai, kata temanku sok tahu.

Pukul setengah dua siang kami berangkat untuk memulai perjalanan yang pasti akan menguras tenaga itu. Karena perjalanan kurang lebih lima jam naik turun bukit maka kami membawa masing-masing dua botol air mineral masing-masing ukuran 1,5 liter. Air mineral kemudian bergabung dengan pakaian ganti dan bahan makanan di dalam ransel. Berat tentu saja, tapi itu tak kami rasakan ditengah gelak tawa dan semangat menggelora.

Setelah memasuki gerbang masuk bumi Baduy, kami melewati beberapa desa yang dimukim oleh warga Baduy Luar. Sapri, seorang Baduy Dalam yang akan menemani kami sepanjang perjalanan ini dan sekaligus penunjuk jalan bagi kami. Bertubuh kecil agak pendek dibalut kulit putih bersih dengan mata cokelatnya yang lembut dan segar menyambut kami. Dia tersenyum seakan mengatakan selamat datang di tanah kelahirannya.

Bersama Sapri
Bersama Sapri

Dia masih sangat muda, baru 16 tahun usianya. Namun dia sudah terbiasa dengan perjalanan sejauh ini hampir setiap hari. Dia mengenakan pakaian putih dan bawahan putih dengan ikat kepala putih tersemat disekeliling kepalanya. Dia tidak memakai alas kaki dan tas kecil yang entah apa isinya.

Sapri cepat sekali bergaul dengan kami. Dia begitu ramah dan dengan lugas menceritakan berbagai hal mengenai kampungnya ini. Dia begitu semangat ketika dia menceritakan penjelajahannya ke seantero Jakarta. Dan yang lebih mengejutkan lagi mereka mengelilingi Jakarta dengan berjalan kaki. Aku sempat terhenyak dan tak percaya, bagaimana mungkin perjalanan dari Baduy Dalam ke Jakarta dan tanpa alas kaki. Sudah kubayangkan perjalanan yang begitu panjang dan sentuhan telapak kaki di aspal jalan yang membara, bisa jadi telapak kaki melepuh. Aku berdecak kagum pada mereka. Mereka sangat luar biasa.

Sapri juga menceritakan mengenai keluarganya dan mengundang kami untuk singgah ke rumahnya nanti. Dia ingin mengenalkan kami dengan ayah ibunya, katanya. Sapri juga bisa menjadi porter dadakan untuk membawakan tas-tas pengunjung yang sudah kelelahan. Dan salutnya lagi, ketika peluh keringat kami berjatuhan dan air mineral sudah hampir habis, Sapri masih begitu segar tanpa keringat yang berarti dan tanpa minum air sebanyak yang kami minum. Dia masih sangat santai ketika kami meminta untuk berhenti sejenak menarik nafas dan menjemput energi yang hilang. Dia hanya tersenyum menatap kami. Kami mungkin malu melihat ini, kami yang sudah lunglai tanpa beban ransel di pundak, sedangkan dia masih begitu segar dengan beberapa ransel tergantung dipundak dan dadanya. Wah..wah…wah, ini tidak boleh terjadi, pikirku. Kunaikkan ransel ke punggungku dan kuhapus peluh yang sedari tadi menetes membasahi sekujur tubuhku. Aku berdiri dan mengajaknya melanjutkan perjalanan.

“Kenapa mereka disebut Baduy Luar?,” Tanyaku pada seorang bapak yang duduk disampingku ketika kami beristirahat di depan rumah seorang warga Baduy. Rumah itu masih berada di wilayah desa Baduy Luar. Rumahnya terbuat dari bambu, lantai dan dinding, segalanya dari bambu dan kayu. Rumahnya sederhana namun bersih dan nyaman. Atap rumahnya dari ijuk sehingga sangat teduh berada dibawahnya.

Rumah suku Baduy
Rumah suku Baduy

“Pada awalnya, semua Baduy adalah Baduy Dalam, mereka melanggar peraturan dan tradisi orang Baduy Dalam, sebagian memang ingin keluar dari Baduy Dalam”, cerita bapak itu. Katanya, Baduy Dalam tertutup terhadap perkembangan teknologi. Mereka sangat mempertahankan budaya leluhur sehingga tidak menerima perkembangan dari luar. Bahkan listrik dan pendidikan untuk anak-anak juga mereka tolak memasuki kampung mereka. Pemerintah pernah ke kampung membujuk mereka namun mereka tetap menolak.

Tradisi begitu mengikat mereka, namun tidak semua merasa terkekang. Hanya sebagian orang saja yang melanggar dan terpaksa keluar dari Baduy Dalam. Secara penampilan, perbedaan Baduy Luar dan Baduy Dalam sangat jelas terlihat. Baduy Dalam hanya mengenakan pakaian dengan warna putih atau hitam atau hitam putih, tidak ada warna lain. Dan mereka tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki sejauh apapun perjalanan itu. Yang lebih mencengangkan lagi, Baduy Dalam juga menolak untuk naik kendaraan ketika melakukan perjalanan. Maka bisa kita bayangkan bagaimana mereka melakukan perjalanan menggunakan kaki telanjang menyusuri jalanan beraspal dan mengarungi Kota Jakarta.

Oleh sebab itu pula tidak semua warga Baduy Dalam yang sanggup pergi ke Jakarta, mereka memilih untuk tetap tinggal disekitar kampung Baduy Dalam dan Baduy Luar. Terlebih lagi perempuan, tak satupun perempuan yang sanggup melakukan perjalanan ke Jakarta. Memilih menetap di kampung saja. Maka tak heran, hanya beberapa dari orang Baduy Dalam saja yang mengerti Bahasa Indonesia. Para perempuan tidak aku temukan yang mengerti Bahasa Indonesia.

Turis mancanegara tidak diperbolehkan menjamah wilayah Baduy Dalam. Itu sudah menjadi aturan baku dan semua warga tahu. Turis-turis luar itu hanya bisa mencapai desa-desa disekitar Baduy Luar. Dan di wilayah Baduy Dalam tidak boleh melakukan prosesi foto-foto. Jadi kami hanya berfoto ria sepanjang masih wilayah Baduy Luar.

Orang Baduy Luar sudah menerima perkembangan teknologi. Mereka menetap di beberapa desa di sekeliling desa Baduy Dalam. Pakaian mereka sudah banyak bercorak dan seperti pakaian masyarakat pada umumnya. Mereka juga sudah menggunakan alas kaki dan naik kendaraan. Mereka juga sudah menggenggam handphone. Mereka sudah seperti masyarakat pada umumnya tanpa tradisi yang mengekang. Walaupun terpisah karena tradisi, orang Baduy Dalam dan Baduy Luar masih berkerabat dan tetap menjalin hubungan baik antar kerabat. Mereka hidup berdampingan dengan harmonisasi perbedaan itu.

Perjalanan terus berlanjut, tidak hanya bukit dan desa yang kami lewati tapi juga beberapa sungai yang harus kami seberangi. Jembatannya dibuat dari kumpulan bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga kokoh menahan beban yang lewat menyeberangi sungai. Bambu-bambu itu diikat dengan sejenis ijuk dan kuperhatikan tidak ada paku yang tertancap disana. Satu persatu kami menyeberangi sungai ini. Tak ada keraguan bagi kami jikalau jembatan ini akan runtuh dan kami terperosok masuk ke sungai.

Alam Baduy Banten
Alam Baduy Banten

Selama perjalanan panjang itu, aku banyak berbincang dengan Sapri. Keingintahuanku begitu besar dan meledak-ledak. Teman yang bersamaku berjalan juga ikut nimbrung menimpali percakapan kami. Perjalanan yang santai dan penuh dengan cerita unik dan luarbiasa dari Baduy Dalam membuat semua ini semakin berkesan dan lelah tak kami hiraukan.

“Orang Baduy Dalam juga punya agama,” celetuk Sapri. “ Agama kami disebut Sunda Wiwitan dan nabinya Nabi Adam, ini adalah agama para leluhur” dia menjelaskan. Mungkin bagi mereka agama dan budaya itu masih satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka juga berpuasa sama seperti umat muslim, namun puasanya hanya sekali dalam sebulan dan berlangsung dalam tiga bulan berturut-turut. Setelah puasa itu, mereka juga merayakan hari raya yang disebut Kawaluk.

Ditengah jalan, kami perpapasan dengan serombongan orang yang memikul berkwintal beras dan yang lain menggotong ayam-ayam yang diikat rapi di kayu yang dijadikan penyangka dan diletakkan di bahu. Mereka berjalan lebih cepat dari kami, mungkin agar perjalanan tidak terlalu lama untuk menahan beban berat itu. Mereka mengarah ke jalan menuju Kampung Cikeusik. Kata Sapri, akan ada acara pernikahan di kampung. Mendengar itu, aku melonjak senang dan berharap bisa menyaksikan perhelatan besar itu.

Masih penasaran, aku menanyakan apa saja kegiatan selama pesta. Bagaimana pakaian pengantinnya. Pertanyaan bertubi-tubi itu tetap disambut Sapri dengan santai. “ Perayaan akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut, ada beberapa tradisi yang dilakukan. Perayaan dilakukan di lapangan kampung. Semua orang akan berkumpul dan sanak saudara diundang. Bagi para tamu yang berkunjung kesana juga boleh turut serta memeriahkan perhelatan itu. Kalau Pakaian sih, biasa saja tidak ada manik-manik atau asesoris lain yang menghiasi sang pengantin untuk terlihat lebih anggun, hanya saja pakaiannya lebih baru, kata Sapri yang membuat kami tergelak.

 Hari semakin kelabu, malam semakin temaram. “Kita harus sudah sampai di kampung sebelum malam semakin gelap,” seru Sapri. Kami semakin mempercepat langkah karena kampung sudah dekat. Setelah melewati satu sungai lagi, kami sudah melihat rumah penduduk suku Baduy Dalam. Disini sangat gelap, tak ada lampu yang menerangi rumah, hanya lampu kecil yang dibuat dan bahan bakarnya minyak tanah berada disudut ruangan rumah itu.

Kami akan menginap di rumah Bapak Herman. Beliau sudah berkeluarga dan memiliki dua orang putra putri. Mereka masih terlihat sangat muda. Bapak Herman mengerti Bahasa Indonesia, namun sang istri dan anak-anak tidak. Kami jadi lebih banyak mengobrol dengan Bapak Herman. Beliau begitu ramah menyambut kami. Beliau dan istri begitu romantis memasak berdua untuk menjamu kami malam ini.

Walaupun diluar sana mereka tidak menggunakan alas kaki, rumah mereka sangat bersih dan nyaman. Setiap kali masuk rumah wajib cuci kaki yang sudah disediakan di depan rumah. Ada setumpuk bambu-bambu yang disenderkan didinding rumah dan isinya air bersih. Airnya bisa langsung diminum dan sangat segar. Kampung ini sangat terhindar dari polusi baik polusi udara, polusi air ataupun polusi lain. Kami tidak diperkenankan menggunakan berbagai sabun ketika membersihkan diri di sungai atau masih berada di sekitar kampung ini. Mereka sangat menjaga keaslian dan keasrian kampung ini, kampung dimana mereka hidup dan tumbuh. Kalau bukan mereka siapa lagi yang akan menjaga kampungnya dari segala ancaman polusi itu.

Aku tidak mau melewatkan malam ini hanya meringkuk dan tidur. Kami bercengkerama didepan rumah sambil menikmati rembulan malam. Kampung ini akan begitu sepi tanpa kehadiran kami. Anak-anak berlarian hanya sekitar jam tujuh malam. Mereka berlari kesana kemari tanpa penerangan dan tidak takut gelap. Mereka sudah terbiasa dengan malam gelap ini. langkah mereka pasti menyusuri sungai-sungai tanpa alas kaki selembar pun. Tanpa takut kaki mereka akan tergores benda tajam.

Bapak Herman juga menyempatkan diri untuk bercerita dan mengobrol dengan kami. Mereka kebanyakan sudah dijodohkan dari kecil. Mereka tidak menolak dan menjalankan semua tradisi itu sepenuh hati. Mereka sangat mencintai budaya dan tradisi mereka. Keramahan dan kelembutan mereka begitu nyata.

Malam ini begitu dingin namun tidak sedingin diluar rumah. Kami tidur berjejer di rumah sederhana ini. suara jangkrik diluar sana terdengar samar. Satu hal yang masih kuingat ketika kami ke sungai membersihkan diri, ada kunang-kunang berterbangan dipinggir sungai. Tubuhnya yang menghasilkan cahaya dimalam gelap bagai lampu berkelap kelip menghiasi malam senyap itu.

Aku bangun lebih pagi dan menyempatkan berkeliling sekitar kampung kecil ini. deretan rumah dengan cirri khas Baduy Dalam tersusun rapi membentuk lorong sebagai jalan. Banyak orang Baduy yang bersantai di depan rumahnya sambil menikmati pagi yang sejuk. Anak-anak bergerombol dan menatap kami yang lewat di depan rumah mereka. Anak-anak disini putih bersih dan cantik dan ganteng. Mereka pemalu dan berlari ketika kami mendekat.

Karena perjalanan yang jauh, sebelum siang kami sudah berbenah untuk kembali ke kota. Ikat kepala khas Baduy sudah terikat di setiap kepala kami. Bapak Herman juga akan ikut bersama kami dan menghantar kami sampai kami bertemu elf di perkampungan Baduy Luar.

“Kabari kalau mau ke Baduy lagi,” pesan Bapak Herman. Mereka dengan senang hati membuka rumahnya dan turun bukit untuk menyambut kami.

Repost from: here

Categories
Lomba Travelling

Tawa Menembus Ruang Dan Waktu

Teriakkan Kebebasanmu
Teriakkan Kebebasanmu

Tertawalah lepas, teriakkan kebebasanmu. Life is yours. Lepaskan segala penat dan kegundahan di hati. Semua akan terasa lega dan redam segala sesak di dada. Perjalanan tak hanya sebatas hiburan sementara, tak hanya sebatas pelarian dari realita kehidupan yang tragis. Perjalanan suatu kebebasan tanpa ruang dan waktu yang menjadi benteng pembatas. Tembus segala rintangan dan tertawa lepas. Tawa lepas, teriakan tanpa kontrol mewarnai perjalanan ini kawan. Semua lepas tanpa ada pembatas. we are free..

For Turnamen Foto Perjalanan Ronde 25: Freedom

Categories
Lomba Travelling

Kepulauan Seribu, Keindahan Di Ujung Jakarta

Berwisata ke Jakarta??

Mungkin tidak terpikir dibenak banyak orang untuk menghabiskan waktu liburan yang indah di seputaran DKI Jakarta. Yang ada, orang berbondong-bondong keluar dari daerah Jakarta menjauhi penat dikala waktu liburan tiba. Tapi tidakkah terpikir bahwa DKI Jakarta masih memiliki surga tersembunyi di sudut-sudutnya dan jauh dari hiruk pikuk Jakarta yang notabene-nya adalah kota metropolitan yang penuh sesak dan penat. Citra Jakarta tercoreng karena macet sepanjang usia, banjir yang rajin datang tak diundang, kawasan kumuh berjejer di bantaran sungai dan persis di samping gedung pencakar langit yang menjulang.

Sungguh ironis memang, tapi jangan pernah kecewa dengan ibukota ini, DKI Jakarta masih banyak potensi indah tak kalah dengan daerah-daerah lain. Di sudut utara DKI Jakarta, tersebar gugusan pulau-pulau kecil yang jumlahnya ratusan yang akhirnya disebut sebagai Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu masih berada di wilayah DKI Jakarta, tepatnya berada di diujung teluk Jakarta. Kepulauan Seribu menjadi salah satu Kabupaten Administrasi di DKI Jakarta.

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mempunyai jumlah penduduk sebanyak lebih kurang 20.000 jiwa yang tersebar di sebelas pulau-pulau kecil berpenghuni. Kesebelas pulau tersebut di antaranya Pulau Untung Jawa, Pulau Pari, Pulau Lancang, Pulau Tidung Besar, Pulau Tidung Kecil, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, dan Pulau Sebira. Selain pulau-pulau berpenghuni, terdapat pula beberapa pulau yang dijadikan sebagai pulau wisata, seperti Pulau Bidadari, Pulau Onrust, Pulau Kotok Besar, Pulau Puteri, Pulau Matahari, Pulau Sepa, dan sebagainya. (http://id.wikipedia.org/)

Di wilayah kabupaten ini terdapat pula sebuah zona konservasi berupa taman nasional laut bernama Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKS). Sebagai daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan di dalamnya juga terdapat zona konservasi, maka tidaklah mengherankan bilamana pengembangan wilayah kabupaten ini lebih ditekankan pada pengembangan budidaya laut dan pariwisata. Dua sektor ini diharapkan menjadi prime-mover pembangunan masyarakat dan wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. (http://id.wikipedia.org/)

Saat itu, saya bersama teman-teman memutuskan melewati weekend bersama di Kepulauan Seribu dan kami menginap di Pulau Tidung. Perjalanan ke Pulau Tidung mulai dari Muara Angke. Muara Angke merupakan pelabuhan nelayan dan juga terdapat kapal penumpang yang menghubungkan daratan Jakarta dengan Kepulauan Seribu. Berdekatan dengan dermaga Muara Angke terdapat pasar tradisional tempat dimana para nelayan menjual hasil tangkapannya. Ikan-ikan yang dijual di pasar ini masih sangat segar dan banyak sekali jumlahnya.

Pasar ini yang menjadikan akses menuju dermaga Muara Angke agak tersendat, kemacetan yang luar biasa apalagi saat weekend seperti ini banyak sekali wisatawan berkumpul di Muara Angke untuk berangkat menuju Kepulauan Seribu. Pasar juga menyebabkan jalanan yang kurang terawat dan bila hujan akan menyebabkan air tergenang dimana-mana dan becek. Sampai-sampai salah satu teman saya tercebur ke sekolan karena sudah tidak bisa membedakan mana selokan dan jalan, semua sudah menjadi satu dan rata. Pasar ini juga menyebabkan bau amis yang membahana kesetiap ruang udara yang terhirup hidung. Karena akses menuju dermaga sangat macet dan tidak mau ketinggalan kapal untuk menyeberang ke Kepulauan Seribu, maka kami memutuskan jalan kaki dari lokasi macet total itu. Berbaris-baris langkah kami ayunkan menembus kemacetan. Tidak hanya kami, rombongan lain juga ternyata begitu. Sungguh perjuangan sekali menuju dermaga Muara Angke.

Setelah melewati pasar yang sumpek dan berbau amis akhirnya terlihat dikejauhan sekumpulan orang yang sudah berkumpul dan membentuk kelompok-kelompok sesuai dengan rombongannya. Saatnya berangkat, tanda kapal sudah mau berangkat dibunyikan. Kami tak berlama-lama berhenti di tepi dermaga. Berebut lapak di kapal ekonomi itu juga ternyata sangat penting dan menentukan kenyamanan selama menikmati ayunan ombak menuju Kepulauan Seribu.

Tak bisa disesalkan memang, kami dapat lapak untuk duduk lesehan tepat disamping mesin dibelakang kapal . Kapal akan segera berangkat dan mesin dinyalakan. Tak disangka bunyi mesin ini lama-lama sangat memekakkan telinga dan menjadikan sekitarnya agak panas. Kapal tetap melaju meninggalkan dermaga. Saya masih belum menggubris bunyi mesin yang memekakkan itu, saya memandangi keluar kapal, melihat sekitar dermaga sebelum tertinggal jauh. Kondisi dermaga yang agak awut-awutan tidak mengurangi wisatawan yang berhasrat menikmati indahnya alam Kepulauan Seribu.

Air laut di tepi dermaga coklat kehitaman dan pekat. Kapal-kapal nelayan yang besar berjejer di tepi dermaga, para nelayan mengangkut hasil tangkapannya untuk ditimbang dan dipasarkan. Bau amis masih merajalela. Mungkin para warga nelayan ini sudah tidak merasakan bau yang menyengat ini, sudah terbiasa dan inilah salah satu bagian hidup mereka.

Kapal bergerak semakin menjauhi dermaga, setengah jam berlalu dengan alunan angin sepoi yang tak mampu menyirnakan suara mesin yang bising. Kesabaran tak dapat terbendung, suara mesin ini sangat mengganggu dan saya bersama teman nekad mau ke depan kapal melewati tubuh-tubuh yang bergelimpangan terlelap seiring hembusan angin laut yang menghipnotis. Akhirnya kami mendapatkan posisi yang nyaman diujung kapal.

Pulau seribu memang benar-benar bertebaran, kami mulai menerka pulau mana yang akan menjadi tempat kami mendarat setiap beberapa pulau mulai mendekat dan terlewati. Bagi para wisatawan tentunya agak susah untuk menerka nama-nama pulau yang sudah terlewati itu, semua tampak sama.. hahaa.. Semakin berada di lingkup Kepulauan Seribu, birunya laut semakin menampakkan diri, hal ini tentu jauh berbeda dengan wajah dermaga Muara Angke yang hitam pekat itu. Hasrat untuk menyebur semakin membuncah, tak sabar menyapa biota laut Kepulauan Seribu.

Kami tiba di dermaga Tidung disambut guide asli warga tidung. Dia mendampingi kami sampai ke penginapan dan memberikan arahan mengenai itinerary selama di Kepulauan Seribu. Tak lama kami bersiap langsung berangkat untuk menuju spot yang bagus untuk snorkeling. Kami menggunakan kapal nelayan yang kecil yang muatannya sekitar 15 orang dengan tiga orang awak kapal. Mereka asli warga Kepulauan Seribu. Perjalanan menuju pulau tempat snorkeling yang bagus memakan waktu sekitar hampir satu jam perjalanan.

Selama perjalanan, selain bersenda gurau saya mendekati para awak kapal yang tampaknya masih malu-malu bergabung bersama kami untuk saling menyapa. Saya memulai pembicaraan yang kemudiaan suasana perbincangan mulai hangat, teman yang lain akhirnya ikut menimpali percakapan kami. Sudah tidak ada pemisah antara tamu wisatawan dan pekerja awak kapal. Si bapak asyik bercerita mengenai tanah kelahirannya itu. Terlihat jelas kebanggaannya terhadap Kepulauan Seribu. Dalam ceritanya dia juga turut serta untuk tetap menjaga kelestarian alam Kepulauan Seribu. “Alam ini adalah hidup kami, jadi kami harus terus menjaga keutuhan hidup kami”, katanya.

Spot pertama sudah didepan mata, kapal berhenti dan kami bersiap memakai perlengkapan snorkeling dan byuuurr… satu persatu melompat ke laut jernih itu. Laut jernih itu mempertontonkan terumbu karang yang indah yang semakin menarik kami untuk segera menceburkan diri dan menyapa terumbu dengan segala ikan yang berenang bebas itu.

Kepulauan Seribu yang hanya beberapa kilometer jaraknya dari hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta, ternyata masih mengandung alam yang asri terutama alam bawah lautnya. Terumbu karang tumbuh subur disini, tak terusik dan bebas bermain dengan ikan-ikan kecil yang lalu lalang. Bahkan terumbu karang ini sangat dekat dengan permukaan laut sampai di beberapa titik saya terkena goresan terumbu yang mencuat tipis di permukaan laut. Sungguh alam Kepulauan Seribu masih menjadi surga lautan dengan segala isinya. Tak heran para pencinta snorkeling dan diving masih memilih Kepulauan Seribu menjadi destinasinya.

Keindahan bawah laut Kepulauan Seribu ini semakin menarik saya untuk berhasrat sampai kedasarnya dan menyapa ikan-ikan yang berenang dalam dan malu-malu. Saya mengajak teman saya untuk mencoba free diving ke kedalaman laut itu, tapi kenapa tidak bisa, kami mencoba beberapa kali tapi kami masih tetap berada di permukaan laut. Setelah percobaan beberapa kali itu baru kami menyadari kalau kami masih mengenakan jaket pelampung, hahaha.. jadi mau seribu kalipun dicoba untuk membenamkan diri hingga ke dasar takkan bisa, kami hanya tertawa terpingkal akan tingkah yang konyol itu.

Tak cukup disitu saja, kapal melaju kembali, berpindah tempat mencari spot baru untuk bersnorkeling ria kembali. Tak lupa pula jempretan foto berkali-kali bahkan mungkin sampai ratusan pose sudah terekam dalam foto. Tak pernah bosan dan sungguh bahagianya hari itu. Spot baru sudah sampai dan menyebur kembali. Indah dan berdecak kagum akan keindahan alam ciptaan tuhan ini, dan alam indah ini tidak perlu jauh-jauh dari Jakarta untuk mendapatkannya. Keindahan alam ini masih dalam pelukan DKI Jakarta.

Sehari penuh bersnorkeling ria, kulit tersengat matahari tak masalah bagi kami, yang penting happy ^^

Kembali ke Pulau Tidung, membersihkan diri, istirahat sejenak dan menikmati pesona pulau ini. Malamnya sudah disediakan ikan barbeque di tepi pantai. Diiringi desiran ombak kami menyantap menu ikan bakar ini. Nikmat dengan ikan yang masih segar. Penerangan hanya mengandalkan lampu seadanya dengan sinar sang rembulan. Siluet daun kelapa melambai tampak di kejauhan di tepi pantai. Salah satu cara menikmati pulau ya menghabiskan malam ditepi pantai dengan obrolan seru. Malam semakin larut, kami kembali ke penginapan, kami harus istirahat untuk menjaga stamina untuk kegiatan esok harinya.

Suatu senja di Kepulauan Seribu
Suatu senja di Kepulauan Seribu

Malam telah lalu, hari berganti. Karena terlalu lelap tidur, kami ketinggalan menikmati sunrise..haha.. tidak apa-apa, kami menghibur diri. Kami naik sepeda menuju jembatan cinta. Jembatan ini menghubungkan Tidung Besar dan Tidung Kecil. Kami menyusuri jembatan ini menuju Tidung kecil. Setelah puas bermain di Tidung Kecil, kami kembali dan kembali ke penginapan.

Jembatan Cinta
Jembatan Cinta

Masih ada waktu menunggu siang untuk kembali ke dermaga Muara Angke, saya dan beberapa teman tak mau waktu terbuang begitu saja. Kami ambil sepeda dan mulai menggowesnya. Mulai kami susuri setiap sisi sepanjang Pulau Tidung. Sesekali kami bersinggungan dengan para pesepeda yang lain yang juga mengelilingi pulau ini.

Ternyata selama mengelilingi pulau dengan menyusuri garis pantai yang mengelilinginya, ada beberapa spot tersembunyi yang jauh dari keramaian namun spot itu tidak kalah indahnya. Ada beberapa saung yang disediakan disitu, entah itu milik pribadi atau umum, kami berhenti sejenak dan berleha di selasar saung itu. Pandangan ke laut lepas dengan warna gradasi biru, indah dan masih mengagumi ciptaan tuhan itu.

Kami kembali ke penginapan tepat waktu. Teman-teman lain sudah siap menenteng ransel masing-masing. Guide kami sudah menjemput dan kapal juga segera berangkat. Kami ke dermaga, ucapan terima kasih kepada guide dan selamat tinggal kepada alam indah Kepulauan Seribu. Mungkin kata yang tepat bukan selamat tinggal tapi sampai berjumpa kembali. Saya ingin kembali ke sana, alam indah ini tak cukup dinikmati sekali saja. Masih butuh waktu untuk menyusuri pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu yang mungkin jauh lebih indah lagi. Saya akan kembali.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog kerjasama DKI Jakarta dengan VIVA.co.id

enjoy jakartavivalog

Categories
Lomba Travelling

Sepedaku Melaju!

Cobalah berkunjung ke Kota Tua, Jakarta…

Selain menyuguhkan bangunan Jakarta Tempo Doeloe, banyak sepeda ontel yang lalu lalang, lengkap dengan topi ala konglomerat Belanda kala itu. Menikmati senja di kota tua sambil mengayuh sepeda keliling kawasan kota tua menjadi salah satu tempat favorit para pengunjung. Ada nikmat tersendiri yang saya rasakan ketika melewatkan suatu senja saat itu di tempat ini. ^^

Sepedaku melaju!
Sepedaku melaju!

 

Foto ini diikutsertakan dalam Turnamen Foto Perjalanan Ronde 24:Sepeda

 

 

Categories
Lomba Travelling

Selalu Ada Alasan Kembali Ke Ancol

Ancol sudah berdiri sejak tahun 1966 yang ditujukan sebagai kawasan wisata terpadu oleh Pemerintah DKI Jakarta. Kawasan ini kini tak pernah sepi pengunjung dan menjadi tempat pertemuan ribuan masyarakat baik dari dalam atau luar kota Jakarta. Hal ini menjadikan Ancol salah satu icon wisata favorit di Jakarta. Kenapa tidak, banyak orang tidak hanya sekali datang tapi berulang-ulang, bahkan orang yang datang pertama kali akan langsung jatuh cinta untuk menikmati fasilitas yang disediakan.

Sungguh tak bosan, beragam arena wisata ataupun hanya sekedar bersantai dan bermain air di pantai utara Jakarta ini, masyarakat berbondong-bondong datang ke Ancol, setiap hari selalu diramaikan apalagi waktu akhir pekan datang, Ancol ramee dan padaat…

Bagi saya, selalu ada saja alasan untuk kembali ke Ancol, apakah menikmati wahana di dufan, atau berenang atau hanya sekedar olahraga di sekitar pantai Ancol bahkan pernah sampai curhat-curhatan dengan beberapa teman di dermaga Ancol, begadang sampai pagi… hahaa.. itu memang gila!

**

Pertama kali ke Ancol ketika saya masih kuliah di Bandung.

Bersama  empat orang teman saya Nina, Nisa, Mia, Indah, kami akhirnya mengatur itinerary perjalanan yang murah meriah dan tujuan utama adalah Ancol. Berangkat dari Bandung naik kereta ekonomi menuju Bekasi (rumah Indah). Setibanya di rumah Indah langsung disambut makanan enak buatan mama Indah, yummy… (mama Indah memang jagonya bikin makanan enak, cocok buka usaha makanan :D)

Malam berlalu dan pagi pun datang, semua pada cepat bangun, tidak sabar cepat-cepat sampai di Ancol dan main sepuasnya. Tadi malam mama Indah sudah pesan taksi untuk jemput dan mengantarkan kami pagi ini. Taksi sudah menunggu di pintu gerbang dan kita pun bergegas. Berhubung kami berlima dan berenam dengan si Mbak taksi (drivernya cewe juga J ) dan boleh dibilang badan kami ga ramping-ramping amat, jadi terpaksa kita harus pintar mengatur posisi duduk supaya semua dapat ditampung taksi. Dan terpilihlah Indah duduk di depan disebelah Mbak taksi. (posisi duduk di depan berdasarkan ukuran tubuh hihih 😛 )

Taksi melaju, kami tak bisa diam barang sejenak di dalam taksi, obrolan sudah sampai kesana kesini, tertawa pun tak bisa dikontrol, mbak taksi hanya bisa pasrah mendapat penumpang seperti kami haha.. Mulai masuk daerah Jakarta, eh iya saat itu lagi musim hujan dan Jakarta lagi disibukkan dengan banjir dimana-mana. Dari atas fly over yang kami lewati, kami bisa menyaksikan mobil-mobil yang berjuang melewati daerah banjir. Saat itu kami hanya bisa berharap mudah-mudahan Ancolnya ga ikutan banjir dan cuaca ga hujan.

Kurang lebih satu jam kami tiba di loket masuk Ancol, beli tiket dan langsung ke dufan.. Kami memang sangat beruntung saat itu, cuaca cerah, dapat tiket diskon karena menggunakan debit BNI pada saat itu, weekdays sehingga bayangan ngantri sana sini jauh-jauh dari kami. Ini baru liburaaan yihaa…

Karena dekat gerbang masuk maka wahana yang pertama kami coba adalah cora-cora… padahal kata orang-orang seharusnya cora-cora belakangan saja karena walaupun kelihatan gampang dan ‘cuma gitu doang’ tapi kalau sudah dinaiki pas turun kaki lemes dan gemetar.

Ketika kami naik dan memilih duduk dipaling pojok which is terbangnya akan lebih tinggi dibandingkan duduk di tengah kapalnya, kapal mudah bergerak dan mengayun, uuuugghh…  dan bener saja, jantung rasanya seperti sudah berhenti berdetak dan ngap-ngapan bernafas susah, pegangan erat-erat dan teriaakk.. waaaaaaaaa….

Awalnya saya kapok menaiki wahana yang lain, dalam pikiran saya, ini gilaa, bukan refreshing malah nambah penyakit. Satu lagi yang bikin saya trauma, wahana tornado. Uhugh.. mata saya pejamkan dan pegang erat-erat alat yang mengapit tubuh saya,sungguh ini akan membuat saya mati lemas, sampai mual saya turun dari wahana tornado. Tapi teman saya ketagihan, berhubung tidak ada antrian, jadi sesuka hati naik mau berapa kali, kali ini keempat teman saya menarik tangan saya sampai menyeret saya untuk naik tornado sekali lagi, ampun deh.. perlawanan sempat saya lancarkan, tapi apa daya mereka berempat menarik saya, dan saya pun tak kuasa #halah.. hahaa

Tornado
Tornado

Ceritanya sekalian difoto bareng nanti waktu naik tornadonya, memang disini juga ada jasa untuk memfoto ketika kita naik tornado, yeah.. hitung-hitung sebagai kenang-kenangan dari dufan hahaa..

Akhirnya saya mengalah dan ngikut teman naik tornado sekali lagi, sambil menarik nafas, sebelum tornadonya bergerak dan mengangkat kita, Indah sempat bilang kalau naik wahana pasrahkan tubuh kita ke alatnya, aman kok, jangan tegang dan jangan tutup mata. Ok ok, saya akan coba, saya berkata dalam hati…

Badan mulai terangkat makin tinggi dan tinggi lagi, petugasnya mulai memainkan sesuka hati, memutar-mutar, memiringkan, diputar-putar lagi.. Saya mulai rileks dan tidak terlalu berpegangan pada alat, mata saya buka, mulai melihat ketinggian dan badan saya diputar-putar, saya sungguh pasrah ke alatnya dan percaya saya aman didalamnya.

Dan ajaib, tak ada mual, tak ada kaki yang bergetar, tak ada ketakutan yang luar biasa, yang ada hanya teriakan bahagia, baru ini saya menikmati wahana ini, bukan lagi teriakan ketakutan tapi teriakan seru-seruan, dan teman-teman sampai tak percaya ketika petugasnya bertanya  “lagi? Lagi?” Dan saya berseru “lagiiiii…”

Mia sempat meyakinkan saya, “Serius Rik, mau lagi?” saya mengangguk.. jreng jrengg… akhirnya kami serempak bilang “lagiiiii…” percaya tak percaya, akhirnya kami menaiki tornado tujuh kali putaran.. hahahaa… ketika turun, malah asyik dan ringan rasanya, ploong banget setelah beberapa lama teriak-teriak.. hihihihi…

Kincir Angin
Kincir Angin

Sebisa mungkin semua wahana kami naiki, tapi nyali saya masih tidak terlalu kuat untuk menaiki kincir angin, hahaha… jujur, ntah kenapa saya langsung ciut melihat orang-orang yang lagi diputar-putar diatas sana. Pengalaman pertama yang sangat berkesan. 😀

**

Ketika Ibu saya ke Jakarta, saya juga mengajak beliau ke dufan, tapi setelah menaiki cora-cora beliau menyerah karena ketakutan, hihihi… Akhirnya, beliau hanya mau menaiki wahana yang tidak bikin jantung berhenti berdetak seperti arum jeram.  sayangnya kami kesana ketika weekend dan dufan ramai bukan main, sampai waktu habis di antrian ke satu wahana, alhasil hanya sedikit wahana yang bisa kami nikmati. Beliau takjub dan katanya “kok bisa ya pada berani naik wahana-wahana ekstrim ini, sangat menguji nyali”.

With Mom :D
With Mom 😀

Selain dufan, banyak tempat rekreasi yang disediakan Ancol, seperti berenang seru di Atlantis sambil menikmati kolam ombak, kolam apung dan kolam jeram. Ada Ocean dream samudra dengan underwater show nya dan banyak lagi yang menarik dan seru.

**

Selain bermain di dufan, selalu saja ada alasan untuk ke Ancol. Pernah, suatu waktu hanya sekedar lari pagi, saya bersama teman-teman bela-belain ke Ancol dan lari santai disekitar pantai Ancol, ternyata rame juga orang bersantai dan berolahraga disini. Suasana memang menyenangkan dengan hembusan angin pantai yang melegakan.

Ancol memang selalu ramai tak kenal waktu, sampai ketika kami memutuskan singgah sebentar di Ancol setelah mengikuti kegiatan di suatu tempat (padahal tempatnya jauh dari Ancol tapi diusahakan singgah 😀 ) dan waktu sudah menunjukkan sekitar pukul sebelas malam. Dan ternyata oh ternyata, bukannya sepi tapi malah ramai banget keluarga-keluarga yang bersantai ria sambil menggelar tikar di tepi pantai, lengkap dengan perlengkapan makanannya serasa piknik di tengah malam.. hahaha..

Dan lagi, banyak anak-anak yang berenang di pantai Ancol, oh My, ini sudah pukul sebelas malam tapi suasananya kok seperti lagi sore hari, hahaha… saya tak habis pikir melihat pemandangan ini.. Katanya siy, biasanya mereka bersantai ria sampai agak tengah malam sampai tertidur ditepi pantai diterangi cahaya sang rembulan malam. Suasananya romantis yag, hahaa..

Dan hal gila juga pernah saya lakoni dengan beberapa teman, begadang di dermaga Ancol sambil curhat dari hati ke hati, tak terbayangkan hembusan angin pantai sampai menusuk tulang dan kami tak bergeming, sempat di tengah malam nan syahdu itu hujan rintik-rintik turut meramaikan, bukannya pulang kami malah mencari tempat untuk berteduh dan melanjutkan curhatan dari hati ke hati. Kami baru menyadari sudah satu malam kami duduk membentuk lingkaran kecil di tepi pantai itu ketika surya pagi mulai menampakkan sinarnya.. Jam enam pagi, mata mulai tak karuan dan beranjak pulang.

Ancol memang sangat cocok untuk melepaskan penat, berlibur bersama teman-teman, bersama kekasih dan bersama keluarga. Saya yakin kamu ingin merasakan pengalaman seru dan menarik bersama Ancol. Selamat berlibur!

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog dengan tema “Pengalaman Seru dan Menarik bersama Ancol” yang diselenggarakan oleh Kompasiana dan Ancol.

Categories
Travelling

Taman Alam Lumbini : Replika Pagoda Shwedagon Di Tanah Karo

Ketika saya kembali ke kampong halaman, perjalanan dari Medan ke rumah melewati daerah Berastagi. Setelah masuk ke kawasan Kabupaten Karo, jauh disana tampak seperti menara yang tinggi menjulang berwarna keemasan. Saya penasaran, karna tampak dari kejauhan bangunan itu sangat megah dan seingat saya sebelumnya bangunan itu belum ada.

Setelah bertanya ke adik, ternyata bangunan itu Taman Alam Lumbini. Mulai dikelola dan dibuka untuk umum sejak tahun 2010. Pantas saja, selama saya tinggal di Medan, saya belum pernah melihat bangunan tersebut.

Di area Taman Alam Lumbini ini terdapat pagoda indah nan megah yang merupakan replika pagoda shwedagon yang di Myanmar. Pagoda ini dibangun sebagai tempat sembahyang bagi umat Buddha. Namun tidak hanya umat Buddha yang berkunjung ke taman ini, semua orang dari kalangan juga bebas masuk ke kawasan taman dengan syarat harus mengisi buku tamu, melepas alas kaki dan tidak boleh makan dan minum di sekitar area taman. Syarat ini sangat wajar mengingat kawasan ini memang tempat untuk beribadah sehingga para pengunjung sudah sepantasnya menghormati peraturan yang ada.

Replika Pagoda
Replika Pagoda

Replika pagoda yang tertinggi di Indonesia ini, sering sekali dipadati para pengunjung terutama di hari libur. Ketika saya kesana, kebetulan sekali ada persiapan untuk melakukan ibadah atau acara (saya lupa acara apa) sehingga pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke dalam pagoda. Para pengunjung hanya bisa menikmati keindahan arsitektur pagoda dari luar dan mengelilingi seputar Taman Alam Lumbini.

Ada sedikit rasa kecewa karena tidak bisa berkeliling sampai ke dalam pagoda, tapi bagaimana pun kita harus menghormati peraturan yang ada, dan kami pun berkeliling sambil berfoto di spot-spot yang menarik untuk mengabadikan momen itu.

Taman Alam Lumbini
Taman Alam Lumbini

Hujan rintik mulai semakin deras, namun pengunjung masih enggan pulang dan meninggalkan kawasan taman, sebagian besar masih berkeliling menggunakan paying, sebagian lagi berteduh di saung yang ada. Sampai hujan pun mengguyur kota Berastagi, Pagoda masih belum sepi pengunjung.

Kemunculan Taman Alam Lumbini menjadi salah satu objek wisata religi yang dimiliki kota Berastagi disamping suguhan alam pegunungan yang sejuk.

Categories
Travelling

Museum Bank Indonesia

Sebenarnya tujuan awalnya bukan ke museum Bank Indonesia, namun setelah melewati gedung museum kami tertarik untuk masuk dan memutar arah masuk gedung. Museum ini terletak di Kota Tua, Jakarta Pusat. Masuk ke museum ternyata gratis dan ketika kami mulai memasuki lobi, ternyata bersamaan dengan kami masuk juga serombongan siswa yang masih imut-imut berbaris memasuki setiap ruangan.

Kami mulai menyusuri setiap ruang yang ada di gedung museum. Kami juga harus mengalah dan mendahulukan sederetan anak TK yang juga berkunjung ke museum ini, mereka berjalan beriringan membentuk seperti ular yang panjang, lucu sekali mereka…

Di dalam museum, ada juga pemutaran video sejarah keuangan Indonesia yang dapat kita nikmati, yeaah, seperti layaknya menonton bioskop saja.

Gedung Bank Indonesia ini ternyata luas sekali dan terawat dengan baik, sehingga kami merasa nyaman selama berada di dalam. Selain itu, ada permainan lampu di setiap ruangan sehingga tampilan setiap ruangan selalu menarik dan tak lepas dari berbagai ilmu mengenai sejarah keuangan, bank dan mata uang.  Koleksi yang ada di museum juga sangat banyak dan lengkap.

Berkunjung ke museum di akhir pekan dengan membawa buah hati memang pilihan yang sangat bagus dan bermanfaat, dimana kita dapat mengenal sejarah dan juga menambah ilmu dan aktualisasi diri.

Ayoo ke museum !!

change your money with this! hahahaa... --> bisa berfoto begini di salah satu sudut di Museum Indonesia, :D
change your money with this! hahahaa…
–> bisa berfoto begini di salah satu sudut di Museum Indonesia, 😀
Categories
Travelling

Berlibur ke Jakarta

Seorang teman menelpon saya, dia hendak ke Jakarta dan saya kudu wajib menemani dia berkeliling Jakarta dan mengunjungi tempat liburan yang ada di Jakarta.

Otak seakan buntu sejenak, karena Jakarta yang saya pikir selama ini bukan tempat yang cocok untuk liburan, bahkan penghuni Jakarta sendiri bila ada waktu libur barang sebentar seperti weekend setiap akhir pekan akan segera meluncur ke kota terdekat dari Jakarta seperti Bandung, Bogor dan Puncak.

Maka tidak heran setiap Jumat sore sepulang jam kerja, jalanan akan lebih macet lagi dari hari biasanya. Nah, kalau sudah begitu saya ingin menghilang dari kota Jakarta dan sangat menghindari jam-jam tersebut untuk bepergian karena kota hampir mengalami kelumpuhan alias macet total setiap weekend.

Hal ini sudah menjadi sesuatu hal yang biasa bagi warga Jakarta dan pasrah akan situasi tersebut tanpa sadar kita berada di dalam bus, mobil atau motor di tengah jalan yang macet total (masih mending kalau jalannya padat merayap jadi masih ada pergerakan) tanpa ada pergerakan sama sekali dalam sekian waktu dan sebagian umur kita dihabiskan tanpa pergerakan itu. Kalau ditotal dari estimasi umur kita dan berapa lama kita habiskan di jalanan yang stagnan tanpa pergerakan itu sampai para pengguna jalanan Jakarta di situasi itu sering kali menyebutkan istilah ‘tua dijalan’.

*kembali ke cerita liburan*

Saya mulai mengingat-ingat ke tempat apa yang pantas si kawan diajak berlibur dan menikmati Jakarta tanpa adanya kesan Jakarta tempat yang penat dan sumpek. Mengajak dia ke mall yang begitu banyak di Jakarta menurut saya bukan tidak mungkin tapi merupakan pilihan yang kurang tepat menurut saya karena mall dimana saja hampir sama, auranya juga pasti aura belanja dimana pasti akan merogoh kocek dalam-dalam apalagi barang-barang yang di mall bukan barang murah.

Setelah berfikir keras, ide mulai muncul satu per satu, ahaaa…

Awalnya saya agak susah memikirkan tempat-tempat itu, karena setelah agak lama bermukim di Jakarta saya merasa tempat-tempat itu menjadi tempat yang biasa dan terlupa begitu saya, benak saya bahkan hanya berfikir kalau liburan ya keluar dari kota Jakarta.

Jakarta in the night
Jakarta in the night

Ternyata tanpa disadari atau tidak, kota Jakarta dengan gedung-gedungnya yang tinggi menjulang, jalanan yang penuh dengan deretan mobil, bus dan motor, di satu sisi juga menyuguhkan tempat-tempat menghilangkan penat di sudut-sudut kotanya.

Kebun Binatang Ragunan

Salah satunya adalah kebun binatang Ragunan. Kebun binatang ini berada di daerah Ragunan dan sudah dekat juga ke Depok. Di tempat yang luas ini, akan disuguhkan suasana yang berbeda dan jauh dari kepenatan dan panasnya kota. Banyak pohon yang tumbuh di sekitar kebun binatang dan ditata rapi. Banyak spesies binatang yang dirawat di kebun binatang ini dari jenis burung, ular, monyet, harimau, buaya sampai ke spesies yang tidak sering terlihat dan tidak biasa kita lihat.

Kebun binatang Ragunan sangat cocok untuk liburan keluarga, karena lokasinya yang sangat luas dengan pepohonan yang rimbun maka bisa sekalian piknik, keluarga bisa membawa bekal dan tikar, sambil menunggu anak-anak bermain dan belajar mengenal banyak jenis binatang, para orang tua bisa sambil duduk sambil bercengkrama satu sama lain.

Tiket masuknya juga sangat murah sekali dan terjangkau bagi semua kalangan masyarakat, hanya di bandrol  5ribu rupiah per orang dewasa dan 3ribu rupiah untuk anak-anak.

Setiap weekend, kebun binatang ini sangat ramai dikunjungi warga baik dari dalam atau luar kota dan menggelar tikar di sekitar pepohonan rindang itu. Hal itu sangat wajar menurut saya karena merupakan pilihan wisata yang murah dan mengasyikkan.

Ancol

Pantai Ancol, berada di utara kota Jakarta. Salah satu pilihan yang bagus bagi banyak orang. Lokasinya mudah dijangkau dan ada transjakarta atau busway (yang lebih familiar orang menyebutnya) yang bisa mengantar sampai ke loket masuk Ancol.

Memang transjakarta sudah disediakan di sekitar tempat-tempat wisata tersebut karena sudah pasti akan banyak orang yang akan berkunjung ke tempat tersebut sehingga kehadiran transjakarta ini sangat memudahkan para pengunjung untuk menjangkau tempat-tempat tersebut.

Dengan membayar tiket 15ribu per orang, kita sudah dapat menikmati dan berkeliling sepanjang pantai Ancol. Namun bila kita ingin menikmati fasilitas dan wahana-wahana yang disediakan manajemen Ancol seperti dufan, seaworld, gondola maka kita harus merogoh kocek lagi sekitar 100 ribuan. Walau begitu, banyak sekali orang yang rela akan hal itu demi menikmati fasilitas tersebut dan itu worth it.

Seperti dufan misalnya, kita harus merelakan uang keluar diatas 100ribu rupiah untuk menikmati segala wahana yang sensasional itu. Setelah membayar sekitar 100ribu atau bahkan 200ribuan (saya kurang tau pastinya berapa sekarang) maka di pintu masuk tangan kita akan di stempel cap dufan pertanda kita sudah membayar dan berhak menikmati segala wahana di dufan. Semakin berjalan ke area dufan, teriakan sana sini akan terdengar, bukan teriakan apa-apa tapi teriakan ekspresi bahagia menghilangkan penat, ekspresi menghilangkan ketakutan dan menantang diri sendiri untuk menaiki setiap wahana di dufan yang setiap wahana nya memiliki sensasi tersendiri dan tidak jauh-jauh dari ketinggian dan memacu adrenalin.

Monas

Monas atau Monumen Nasional, berada di jantung ibukota, dekat dengan stasiun gambir dan transportasi sangat mudah untuk mencapainya. Monas juga merupakan lambang kota Jakarta, jadi bagi pengunjung Jakarta belum sampai Jakarta rasanya bila belum sampai di Monas, hehehe..

Monas with the lanscape
Monas with the lanscape

Untuk masuk ke Monas kita harus membeli tiket terlebih dahulu, apa yang bisa kita dilakukan di Monas?? Di dalam tubuh Monas terdapat museum sejarah Indonesia, kita bisa flashback ke masa lalu dan merasakan aura perjuangan di dalamnya. Selain itu kita juga bisa naik ke puncak Monas menggunakan lift, dari atas puncak kita bisa menikmati luasnya kota Jakarta dengan tatanan kotanya yang luar biasa, namun untuk naik ke puncak Monas hanya terbuka sampai pkl. 13.00, jadi bagi kamu yang ingin naik ke puncak tibalah di Monas sebelum pkl. 13.00.

Kota Tua

Kota tua berada di daerah Kota, Jakarta Pusat. Kenapa disebut Kota tua karena tempat ini memang sudah tua dan kota peradaban masa lampau. Hal ini terlihat dari bangunan peninggalan sejarah yang masih asli dan tuaaa sekali.

Daerah Kota memang mempunyai suasana yang berbeda dengan sudut kota Jakarta yang lain. Di balik gedung-gedung mewah nan megah itu, masih tersimpan bangunan kuno yang masih dipertahankan oleh masyarakat dan pemerintah. Sebelum tiba di komplek Kota tua yang dijadikan objek wisata itu, sepanjang perjalanan juga memang berderet bangunan pertokoan dan rumah yang sangat padat dan dengan arsitektur yang kuno menandakan memang bagunan di sekitar itu sudah sangat lama bahkan sebagian sudah tak berpenghuni dan dibiarkan rusak begitu saja.

Dari kepadatan bangunan yang ada, kita bisa membayangkan bagaimana kota ini tempo dulu menjadi pusat atau jantungnya ibukota, segala aktivitas masa lampau seakan tersirat dari berderetnya bangunan seperti pertokoan tanpa celah sedikitpun.

Tiba di Kota tua, jreeng..

Ternyata Kota tua saat ini tidak sebagus dulu, tidak ada keindahan semburan masa lampau yang ditunjukkan, bangunannya sudah tidak terawat dengan baik. Yang ada di depan bangunan yang sudah tidak jelas bentuknya itu sudah sangat banyak para pedagang yang menjajakan dagangannya sampai tukang ramal saja buka lapak di daerah itu.

Beberapa tahun yang lalu, masih banyak orang yang membuat foto prawedding nya atau bahkan para fotografer hobby mengambil spot di Kota tua, karena banyak spot yang bagus untuk lebih di ekslpor oleh para fotografer. Namun, walaupun begitu pengunjung Kota tua bejibun dan tak terhitung karena ramee sekali..

Many people visit Kota Tua
Many people visit Kota Tua

Untuk kuliner khas Jakarta, ada pedagang kerak telor di seputaran Kota tua, kita bisa menikmatinya dengan membayar 10-15 ribu rupiah. Selain itu, masih ada juga jasa foto dengan mobil antik yang diparkir di depan bangunan kuno itu.

Lebih dalam berjalan di Kota tua, ada lapangan luas dengan bertebaran manusia yang berkunjung ke tempat itu. Ada deretan sepeda yang parkir dan disewakan, selain sepeda modern ada juga sepeda ontel lengkap dengan topinya, sehingga penelusuran sejarah kita semakin lengkap.

Suatu sudut museum Bank Indonesia
Suatu sudut museum Bank Indonesia

Disekitar Kota tua, banyak terdapat museum yang bisa kita kunjungi seperti museum Bank Indonesia, museum Bank Mandiri, museum Fatahillah, museum Wayang dan lainnya.

Dari berbagai suguhan kota Jakarta, jadi Jakarta juga bisa jadi pilihan wisata kita ^^