Akhir pekan yang ditunggu datang juga. Berhubung kantong lagi tipis tapi ingin jalan-jalan, saya akhirnya memilih liburan ke pulau untuk menghabiskan akhir pekan. Tidak perlu jauh-jauh dari Jakarta, Pulau Cipir menjadi pilihan bagus untuk menyejukkan mata dan pikiran setelah sepekan bekerja.
Pulau Cipir merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Pulau ini sangat dekat dengan Jakarta bersama dengan Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Biasanya, para penyedia paket perjalanan menyatukan ketiga pulau ini menjadi satu trip. Karena jaraknya berdekatan, maka pulau-pulau ini dapat di eksplore dalam waktu satu hari.
Ketiga pulau ini memang mengandung peninggalan sejarah masa kolonial Belanda. Reruntuhan bagunan di sekitar ketiga pulau ini menjadi saksi bisu akan aktivitas yang dilakukan di masa lalu. Jejak sejarah itu kini dikembangkan pemerintah setempat menjadi wisata sejarah dan dipelihara dengan baik.
Perjalanan ke Pulau Cipir hanya menghabiskan waktu kurang lebih satu jam dari Muara Kamal. Pulau ini memang masih sangat dekat dengan Jakarta, bahkan bangunan-bangunan pencakar langit yang berdiri kokoh di Jakarta masih jelas terlihat dari pulau ini. Namanya juga kantong lagi tipis, jadi perjalanan ini sudah pasti ala backpacker.
Untuk menuju Muara Kamal, saya naik transjakarta dan berhenti di halte Rawa Buaya. Di seberang jalan Rawa Buaya sudah berjejer mobil pribadi Carry yang disulap menjadi mobil angkutan umum. Sepertinya bapak supirnya sudah tahu tampang-tampang orang yang akan menyeberang ke pulau. Ketika saya mendekat dia langsung memangil-manggil saya.
Selain menggunakan transportasi umum, kita juga bisa menggunakan sepeda motor sampai Muara Kamal. Di Muara Kamal biasanya ada tempat untuk penitipan sepeda motor, dan tentu saja aman. Parkir motor biasanya tujuh ribu rupiah.
Dari Rawa Buaya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai dermaga Muara Kamal. Di daerah ini memang sudah biasa menjadikan mobil pribadi berubah fungsi menjadi angkutan umum. Cukup membayar enam ribu rupiah saya diantar sampai di pasar Muara Kamal.
Bau amis dari ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan sudah tercium. Makin berjalan ke dalam pasar, bau amis semakin kuat. Pasar ini mulai buka dari dini hari sekitar jam 1 sampai jam 8 pagi. Ikannya masih segar-segar karena baru ditanggap oleh nelayan. Jalanan yang becek dan bau amis yang menyengat menghiasi suasana pasar ini. Ikan-ikan segar menumpuk disana sini, tapi itu hanya sesaat, para pembeli dengan sekejap memborong ikan ini dan dijual kembali di pasar-pasar lainnya.
Untuk menyeberang ke pulau Cipir, cukup menggunakan perahu nelayan yang banyak bersender di dermaga. Penumpang umum biasanya dikenakan ongkos sebesar 30 ribu rupiah, kita bisa diantar dan dijemput dari pulau. Pagi itu, suasana di dermaga tidak begitu ramai, yah.. setidaknya tidak seramai dermaga Muara Angke yang menjadi salah satu pintu gerbang menuju Kepulauan Seribu.
Pulau Cipir menyambut dengan ramah. Walaupun sedikit mendung, pulau ini tetap mengeluarkan aura sejarah yang kental. Terdapat plang besar bertuliskan “Taman Arkeologi Onrust Pulau Cipir” di bibir dermaga. Satu per satu saya baca plang yang ditancapkan di setiap reruntuhan bangunan. Secara keseluruhan saya langsung membayangkan kesibukan yang terjadi di pulau ini di sekitar abad 19. Sebagian besar reruntuhan bangunan di Pulau Cipir adalah situs reruntuhan rumah sakit karantina haji yang berdiri tahun 1911 pada jaman kedudukan Belanda.
Hampir seluruh permukaan pulau dipenuhi bangunan rumah sakit untuk karantina haji, jadi bisa saya bayangkan begitu banyaknya para calon haji yang dikarantina di tempat ini. Pepohonan rimbun memberikan kesejukan di tengah pulau. Pemerintah juga mendirikan beberapa saung tempat untuk bersantai dan menikmati desau angin laut.
Memancing menjadi salah satu kegiatan seru di Pulau Cipir. Dari dermaga tampak bapak-bapak asyik melemparkan kailnya dan berharap ikan segera menyambar. Terik matahari tak mereka rasakan ketika lahut dalam kegiatan memancing.
Di satu sudut pulau, saya melihat semacam jembatan terputus yang mengarah ke pulau seberang. Saya pikir jembatan ini merupakan penghubung Pulau Cipir dan Pulau Onrust di seberang sana. Jaraknya tidak terlalu jauh dan Pulau Onrust terlihat dengan jelas. Jembatan ini dibuat untuk mengevakuasi para jemaah haji dari Pulau Onrust ke Pulau Cipir yang terkena penyakit menular.
Pulau ini menjadi satu kesatuan yang utuh. Di Pulau Onrust kita bisa menemukan situs-situs reruntuhan bangunan barak karantina haji pada tahun yang sama dengan Pulau Cipir. Pulau ini lebih besar dari Pulau Cipir. Konon, barak karantina haji di Pulau Onrust dapat menampung 100 orang jemaah haji.
Pulau-pulau ini merupakan pulau yang tak berpenghuni. Tapi tenang saja, di Pulau Onrust sudah terdapat warung untuk sekedar jajan atau meneguk air untuk pelega dahaga.
Saya memang tidak sempat ke Pulau Kelor, tapi dari Pulau Onrust saya bisa melihat benteng Mortello di Pulau Kelor dari kejauhan. Kemegahan dan kekokohannya memang mengagumkan. Terlihat beberapa kali speedboat menyambangi pulau itu. Jelas terlihat pulau itu kini semakin populer setelah beberapa kali menjadi sorotan kamera media massa.
Perjalanan ini memang singkat, namun bagai menyusuri lorong waktu memasuki masa-masa pendudukan VOC di Indonesia dan merasakan sendiri cerita historis kental yang terkandung dalam pulau ini. Perjalanan menjadi tidak biasa dikala perjalanan dimaknai dengan pengalaman-pengalaman yang luar biasa.