Categories
Travelling

Carita Berderu

Ini lanjutan cerita saya dari yang sebelumnya disini

Hari yang ditunggu tiba, semua persiapan matang. Yang salah, ternyata Rano lupa mengkonfirmasi kepada ibu warung untuk menyediakan nasi untuk sarapan dan makan siang. Kami sepakat berangkat tengah malam. Ini bukan tak disengaja, kenapa? Tentu masih berkaitan dengan istilah ekonomis, hehe.. kami tak rela mengeluarkan kocek lebih dalam demi penginapan yang ditempati hanya beberapa saat saja. Jadi kami putuskan tidak menginap dengan cara menargetkan tiba di tujuan pagi hari. Maka kami sudah pesankan ke driver bus untuk menjemput kami pukul 12 malam.

Rano panik, ibu warung tak bisa dihubungi, panggilan telpon yang dilakukan berulang kali tidak diangkat, bahkan SMS yang dilayangkan Rano juga tidak mendapat balasan. Tidak mau mengambil resiko untuk iseng-iseng berhadiah mudah-mudahan si Ibu memasakkan kami sarapan, segera keputusan untuk memasak sendiri nasi kami lakukan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Teman-teman semakin rame berkumpul. Yeah.. saya belum bilang ya, kami berangkat sekitar 60 orang kali ini. Suatu keputusan nekad pula memasak sendiri bekal untuk nyawa 60 orang. Karena belum ada kepastian dari ibu warung, terpaksa Rano dan beberapa teman beli beras dan mulai masak. Sambil menunggu teman semua komplit, nasi menunggu matang. Suara semakin riuh seiring bertambahnya manusia yang berkumpul. Ibu warung itu membalas SMS Rano hampir ketika tengah malam, sudah tentu agak telat karena nasi sudah bertegger di kompor, akhirnya kami hanya memesan nasi untuk makan siang besok kepada si Ibu.

Kami berangkat pukul setengah dua dini hari, meleset dari perkiraan. Bus melaju menembus gelapnya malam. Tentu perjalanan mulus tanpa ada macet sedikitpun. Ini tengah malam. Jalanan sepi. Mata saya semakin tertahan dan meredup dan seketika terlelap. Saya sama sekali tak merasakan situasi malam yang kami lewati sampai saya tersentak mendengar teriakan histeris teman-teman. Mata saya terbuka mendadak, saya melihat teman-teman melihat keluar lewat jendela bus. Apa yang mereka lihat, semua gelap, mata saya tak bisa menembus gelapnya malam dibalik jendela bus itu, saya juga tak terlalu tertarik untuk melirik lebih dekat. Ah, paling pekikan teman-teman yang ga sabar untuk sampai di pantai, pikirku. Mata saya yang mulai redup kembali tersentak ketika pekikan itu terdengar histeris dengan kata BANJIIR…

Saya melompat mendekati jendela bus, kuusap-usap jendela yang berkabut. Ternyata hujan yang mengguyur Banten menyebabkan banjir dimana-mana. Sangat memperihatinkan. Banjir meluap sampai setengah badan bus, kasian rumah-rumah yang mengambang di pinggir jalan. Jalanan sudah tak terbedakan dengan selokan. Bus bergerak pelan beriringan dengan mobil di depan dan di belakang kami. Hujan deras masih enggan berhenti, saya sedikit khawatir acara hari ini akan hancur berantakan terguyur hujan.

Ini memang diluar dugaan, cuaca hari ini memang sangat berbeda dengan minggu lalu ketika kami melakukan survey ke daerah ini, semua tampak cerah, warna langit yang biru memantulkan warna nya dilaut lepas dan melukiskan warna cerah bersih. Dan kini, semua berbeda. Huh, saya kembali terlelap, banjir itu sekitar pukul tiga dini hari.

Setelah perjalanan lamban terjebak banjir, akhirnya hujan deras berhenti ketika hari menjelang pagi, ini tentu pertanda baik. Acara yang kami susun dengan apik menuju sinyal akan terlaksana dengan baik. Saya merasakan bus membelok ke kanan dan tak lama berhenti di tempat parkiran. Pukul 04.45 kami tiba di Pantai Pasir Putih Carita. Sepi, bahkan petugas di posko tiket masuk juga tak ada. Kami main masuk saja dan mengambil posisi paling cocok untuk parkir. Sebagian turun dari bus, meregangkan tubuh yang sedari tadi kaku terduduk di bangku bus.

Diluar masih gelap gulita. Saya enggan keluar, mata saya masih tertarik dan nikmatnya tidur masih terasa. Saya biarkan tubuh saya terkulai di dudukan bus, hiruk pikuk teman-teman saya hiraukan saja, waktu untuk tidur masih berlangsung. Pukul 06.00 saya terbangun, mengucek mata dan menyegarkan badan. Saya segera turun dari bus, melihat ke sekeliling, masih sepi juga. Saat itu pandangan sudah jelas terlihat. Suara deru ombak juga jelas terdengar, tampaknya ombak laut saat ini lagi tinggi, saya bisa prediksikan berdasarkan suara ombak yang menerjang pantai dengan kasar. Mungkin memang pengaruh hujan deras tadi malam.

Tak lama, lelaki setengah baya menghampiri kami.

“Neng, bayar uang parkir..,” katanya sambil menunjukkan tiket masuk untuk bus seharga 600ribu Rupiah.. “WHAATT! “ saya tersentak membelalak melihat angka di lembaran yang masih digenggamnya. Naluri tawar menawar saya mulai bergerak. “ Pak, ini kan bulan puasa, saya yakin tidak akan rame orang yang liburan, apalagi ke pantai,” celetuk saya. Oh tuhan, agak susah tawar menawar dengan si Bapak. Kami hanya berhasil menawarnya menjadi 500ribu Rupiah. Padahal jurus jitu sudah saya keluarkan, ah lumayan deh. Bener saja sampai siang pantai yang seminggu lalu terekam lautan manusia, kini hanya kami dan beberapa pengunjung di sekitar pantai yang mempunyai garis pantai yang panjang dan landai ini.

Kami menggelar tikar tepat di bawah pohon di tepi pantai, ini spot terbaik. Tempat ini memang menjadi pilihan jitu dengan waktu yang jitu bagi kami yang ingin menyepi. Disini hanya kami yang meramaikan tempat ini, yeah memang terlihat beberapa keluarga kecil bermain air di pojok sebelah sana, namun suara kami mengalahkan ocehan anak kecil itu bahkan deburan ombak terlahap oleh teriakan kami yang sedang beradu. Hah, beradu?

Yups.. tim acara tidak mati gaya untuk membuat acara-acara yang bikin urat-urat leher hampir keluar saling meneriakkan kelompok masing-masing. Tim acara membentuk beberapa kelompok dan membuat permainan-permainan seru. Salah satunya, pertandingan sepak bola pantai antara perempuan tapi semuanya kudu pake sarung diikatkan di dada. Ini permainan seru, apalagi gaya permainan cewek-cewek bermain bola, kemana bola menggelinding, seluruh peserta berlari merebut bola rame-rame. Gelak tawa pecah dan teriakan beradu tatkala bola sampai dikuasai pihak lawan. Permainan bola para laki-laki tampaknya lebih ahli. Gerak geriknya lebih luwes ketimbang cewek-cewek yang sambil menendang bola sembari teriak histeris. Mereka memang sudah terbiasa main futsal.

Main bola pake sarung
Main bola pake sarung

Acara bebas tentu ada juga. Pihak pengelola menyediakan wahana banana boat bagi yang berminat menerima tantangan yang memacu adrenalin. Banana boat itu ditarik oleh speedboat  sampai ke pulau kecil di suatu sudut yang terlihat dari pantai ini dan sebelum tiba di daratan itu, banana boat itu akan digulingkan dan penumpang akan terjungkal ke air dan siap-siap berenang. Tapi tenang saja, tidak akan tenggelam bagi yang tidak bisa berenang karena pelampung siap menyelamatkan nyawa dengan mengapungkan tubuh kita.

Tapi saat itu saya kurang tertarik dengan wahana itu. Ombak yang berderu sejak pagi tadi lebih kuat menarik saya dan bermain bersamanya. Pantai saat ini memang kurang baik, agak keruh. Hujan yang baru berhenti subuh tadi sangat perperan penting dalam mengeruhkan pantai ini. sudah ombaknya tinggi dengan angin yang tidak bisa dibilang sepoi, airnya juga terlihat keruh. Langit memang sedang tidak secerah minggu lalu, tapi saya masih bisa bersyukur, hari ini hujan tidak kembali datang. Pantai yang agak keruh karena angin yang mengayun ombak menghempas pantai tidak menyurutkan kami bermain-main diayun ombak.

Ombak kencang itu tidak menggetarkan ketakutan kami, malah kami lebih menikmati ombak yang datang dengan tinggi nya. Kami dengan papan selancar ditubuh menanti ombak tinggi untuk menghempaskan tubuh kami ke tepi pantai. Berulang dan kami tergelak. Pasirnya bersih, pandangan luas, seluas mata memandang, bahkan tak terbentur oleh tubuh manusia. Ini memang pilihan yang tepat dan waktu yang tepat.

Saat bulan puasa, Sepi !!
Saat bulan puasa, Sepi !!

Dimana pun, bila bermain di air pasti bawaannya lapar. Begitupun kami, makan siang seadanya dilahap tanpa celetukan dari setiap mulut yang kelaparan. Makan siang ini terasa nikmat diiringi deburan ombak yang masih kasar menyentuh pasir pantai, kami menikmati setiap rasa yang terhidang, makanan itu tampak sederhana namun nikmat dilidah. Nyam..nyam.. air laut itu sukses merampas energi kami untuk sesaat dan kelaparan yang melanda membuat kami melahap apa saja yang sudah disediakan panitia.

Sore hari, menjelang pulang hujan rintik-rintik kembali pelan-pelan datang. Dengan sigap, kami membereskan semua barang yang terserak dan berlarian ke bus sebelum hujan benar-benar menguasai bumi. Rasa lebih namun bahagia ringan kami rasakan, penat yang terkukung sebelum melihat pantai, kini terlepas dan terbawa angin ke tengah laut. Saya ucapkan selamat tinggal pada penat dan selamat datang jiwa yang baru dengan pikiran segar dan semangat yang bergelora.

Categories
Travelling

Kisah Sebelum Membelai Carita

Bertepatan dengan menyambut bulan puasa tahun 2013 ini, saya bersama teman-teman yang senasib sepenanggungan menjadi perantau sejati (tidak pulang ke kampung halaman) memutuskan untuk meregangkan otot-otot saraf yang mengencang sepanjang minggu-minggu terakhir kesibukan kerja menjelang bulan puasa. Setelah perdebatan sengit, akhirnya kami memutuskan untuk menjelajah ke pesisir pantai di seputaran Banten.

Tentu sudah tidak menjadi kabar baru bagi para pemburu alam bahwa Banten menawarkan pantai-pantai yang masih bersih dan masih menjadi pilihan terbaik saat ini karena lokasinya yang cukup dekat dengan ibukota kita tercinta ini tempat dimana kami dan segerombol orang bermukim. Trus nanti ngapain aja disana??

Akhirnya, terpilihnya lima orang menjadi tim kecil yang mengurusi segala titik bengek persiapan sebelum meluncur ke TKP. Tim kecil ini sebut saja tim volunteer yang siap mengemban tugas dan merelakan waktu dan tenaga demi kesuksesan acara bermain ini. Kami mulai browsing mencari informasi selengkap-lengkapnya mengenai pantai Banten. Pantai mana yang akan kami tuju, berapa lama perjalanan, bagaimana dengan konsumsi, transportasi. Yeaahh.. bagaimana layaknya panitia, itulah yang sedang kami lakoni.

Kami ingin memberikan yang terbaik dan membuat acara yang murah meriah dan bahagia. Pertemuan tim pun kami adakan demi mematangkan rencana dan menimbang-nimbang alternatif terbaik seperti apa yang akan kami suguhkan kepada teman-teman tercinta ini.

Untuk transportasi tidak sulit mendapatkan bus yang sesuai dengan budget kami. Yeahh berhubung saat itu bulan puasa bagi umat muslim, mungkin tidak banyak orang yang berwisata ke pantai. Buktinya banyak bus yang kami telpon sangat bersedia untuk mengantarkan kami ke tempat wisata itu. Nah, tentu harga harus getol untuk menawarnya karena mereka kerap berkelit karena puasa maka tips untuk driver lebih mahal. Jurus negosiasi harga terpaksa dikeluarkan bila situasi tak mendukung seperti itu.

Dengan perhitungan detail akhirnya untuk konsumsi, kami memutuskan untuk memasak sendiri lauk pauk, tinggal nasi yang akan kami beli di sekitar Banten. Rano dan beberapa teman siap membantu untuk memasak bekal kami nanti. Tentu ini sangat meringankan biaya perjalanan. Kabarnya jalan menuju sekitaran pantai Banten sudah bagus, jadi perjalanan tidak akan terlalu lama seperti yang dulu-dulu yang katanya bisa sampai enam jam perjalanan. Namun kabar ini pun masih diragukan beberapa pihak teman yang akhirnya kami memutuskan mengutus beberapa untuk melakukan survey seminggu sebelumnya.

Tujuan kami survey selain untuk melihat jalanan dan berapa lama sebenarnya jarak tempuh Jakarta Banten saat ini, kami ingin menentukan pantai mana yang sesuai dengan keinginan kami dan cocok untuk tempat kami bermain nantinya. Selain itu, kami mencari dimana tempat untuk memesan nasi, yeah..cukup nasi saja.. hehee..

Dan entah kenapa, penentuan siapa yang akan berangkat survey saja ternyata sangat runyam sodara-sodara. Semua ingin ikut survey, ternyata kebanyakan tidak sabar untuk menyapa nyiur melambai di pesisir Banten itu. Setelah berebut siapa yang akan berangkat, ternyata pada kenyataannya yang akhirnya bisa berangkat hanya bertiga.. krik..krik.. telpon si ana si anu susah dihubungi, masih pada molor di kosan masing-masing. Alhasil kami berangkat saja tanpa ada satu orang pun diantara kami bertiga yang tahu jalan.. haha, sangat gambling tapi kami pasrah saja deh.

Petunjuk jalan menuju Banten ditambah berbekal hasil browsing dari internet, ternyata tidak susah untuk mencapai pantai. Jalanan ternyata sudah bagus dan mulus, walaupun masih ada beberapa sisi jalan yang mengalami perbaikan. Katanya sore hari masih diberlakukan sistem buka tutup. Kayak jalan ke puncak saja ya. Perjalanan kami mencapai Banten ternyata cukup sekitar tiga jam.

Banten, yeah kami sudah berada di daerah Banten, aroma pantai sudah tercium setelah melewati Krakatau steel. Setelah makan di pinggiran jalan, kami mulai memilih pantai mana yang akan kami masuki. Pantai pertama tentu pantai yang terdekat yang kami dapati. Namanya pantai pasir putih, kami masuk dan ternyata dipungut biaya 70 ribu rupiah karena bawa mobil. Agak tercekat mendengar harga yang harus dibayar, mahal bo..

Pantai ini sangat tidak terurus menurut penilaianku. Ada beberapa saung kecil dan tentu lengkap dengan penunggunya yang menawarkan tikar bertarif. Pantainya sangat luas namun agak kotor. Mungkin karena banyak pengunjung yang kurang menjaga kebersihan. Entah kenapa dibilang pantai pasir putih, yang terlihat pasirnya cenderung kehitaman. Kami Cuma sebentar disini, pantai ini tidak masuk kualifikasi kami.

Setelah menyusuri jalanan dipinggir pantai ternyata kebanyakan pantainya memang mereka namai pantai pasir putih. Agak membingungkan memang, tapi begitulah. Kami akhirnya berhenti di Karang Bolong. Kenapa karang bolong, ternyata pantai ini tidak begitu landai dan sebagian pantainya berkarang sehingga kurang cocok untuk berenang,tapi tidak berarti pantai ini tidak bisa digunakan untuk berenang. Di Banten, pantai mana sih yang sepi peminat? Hehe.. Sepanjang pantai yang kami lewati, semua penuh dengan hamparan manusia yang membanjiri laut. Selain itu ada batuan besar yang membentuk karang dan di tengahnya bolong dan memperlihatkan pantainya yang eksotik. Tepat di depan karang yang bolong itu berdiri satu saung yang agak tinggi, sehingga pengunjung juga bisa menikmati sentuhan angin laut yang lembut dari saung ini.

Pantai Karang Bolong

Dipikir-pikir, Karang Bolong lumayan asyik dan lebih bagus dari pantai sebelumnya. Namun kami masih belum puas, kami masih mau mencari, lagi pula masih ada waktu sebelum mentari semakin kesudut barat. Mobil melaju, kami masih bersemangat, yuhuu…

Beberapa gerbang menuju pantai yang entah apa namanya kami lewati, dan kami berhenti di pantai yang namanya jelas-jelas dibilang pantai pasir putih Carita. Banyak bus yang berbaris di parkiran. Hmm.. tampaknya peminat di pantai ini lebih banyak, kami mencari parkir yang nyaman diluar kawasan pantai. Kami masuk ke dalam jalan kaki, saya melongok ke tukang tiket, tapi tak ada orang. Orang-orang juga lalu lalang begitu bebasnya, maka dengan inisiatif tinggi kami masuk saja melewati palang yang melintang di depan kami.

Saya agak terkejut melihat begitu ramainya orang membanjiri pantai ini, ini jauh lebih ramai dari pantai-pantai yang kami lihat sebelumnya, bahkan melebihi kapasitas bus-bus yang berderet diparkiran itu. Ramai banget dan pantai ini sangat luas, aneka wahana seperti berenang dengan ban, banana boat juga ada beberapa disini. Ahaa.. ini sepertinya sesuai dengan kualifikasi kami. Kami mencari warung yang bisa menyediakan nasi untuk kami nantinya.

Pantai sebelum bulan puasa
Pantai sebelum bulan puasa

Setelah semuanya beres, sebelum beranjak pergi meninggalkan Banten, kami menikmati sore sambil menyantap makanan seafood yang lezat di tepi jalan. Sambil memandangi jalanan yang macet karena efek sistem buka tutup yang diberlakukan sore itu, jalanan benar-benar tak bergerak di satu sisinya. Sedangkan sisi lainnya lancar tanpa rintangan. Malam semakin temaram ketika kami tiba kembali di Jakarta dan saya sudah tak sabar menyentuh kasur setelah seharian berkeliaran hari ini.