Categories
Travelling

Menikmati Sepi Di Pantai Pangandaran

Perjalanan ini memang dadakan dan modal nekad. Belum ada perencanaan sebelumnya, tiba-tiba kami beranjak saja pergi naik busway sampai di kampung rambutan. Setelah browsing, katanya siy bus ke Pangandaran banyak berseliweran di terminal kampung rambutan. Kami sengaja berangkat malam karena akan menghemat waktu dan bisa beristirahat lebih tenang di bus. Saya memang sangat suka perjalanan malam, karena tidak akan berhadapan dengan terik matahari yang menggila dan udara malam itu enak dan adem. Tapi yang ngga enaknya siy saya kurang bisa melihat pemandangan sepanjang perjalanan karena gelap dan mata kantuk.

Sesampainya di terminal kampung rambutan, berdasarkan saran dari bapak supir busway, kami akhirnya menunggu bus Pangandaran di pintu keluar terminal. “Kalau nunggu di dalam terminal suka banyak calo mbak,” kata supir busway. Jam menunjuk pukul 20.00 malam, bus jurusan Pangandaran belum juga terlihat. Dari tadi yang terlihat bus yang ke Tasikmalaya, hmm.. sebenarnya siy dari Tasikmalaya juga bisa, nanti nyambung bus lagi yang ke Pangandaran, tapi berhubung malam dan agak repot untuk gonta ganti bus, kami kekeuh menunggu bus jurusan Pangandaran.

Setelah menunggu sekitar 45 menit, bus itu datang, awalnya saya syok karena waktu melogok ke kaca bus ada cowok bertopeng monyet menyeramkan, saya sempat menarik tangan Anu untuk ngga usah naik, pikiran saya langsung terbang ke cerita-cerita menakutkan tentang perjalanan jauh di malam hari, apalagi kami berdua cewek. Ugghh.. Segera saya tepis pikiran jelek itu dan langsung melangkah memasuki pintu bus, daripada ketinggalan bus dan harus menunggu lebih lama lagi.

Saya arahkan pandangan ke seluruh ruang bus, bus setengah penuh dan cowok bertopeng tadi ternyata anak-anak yang iseng, dia tertawa terkekeh melihat saya yang masih terkejut dan syok. Kami memilih tempat duduk di tengah-tengah, kami lebih bersyukur bus ini tidak kosong, jadi masih merasa aman karena beberapa keluarga menjadi penumpang bus ini, jadi mungkin kami bisa tidur nyenyak malam ini.

Bus yang kami tumpangi ini ternyata bisnis non AC, alhasil angin glebug menghempas tepat di muka saya, kaca bus di buka lebar-lebar oleh seorang bapak diseberang tempat duduk saya. Oh my, kalau begini sampai pagi, bisa-bisa sampai di Pangandaran udah masuk angin duluan. Akhirnya saya pindah ke belakang, dan Anu pindah ke belakangnya lagi. Jadi tidur lebih lega.

Pukul 04.00 pagi kami akhirnya sampai di terminal Pangandaran, sepi.. Ada beberapa warung dan mang tukang ojek yang sudah mondar mandir menawarkan ojek. Kami janji ketemu dengan seorang teman lagi disini, dia dari Bandung ke Pangandaran dan tadi pukul 02.00 dini hari dia sudah sampai di Pangandaran, dan dimanakah dia?

Seorang bapak menyampiri kami, “Neng, ada temannya ya? Dari tadi udah nyampe, nunggu di warnet,” kata bapak itu. Waah, pasti Bang Alex nanya sana sini tadi ke bapak-bapak itu tempat untuk nangkring sembari menunggu kami, hihihi..

Kami duduk sebentar di kayu di depan warnet, ada Si Mbah yang menggendong dan menjajakan nasi kuning. Kata Si Mbah dia mau ke pantai timur, mau jualan nasi kuning. Ah, apa ngikutin Si Mbah aja ya ke pantai timur, tapi Si Mbah jalan kaki. Walaupun udah tua, tapi dia tampaknya masih sangat kuat dan sudah terbiasa menggendong barang dagangannya ke pantai.

Akhirnya kami berkemas dan berniat mengikuti Si Mbah yang sudah menghilang ditelan gelap. Bapak tukang ojek sempat mengingatkan kalau mau ke pantai timur itu jauh, mendingan naik ojek, dan kami merasa itu hanya gurauan bapak ojek saja biar kami pake ojeknya. Nekatlah kami terus berjalan.

Kami kehilangan jejak Si Mbah, waahh.. ternyata walaupun udah uzur, jalannya cepat juga. Kami bertanya sama Aa yang nongkrong di pos jaga.

“Kalau ke pantai timur mah dari sana neng, kalau dari sini ke pantai barat,” Aa itu menjelaskan. Tapi keyakinan saya mengatakan Si Mbah tadi berbelok kearah sini dan dia tadi katanya mau ke pantai timur. “Oiya, dari sini juga boleh sih, nanti jalan terus belok kiri terus luruuus aja, nanti pantai timur setelah melewati cagar alam.”

Kami melanjutkan langkah, jalan subuh-subuh seperti ini memang sudah sangat jarang saya lakukan jadi sekalian olahraga peregangan otot, hehee.. Tadi kata si Aa jaraknya sekitar 2 km, saya masih kurang pintar untuk mengukur jarak 2 km itu jauh apa tidak, jadi kami tetap memutuskan untuk berjalan, apalagi hari juga masih gelap.

Belum lama berjalan, Aa tukang ojek menghampiri kami, dan kami tetap menolak. Dia tetap mengiringi kami, tak terasa dia menemani kami sepanjang perjalanan. Dia banyak cerita sana sini, saya sampaikan juga niat saya untuk ke Green Canyon, dan dengan bangga dia menunjukkan fotonya di handphone yang sedang bergaya di Green Canyon. “Naik ojek saja kesana, 100 ribu satu hari penuh, mau kemana saja saya antar deh!” rayunya. “Nanti sekalian juga ke pantai pasir putih, batu  hiu, Green Canyon, Citumang, gimana?” “Aaahh, Aa mahal banget!!” kataku tersentak. Belum lagi biaya kapal untuk masuk Green Canyon yang kata si Aa udah naik. Nekad kesini juga ga bawa uang lebih. Huh, dengan berfikir keras menimbang-nimbang apakah harus tetap ke Green Canyon apa disini saja, kami tetap mengayun langkah.

Nafas saya mulai tersengal, kata Aa ojek, ini masih setengah jalan. “Kita masih belum melewati cagar alam, jadi perjalanan masih setengahnya lagi,” kata Aa ojek sambil menunjuk-nunjuk peta yang terpampang di tepi jalan. Dia dengan luwes juga sempat menjelaskan isi peta itu, dimana kami berada saat ini dan apa saja yang bisa kami eksplor di tempat ini.

Kami masih bertahan tidak naik ojek, dan Aa ojek juga bertahan mengiringi kami berjalan. “Matahari udah mau terbit, ayo naik ojek aja, takut telat ketemu matahari terbitnya,” dia masih mencoba melobi kami. Haha…

Setelah berjalan hampir satu jam, yah.. satu jam dan kami tidak menyadari itu, hari sudah terang benderang, tapi tak ada matahari yang menyembul. Pagi ini memang masih mendung, tadi malam hujan deras di daerah ini. Hal itu juga yang membuat kami mengurungkan niat ke Green Canyon. Katanya sih kalau baru selesai hujan, Green Canyon sudah ngga green lagi tapi brown.

Kami memilih saung yang sekaligus tempat menyandarkan kapal-kapal nelayan di pinggir pantai. Pantai timur terlihat tenang pagi ini, sangat berbeda dengan pantai barat yang kami lewati tadi, ombak menerjang-nerjang pantai dan mengamuk. Yang unik di pantai Pangandaran ini, kita bisa menyaksikan sunrise dan sunset. Sunrise bila beruntung bisa kita nikmati melalui pantai timur dan sunset bisa kita lihat dari pantai barat. Pantai timur dan pantai barat ini hanya dipisah oleh cagar alam yang berbentuk tanjung yang menjorok kearah laut.

Pagi di Pantai Timur Pangandaran
Pagi di Pantai Timur Pangandaran

Hari ini sudah kami putuskan untuk menikmati waktu disepanjang pesisir Pangandaran ini. Ada Pak Iyus, orang Bandung yang sudah menetap di Pangandaran hampir 20 tahun. Beliau yang akan menemani langkah kami hari ini. Setelah sarapan, kami siap-siap untuk beraktivitas.

Kapal kami melaju membelah tenangnya laut. Alat snorkel sudah terpasang dikepala dan kami siap nyebur, Pak Iyus memilih spot terbaik untuk snorkeling tak jauh dari batu layar. Batu layar adalah batu raksasa yang berdiri tegak di pinggir laut dan sisi bawahnya sangat tipis namun tetap kokoh menopang batu besar itu. Bentuknya kalau dilihat dari sisi depan seolah-olah mirip gajah.

Batu Layar
Batu Layar

Pagi-pagi udah nyebur ke laut bbbrrrr… dingin!

Kali ini kami beruntung, banyak ikan yang berseliweran dibawah sini. Air yang tenang juga sangat membantu, karena kami bisa dengan santai menikmati ikan warna-warni di sela-sela terumbu karang. Eh, ada kapal lewat berisi wisatawan memenuhi kapal itu, tetapi mereka ngga mau nyebur, hanya say heloo saja dan berlalu dari tempat kami snorkeling.

Setelah puas snorkeling, kami menepi di cagar alam. Tepat ketika kapal kami mendarat di tepian pantai, hujan rintik-rintik mulai turun. Dengan gesit Pak Iyus mendorong kapal ke pinggir dan kami berlari ke teras bangunan yang juga biasa dijadikan tempat menginap bagi pengunjung yang ingin menginap di sekitar cagar alam ini.

Sementara kami berteduh, monyet-monyet yang tadi bergelantungan di pohon mulai turun dan mendekati kami. Pak Iyus melempar gorengan dan roti yang kami bawa. Tak mau kalah, beberapa rusa ikut menghampiri. Karena tidak berani memberi makan langsung, saya suruh Pak Iyus saja yang memberinya makan, hehehe…

Hari ini kami puas menjelajah goa yang saya ceritakan disini. Hari sudah siang, namun kami masih enggan beranjak dari Pangandaran. Tujuan kami selanjutnya memang Ciamis, ada acara nikahan temannya Anu besok. Kami masih mau menunggu senja disini.

tenangnya pantai timur pangandaran
tenangnya pantai timur pangandaran

Karena hari ini bukan hari libur atau akhir pekan, jadi tempat ini sangat sepi, tapi itulah yang saya cari. Saya tidak butuh keramaian untuk merayakan keindahan alam ini, saya menikmati sepinya suasana pantai ini. Karena letih menjelajah goa, kami tepar di saung dermaga di tepi pantai timur. Kapal-kapal bersandar di dermaga bambu ini. Kami rebahan, karena kecapekan dan disapu angin sepoi kami pun terlelap.

Saya terbangun ketika seorang bapak dan anak muda menghampiri kami. Mereka turun ke dermaga dan mulai menyalakan kapal. Si bapak ternyata mau memancing di kapal di tengah laut itu, sedangkan anak muda itu mau ke pantai pasir putih, katanya sih mau memperbaiki kapal yang bocor. Kami diperbolehkan ikut, jadi kami sangat bersemangat dan hoop.. melompat ke kapal.

Pantai Pasir Putih
Pantai Pasir Putih

Ternyata kapal bocor itu kapal Pak Iyus yang kami tumpangi tadi, dan anak muda ini adalah anak Pak Iyus. Pak Iyus sudah menunggu perlengkapan yang dibawa anaknya dan siap memperbaiki kapal. Sementara Pak Iyus memperbaiki kapal, kami kembali mengeksplor pulau ini. Kami baru mau beranjak setelah hari sudah semakin sore, karena takut ketinggalan angkutan ke Ciamis kami memutuskan tidak menunggu senja di pantai barat, tapi kami langsung ke terminal dan menaiki elf ke Ciamis.

Categories
Travelling

Jelajah Goa Sampai Ke Pangandaran

Saya baru tahu ternyata Pangandaran mempunyai beberapa goa setelah Pak Iyus mengajak untuk menjelajahinya. Pengalaman memasuki goa bukan yang pertama, namun masuk ke goa menjadi pengalaman menakjubkan bagi saya. Sebelumnya saya pernah memasuki goa di pedalaman Tasikmalaya. Goa itu tidak dikelola menjadi tempat wisata, bahkan jalan menuju kesana tidak ada, kami membuat jalan sendiri. Jadi aroma goa yang pernah saya datangi dulu seperti mencuat kembali disela rongga-rongga tenggorokanku.

Kami mulai beranjak ketika tanda-tanda hujan mulai mereda. Namun beberapa langkah memasuki hutan, hujan mengguyur bumi lagi, secepat kilat kami berlari kembali ke pondokan untuk berteduh, tapi tetap saja basah sudah menguasai sekujur tubuh. Dengan sedikit menggigil kami mengunyah gorengan yang masih hangat, lumayan untuk menghangatkan tubuh.

Walau hujan masih rintik kami memutuskan untuk menembusnya. Kami bela-belain basah karena memang sudah terlanjur basah. Kami melangkah mengikuti Pak Iyus. Langkah awal menyusuri hutan itu, disebelah kiri terdapat sungai kecil berair tawar. Kata Pak Iyus air sungai ini berhulu dari mata air yang ada di Goa Rengganis.

Setibanya di depan mulut Goa Rengganis, saya terdiam sejenak. Ada aura mistis yang saya rasakan namun adem dan sejuk sekali. Dasar goa ini digenangi air tawar yang sejuk dan tenang. Goa dan mata air ini konon katanya berawal dari sebuah legenda petilasan Ibu Dewi Rengganis. Rakyat sekitar juga percaya bila membersihkan badan disini akan berkasiat dan awet muda. Pak Iyus juga mengatakan begitu, namun karena hujan dan basah kuyup kami tidak masuk ke dalam Goa.

Goa Rengganis
Goa Rengganis

Kami melanjutkan perjalanan ke Goa Keramat/Parat. Konon goa ini merupakan tempat bersemedinya para keluarga pangeran Mesir yaitu Syech Ahmad dan Syech Muhammad yang ditugaskan untuk mengajarkan agama islam di daerah ini. Kemudian   di depan goa dibuat dua petilasan untuk Syech Ahmad dan Syech Muhammad oleh penduduk yang menerima ajaran. Petilasan ini bukan kubur namun untuk mengenang kedua pangeran yang menghilang tanpa diketahui keberadaannya.

Hal yang unik di dalam goa ini terdapat stalaktit yang mirip seperti alat kelamin perempuan dan laki-laki. Mitosnya stalaktit ini manjur bagi yang sedang mencari jodoh, untuk lelaki pegang stalaktit yang berbentuk mirip alat kelamin perempuan dan demikian sebaliknya, perempuan pegang stalaktit yang berbentuk mirip alat kelamin laki-laki. Selain itu, ada juga stalaktit yang berbentuk paha ayam dan batu yang berkilat-kilat ketika sinar handphone saya sorotkan. Unik sekali sekaligus indah, seperti permata yang berkilat-kilat.

Mulut Goa Keramat/Parat
Mulut Goa Keramat/Parat

Goa ini lumayan panjang dan tembus ke mulut goa yang lain. Saya memang tidak bisa menunjukkan foto dari bentuk stalaktit di dalam goa ini, karena goa ini sangat gelap dan kemampuan kamera saya yang terbatas ( hehe..). Karena tidak ada persiapan memasuki goa yang gelap, cahaya dari handphone satu-satunya menjadi penerang bagi jalan kami di gelapnya goa ini. Yah, ini adalah kegelapan abadi.

Oiya, masih ada yang menarik mengenai Goa Keramat/Parat ini. Kami bisa melihat landak dipojokan goa yang gelap. Landak itu memang pemalu, dia bersembunyi dilubang kecil disudut goa. Selain itu ada kelelawar yang menggelantung dan sebagian beterbangan diatas kami. Goa Keramat/Parat ini merupakan gua yang terpanjang disekitar cagar alam ini. Yang lainnya hanya beberapa meter saja dan tidak sampai gelap sempurna seperti goa ini.

Setelah menyusuri goa ini kami keluar dari mulut goa yang satunya, di depan mulut goa ini terlihat dua berbentuk nisan, mungkin inilah yang dimaksud dengan petilasan itu. Kami melanjutkan penjelahan kami menapaki jalan kecil disela pepohonan.

Kami tiba di Goa Miring, kenapa dikatakan Goa Miring? Untuk memasuki goa ini, kita harus memiringkan badan kita karena celah memasuki goa ini sangat sempit. Kalau saya amati, goa ini seperti bongkahan batu raksasa yang terbelah dan membentuk celah yang sempit dan terbentuk ruang didalam pecahan batu itu. Goa ini kecil, jelas terlihat dari sempurat sinar matahari dari ujung goa yang tak lain dari mulut goa seberang sana. Goa ini dekat dengan pantai, hempasan ombak bisa terdengar samar dari sini. Hal yang unik yang kami temui di dalam goa ini adalah stalaktitnya yang berbentuk pocong. Di dinding goa juga kami melihat susunan batunya menyerupai tulang belakang manusia, bentuknya sangat mirip.

Goa Miring
Goa Miring

Setelah puas menelusuri setiap sudut Goa Miring, kami melipir ke Goa Lanang. Berjalan kaki mengitari hutan, beranjak dari satu goa ke goa yang lain memang agak menguras tenaga, apalagi kami berhujan ria. Pakaian di badan agak berat, tapi untunglah cuaca mulai membaik di tengah perjalanan. Untuk menuju goa ini, kami harus melewati beberapa anak tangga. Yaa… memang Goa ini agak berbeda dengan goa yang lain, posisi mulut goa vertikal, namun tidak terlalu dalam.

Setelah sampai dibawah dan menyelesaikan anak tangga terakhir, saya terkesiap dan takjub. Di depan saya terdapat mulut goa yang sangat besar dan luas. “Disini sering dijadikan lokasi syuting film laga,”kata Pak Iyus. Yaa.. memang terlihat beberapa bekas di goa ini menunjukkan sering terjadi beberapa aktivitas. Kami beristirahat sebentar di goa ini. Karena mulut goa vertikal maka sinar matahari sempurna masuk ke dalam goa. Suasana goa bersih dan sepertinya memang sering dibersihkan. Terdapat perapian juga di pojok sana. Kalau dipikir-pikir tempat ini cocok juga menjadi tempat berteduh sambil menyalakan perapian.

Goa ini dulu merupakan kerajaan Penanjung dengan rajanya bernama Prabu Anggalarang dan permaisurinya Dewi Rengganis. Prabu Anggalarang merupakan lelaki yang gagah dan sakti sehingga dijuluki “Sang Lanang” dan goa ini merupakan tempat tinggalnya sehingga disebut Goa Lanang. Goa Lanang ini menjadi keraton kerajaan Galuh pertama. Di goa ini ada batu gamelan yang bila ditabuh dengan tangan akan mengeluarkan nada seperti gamelan. Selain itu stalaktit indah terdapat di goa ini. dari stalaktit yang besar dan bertebaran di sekitar goa ini menunjukkan goa ini sudah berdiri tegak selama berabad-abad lalu.

Goa Lanang
Goa Lanang

Ada satu lagi goa yang akan kami masuki yaitu Goa Jepang. Perjalanan menanjak ternyata tidak gampang. Kami harus sangat hati-hati karena jalanan sangat licin habis diguyur hujan. Karena wilayah ini merupakan cagar alam, selama perjalanan menjelajah goa ini kita bisa menyaksikan monyet-monyet yang dengan bebas menggelantung di pepohonan. Dan yang menakjubkan lagi, ketika hampir sampai di Goa Jepang, kami bertemu dengan biawak dan rusa yang bersantai di sela-sela dedaunan. Mereka bergerak bebas tanpa merasa terusik. Diam-diam saya memotret mereka.

Rusa di Cagar Alam Pangandaran
Rusa di Cagar Alam Pangandaran

Goa Jepang dikawasan ini dibuat pada masa Perang Dunia Kedua (1941-1945) dengan menggunakan kerja paksa atau Romusha selama kurang lebih satu tahun. Keunikan dari goa ini adalah dibuat dibawah bukit kapur dengan dinding batu karang dan pintu goa berbentuk persegi empat. Pada bagian akhir goa ini terdapat tangga yang berakhir dengan lubang kecil sebagai tempat untuk berlindung. Secara sepintas memang lubang goa ini tidak terlihat.

Goa Jepang
Goa Jepang

Penyusuran Goa berakhir ketika kami melewati Batu Kalde. Batu ini merupakan situs peninggalan sejarah pada masa kerajaan Galuh. Namun sayangnya, bebatuan peninggalan sejarah ini kurang terawat dengan baik dan terserak. Di sisi yang lain terlihat beberapa makam tanpa nisan. Menurut saya, mungkin berapa dekade silam terdapat peradaban penting di daerah ini, namun sejarah yang mahal ini masih kurang terawat dan kurang perhatian.