Categories
Travelling

Yogyakarta, Harmonisasi Budaya, Seni Dan Sejarah Yang Exotic (Part 2)

Sebenarnya agenda kami hari itu, setelah berkeliling kraton ratu boko dan prambanan, kami akan langsung ke pantai Parangtritis, namun karena hari ternyata sudah agak sore yaitu sekitar pukul 3 sore dan langit pun agak mendung pertanda kota akan diguyur hujan, maka kami mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan ke parangtritis. Penundaan ini didukung juga sama ibu-ibu yang saya tanyai ketika menunggu bus trans Jogja datang, menurut beliau kalau jam segini memang sudah kesorean kalau tidak berniat menginap di parangtritis karena jarak yang ditempuh dari Prambanan menuju Parangtritis lumayan jauh, kami harus melalui terminal giwangan terlebih dahulu. Maka, kami memutuskan untuk menikmati sekitaran kota Jogja saja, maka kami menunggu bus TransJogja yang jalur menuju malioboro.

Kami begitu menikmati suasana Jogja yang tergambar di sekitar Maliboro, makan pecel di sekitar emperan pasar Beringharjo ternyata nikmat sekali, sayang Tommy tidak mau jadi saya makan sendiri saja, hehe..

pecel depan pasar beringharjo

Hari kedua saya di Jogja, saya sudah mulai hafal jalanan apalagi yang disekitaran maliboro berkat pencarian penginapan yang tak kunjung nemu, tanpa sadar kami memang sudah mengelilingi setiap gang/jalan yang kira-kira ada tempat penginapan, walau capek tapi sangat menyenangkan.

BENTENG VREDEBURG

Karena dekat dengan malioboro, kami menyempatkan untuk mengunjungi benteng Vredeburg, dikawasan benteng ini ada museum yang dibuka untuk umum, komplek benteng tidak terlalu luas, berhubung hujan, kami juga bisa beristirahat sejenak di teras museum.. hihi..

Kawasan Benteng Vredeburg Museum Benteng Vredeburg

ALUN-ALUN SELATAN

Setelah beberapa kali memakai jasa becak atau delman, sekarang kami mau coba pakai jasa taksi saja untuk menuju alun-alun selatan karena tempatnya memang lumayan jauh. Setelah semakin mendekati alun-alun, cahaya terang benderang berwarna warni semakin jelas, ya.. banyak becak yang disulap menjadi transportasi wisata malam dengan dihiasi lampu-lampu terang berbentuk lucu-lucu seperti doraemon, angrybird, hello kitty dan banyak lagi.

Becak Lampu warna warni

Semua becak –becak yang dihias ini disewakan dan rata-rata sudah dibandrol 25 ribu rupiah 2 kali keliling lapangan alun-alun selatan ini, satu becak bisa menampung 6-8 orang, jadi kalau rame-rame bisa lebih irit. Wisata malam alun-alun selatan juga sangat cocok untuk wisata keluarga yang murah meriah dan sangat menyenangkan. Walaupun baru turun hujan, tidak mengurangi keramaian pengunjung yang datang. Tidak jarang, area ini jadi macet karena becak hias ini memang menggunakan jalur transportasi umum.

Selain becak hias, ada permainan masangin. Permainan ini yaitu dengan menutup mata menggunakan kain yang bisa disewa seharga 4 ribu rupiah, kita berjalan diantara dua beringin besar yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun selatan. Konon katanya, kalau kita bisa melewati antara beringin dengan mata ditutup, maka permohonan kita akan dikabulkan. Namanya juga mitos, ada yang percaya ada yang tidak, namun banyak orang yang penasaran dan tidak lengkap rasanya tidak main masangin bila ke alun-alun selatan.

Cukup lama kami menikmati wisata malam alun-alun selatan sehingga tidak sadar waktu sudah pukul 11 malam, yang artinya kami harus kembali ke kontrakan dan istirahat.

PANTAI PARANGTRITIS dan DEPOK

Hari ketiga sekaligus hari terakhir kami di Jogja,

Untuk menuju pantai parangtritis, kami harus naik bus dari terminal giwangan. Terminal giwangan merupakan terminal yang bersih dan tertata rapi, kami menuju terminal giwangan dari kontrakan (di daerah UGM) menggunakan bus TransJogja. Sesampainya di terminal giwangan, kami sarapan terlebih dahulu. Disekitar terminal banyak kios rumah makan yang sudah tertata rapi, tinggal kita mau pilih yang mana. Walaupun di terminal yang terkadang terkesan kotor,namun di sini sangat jauh dari kesan tersebut, karena semuanya rapi. Saya salut dengan hal ini. Hehe..

Tidak susah mencari bus menuju parangtritis, cari saja bus yang di kaca depannya sudah tertulis parangtritis. Karena bus ekonomi, jadi bus ke parangtritis ini mirip seperti metromini kalau di Jakarta. Bus berangkat setelah 20 menit menunggu. Kami menikmati perjalanan itu walaupun lumayan panas dan jarak tempuh yang lumayan jauh, apalagi busnya masih suka berhenti di beberapa pos menunggu penumpang.

Dengan penuh kesabaran, jalanan yang seakan tak berujung mulai menunjukkan kejelasan bahwa kami mulai memasuki kawasan parangtritis dan bus berhenti di terminal tepat di gerbang masuk pantai Parangtritis. Dengan membayar 24 ribu rupiah untuk dua orang, kami bergegas turun dan masuk ke kawasan pantai.

Katanya, tidak lengkap rasanya ke Jogja kalau tidak sampai di pantai parangtritis yang terkenal dengan legenda Nyai Roro Kidul nya. Namun, jujur sesampainya di bibir pantai, agak kurang dari ekspektasi saya, karena pemandangan yang saya dapat di sekitar pantai tidak sesuai dengan yang saya bayangkan. Sepanjang pesisir pantai banyak sampah yang bertebaran, saya tidak tahu apakah pengunjung yang ramai berdatangan itu sembarangan buang sampah atau bagaimana, tapi pantai ini benar-benar kurang terawat. Menurut saya sangat disayangkan sekali, namanya sudah terkenal namun perawatannya terbengkalai. Tidak banyak hal yang bisa kami nikmati disini, selain angin pantai yang menyapu air sampai ke bibir pantai, delman atau kuda yang disewakan untuk berkeliling sepanjang pantai, dan ada juga ATP yaitu seperti motor beroda empat yang bisa dikendarai oleh 2 orang.

pantai parang tritis

Setelah menghabiskan satu buah kelapa muda, kami memutuskan untuk ke pantai Depok untuk menikmati lezatnya makan dipinggir pantai dengan harga miring. Bagaimana caranya ke pantai Depok? Sejenak kami keras berfikir, karena memang tidak ada transportasi umum ke sana, tanya ke penjual es kelapa muda, katanya biasanya ada kereta wisata yang berkeliling parangtritis depok, namun hari itu kereta wisatanya tak kunjung kelihatan. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami menemukan tukang ojek, dengan tarif 25 ribu rupiah per ojek pulang pergi, kami berangkat menggunakan dua ojek.

Saya sangat menikmati sepanjang perjalanan menuju pantai depok, jalan yang bagus dan lurus ke depan dan tidak kelihatan ujungnya, di samping kiri kanan jalan terhampar padang rumput yang sebagian berpasir, seakan berada di daerah yang berbeda. Kalau saya lihat sepintas, beberapa plang yang kami lewati ternyata menyediakan jasa pemotretan prewedding, brarti tempat itu juga sering digunakan untuk prewed, yaahh.. memang bagus dan exotic.. hehe..

Sekitar 15 menit berjalan,tibalah di pantai depok, kapal-kapal nelayan banyak terlihat di sekitar pantai dan banyak rumah makan di sepanjang pinggiran pantai, pantai depok jauh lebih bagus daripada pantai parangtritis, pantainya masih bersih dan pasir hitamnya juga bersih. Mungkin karena belum terlalu banyak orang yang tahu dan tidak semua orang bisa menjangkau tempat itu karena transportasi umum tidak memadai.

Kami langsung mencari tempat makan yang nyaman, dan kami memilih rumah makan seafood Sumilir, berdasarkan rekomendasi seorang teman juga tentunya. Lokasinya tepat menghadap laut lepas di tepi pantai, deru ombak yang lumayan besar sampai kedengaran. Menikmati makanan seafood diiringi deru ombak memang sangat berbeda rasanya dan tambah nikmat.

Makan di pantai depokMenu makanan banyak dan bisa sampai porsi besar namun harga tetap terjangkau dan sangat murah. Kami sangat puas menikmati makanan disini. Perut kenyang hati senang.

Berhubung kami janji ke bapak ojek hanya untuk makan saja di pantai Depok, bapak ojek bersedia menunggu, jadi kami memang tidak bisa berlama-lama menikmati keindahan pantai Depok. Segera kami kembali menemukan bapak ojek. Ojek melaju kencang, kembali melewati jalan yang lurus dan seakan tanpa ujung itu dengan sengatan matahari yang membakar kulit.

Kami tiba kembali di Parangtritis dan menaiki bus yang akan menghantar kami kembali ke kota Jogja. Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih satu jam, dan kecepatan bus ini sungguh luar biasa, sampai sampai saya membayangkan saya lagi naik rolling coster. Haha… pak supirnya ganas..

Akhirnya kami tiba di stasiun giwangan dengan selamat, dan kembali mengantri bus transjogja untuk menuju malioboro. Karena jadwal kereta kami brangkat malam pukul 20.30 maka kami masih banyak waktu untuk berburu oleh-oleh.

Pusat perbelanjaan batik di Jogja ada di pasar beringharjo, di pasar ini kita bisa menemukan banyak sekali batik dengan harga miring, sudah pasti kita harus berani tawar menawar. Tapi pasar beringharjo sekitar pukul 4 sore sudah mulai tutup, sehingga sesampainya kami di pasar itu, beberapa toko sudah tutup walaupun pengunjung masih sangat ramai, sungguh pasar ini ramai sekali. Tidak dapat batik, makan pecel dulu di depan pasar beringharjo, yummyyy…

Persis di depan pasar beringharjo, masih ada pusat perbelanjaan batik dan pernak pernik khas Jogja, yaitu Mirota Batik. Di Mirota kita akan menemukan banyak batik dengan kualitas yang baik begitu juga dengan pernak perniknya. Namun di tempat ini, semua produknya sudah dibandrol dengan harga pas, jadi tidak ada sistem tawar menawar. Walaupun begitu, pengunjung tidak akan kecewa, karena harganya sesuai dengan kualitas barangnya. Mirota masih buka sampai malam sekitar pukul 19.30. Puas berbelanja, tidak lupa kami membeli bakpia sebagai oleh-oleh, diantar oleh becak dengan 5 ribu rupiah, kami menikmati suasana malam terakhir di kota Jogja.

Makan malam kami di stasiun kereta lempuyangan sambil menunggu kereta yang akan menghantarkan kami kembali ke Bandung.

menunggu kereta di stasiun Lempuyangan

Rasanya tidak ingin cepat-cepat meninggalkan Jogja, kota yang penuh dengan ketentraman, keramahan dan kebaikan masyarakatnya. Masih banyak tempat yang belum saya kunjungi di Jogja, dan suatu saat ingin kembali ke kota ini. Perjalanan ini sungguh meninggalkan kesan yang indah dan akan sangat saya rindukan. Terima kasih Jogja.

Categories
Travelling

Yogyakarta, Harmonisasi Budaya dan Sejarah yang Exotic (Part 1)

Keinginan menginjakkan kaki di Yogyakarta akhirnya tercapai. Perjalanan ini dimulai dari hunting informasi dari berbagai sumber dan pengalaman orang-orang yang sudah travelling ke sana. Dan akhirnya saya dan Tommy berangkat juga. Meeting point kami di Bandung, berangkat hari rabu malam tanggal 14 November 2012 dan pulang sabtu malam tanggal 17 November 2012.

Kami berangkat menggunakan kereta api kahuripan (ekonomi) dari stasiun Kiara condong menuju stasiun Lempuyangan. Tipe perjalanan kami memang sengaja ala ransel alias ekonomi dan serba hemat. Sangat bersyukur karena kami masih dapat tiket murah, 150 ribu rupiah pulang pergi untuk berdua. Kami sengaja mengambil jadwal kereta yang paling malam agar waktu perjalanan bisa digunakan untuk tidur dan sesampai disana bisa langsung mulai explore Jogja.

Berangkat pukul. 20.30 dan sampai di stasiun Lempuyangan pukul 07.50 esok harinya. Langsung naik becak ke Malioboro mencari penginapan, berhubung long weekend, Malioboro ternyata sudah dipenuhi para pelancong, dan semua mencari penginapan sama seperti kami. Setelah keliling kesana kemari, akhirnya kami menyerah, semua penginapan full booked. Awalnya saya pengen nangis sudah membayangkan kami akan tidur dimana (maklum newbie dalam hal backpacker haha…).

Karena tidak dapat juga, setelah sarapan makan nasi kucing di sekitaran Malioboro, akhirnya kami memutuskan menghubungi seorang teman yang memang tinggal di Jogja dan kami diberi tumpangan untuk menginap dan menitipkan ransel.

Nasi kucing harganya murah, dengan merogoh kocek dua ribu rupiah sudah bisa menikmati sebungkus nasi kucing. Nasi kucing sebenarnya nasi dengan lauk ikan teri atau tempe. Disebut nasi kucing mungkin karena porsinya yang mungil, bagi saya cukup mengisi perut, tapi bagi Tommy, untuk mengobati rasa lapar butuh 2 atau 3 bungkus nasi kucing. Setelah bertemu dengan teman, kami bersih-bersih dan bersiap untuk menikmati keindahan Jogja.

BOROBUDUR

Destinasi pertama kami adalah Borobudur, sebenarnya Borobudur secara administrasi berada di wilayah Jawa Tengah, namun karena jarak tempuh ke Borobudur lebih dekat dari Jogja daripada semarang, maka kebanyakan orang dan termasuk kami memasukkan Borobudur dalam trip Jogja kami.

Menuju Borobudur tidak terlalu sulit, kami naik trans Jogja menuju terminal Jombor terlebih dahulu. Ongkos trans Jogja hanya tiga ribu rupiah per orang dan seperti layaknya seperti transJakarta kalau transit tidak usah bayar lagi. Sesampainya di terminal Jombor, kami langsung mencari bus menuju terminal Borobudur. Jarak tempuh dari terminal Jombor ke terminal Borobudur sekitar 1,5 jam. Bus yang menuju Borobudur non ac (ekonomi), ongkosnya 12 ribu rupiah per orang, dan bus terakhir dari Borobudur kembali ke Jogja pukul 18.00, jadi sebelum pukul 18.00 kami sudah harus berada di terminal Borobudur lagi kalau tidak mau bermalam di Borobudur.

Setelah naik bus, kami langsung ambil posisi duduk di samping Pak supir. Sepanjang perjalanan Pak Supir juga cerita beberapa tempat wisata yang menarik di Jogja dan melewati beberapa tempat yang dilewati lahar dingin akibat erupsi gunung Merapi setahun yang lalu. Bus sempat berhenti dulu di Muntilan untuk menunggu penumpang, tapi tidak terlalu lama.

Sesampainya di terminal Borobudur, sebenarnya ke lokasi candi bisa saja jalan kaki tapi siap-siap gempor. Kami memutuskan naik delman. Disini sudah dipatok harga, untuk delman 15 ribu rupiah per delman dan kalau naik becak 10 ribu rupiah.

Lima menit naik delman, kami tiba di lokasi candi. Sebelum mengitari lokasi candi, kami makan siang dulu. Berhubung cuaca lumayan menyengat, saya sudah mempersiapkan sunblock untuk melindungi kulit agar tidak terbakar matahari.

Tiket masuk ke Borobudur 30 ribu per orang, dan kita harus mengenakan kain batik yang telah disediakan dan diikatkan di pinggang. Tujuannya mungkin untuk menghormati dan kesopanan. Berhubung long weekend, sekitaran candi dipenuhi oleh para pengunjung, bahkan banyak yang rombongan dari komunitas atau gathering (terlihat dari seragam kaos yang mereka kenakan).

Untung saya sedia payung, jadi tidak perlu beli topi yang dijajakan penjual yang rame mangkal di sekitar pintu masuk.  Kami berkeliling candi sambil menikmati suasana yang sejuk, udara yang segar dan mengagumi karya para leluhur ini. Sungguh luar biasa, dari setiap ukiran relief dan patung budha dan stupa yang ada setiap sudut candi, unsur agama Budha sangat terasa.

Di sekitar candi banyak pepohonan membuat suasana sangat sejuk, duduk dan rileks disini sangat tepat, sehingga tak terasa hari semakin sore. Kami segera beranjak ke terminal Borobudur sebelum bus terakhir datang, berhubung pengunjung rame, jadi banyak orang yang mengantri untuk naik bus, karena tidak kebagian bus setelah kami sampai di terminal, terpaksa kami menunggu bus yang lain, dan syukurlah tidak terlalu lama penantian itu, bus akhirnya datang juga dan mungkin itu bus terakhir.

Bus ini melaju sangat kencang, sampai saya agak deg-degan selama perjalanan, sungguh sangat menantang adrenalin niy si Pak supir. Tiba di terminal Jombor sudah malam dan saatnya mencari makan malam.

BAKMI KADIN

Berdasarkan rekomendasi teman, maka kami mencari dimanakah bakmi kadin berada. Setelah Tanya sana sini, akhirnya kami menemukannya. Bakmi kadin terkenal di Jogja, letaknya berada tidak jauh dari superindo gondokusuman. Tempatnya sederhana dan sudah berdiri sejak lama. Sesampainya disana ternyata sudah sangat ramai dan kami langsung berburu tempat duduk. Sembari menunggu pesanan makanan, kami berbincang sambil menikmati alunan lagu-lagu lawas yang disuguhkan secara live, penyanyi dan pemain musiknya juga lawas alias sudah kakek nenek. Lumayan lama kami menunggu makanan sampai benar-benar kelaparan karena memang perjalanan hari itu membuat perut lapar. Tidak hanya kami yang menunggu dan hampir kehilangan kesabaran, beberapa pengunjung yang lain malah akhirnya menunggu di depan juru masaknya (mungkin saking laparnya .. J).

Dengan 38 ribu rupiah kami akhirnya menikmati 1 bakti goring, 1 bakmi kuah dan 2 es teh manis. Menikmati bakmi dengan alunan lagu lawas seakan membawa kami ke zaman dulu, karena suasana dan tempat yang seperti tempo dulu. Suatu suguhan yang unik dan asli Jogja sekali menurut saya. Setelah selesai makan dan hari semakin larut, kami bergegas mencari becak untuk pulang ke kontrakan teman tempat kami menginap.

PRAMBANAN DAN KRATON RATU BOKO

Hari kedua kami di Jogja.

Candi prambanan masih berada di sekitar kota Jogja sehingga untuk mencapai lokasi candi tidak terlalu susah dan lama. Berangkat dari kontrakan naik bus transJogja sampai halte prambanan. Sekitar 30-45 menit kami tiba dan mencari sarapan pagi. Setelah kenyang, kami langsung menuju lokasi candi naik becak dengan membayar 10 ribu rupiah.

Di loket masuk prambanan, ternyata ada 2 jenis tiket yaitu tiket untuk masuk candi prambanan saja 30 ribu rupiah per orang dan tiket paketan untuk prambanan-kraton ratu boko 45 ribu rupiah per orang, dan kami memilih tiket yang paketan.

Untuk menuju kraton ratu boko sudah disediakan mobil antar jemput oleh pihak pengelola, dan mobil ini beroperasi sampai pukul 15.00. Lokasi kraton ratu boko berada di bukit yang tinggi dan melalui sawah dan rumah penduduk. Kami memilih untuk berangkat ke kraton ratu boko terlebih dahulu, baru ke candi prambanan.

Tidak lama kami menunggu mobil segera datang, tidak hanya kami, banyak juga pengunjung yang ngantri bersama kami. Sekitar 10 menit perjalanan akhirnya kami tiba di kraton ratu boko dengan suasana yang sejuk dan sangat asri.

Suasana di kawasan kraton ratu boko ini sangat berbeda, udara yang sejuk, angin sepoi-sepoi menyamankan hati dan perasaan magis sangat terasa. Menyusuri puluhan anak tangga dan lapangan yang luas dan tertata rapi dan bersih. Masuk ke kawasan ratu boko seakan masuk ke lorong waktu menuju sekian abad yang lalu, begitu sejarah masa lalu sangat kental di tempat ini.

Setelah berkeliling yang cukup lumayan berkeringat Karena cuaca yang sangat cerah dan kawasan kraton yang luas, kami turun kembali ke pelataran parkir kraton dan menunggu jemputan oleh pihak pengelola prambanan. Karena ada beberapa rombongan yang juga turut menunggu jemputan, maka kami harus bersabar mengantri.

Selanjutnya, sesampainya kembali di prambanan, kami langsung bergegas ke kawasan candi prambanan. Dari kejauhan sudah tampak puncak-puncak candi yang tinggi dengan anggunnya. Seperti legenda yang sangat terkenal mengenai candi ini yaitu legenda roro jongrang, maka memang terlihat sampai sekarang hamparan candi yang cukup banyak mengelilingi candi induk. Sebagian candi memang sudah rusak akibat goncangan gempa tahun 2006 dan hanya terlihat tumpukan bebatuan candi.

Untuk naik ke candi induk saja, yaitu candi terbesar dari sekian banyak candi yang tersebar disekelilingnya, para pengunjung harus mengenakan helm yang disediakan oleh pihak pengelola, hal ini untuk menjaga keselamatan para pengunjung yang mungkin sewaktu-waktu ada runtuhan dari candi, karena candi memang dalam kondisi renovasi pasca gempa.

Setelah berkeliling dan mengagumi candi prambanan yang indah nan cantik, sebelum beranjak pulang kami menaiki kreta wisata dengan membayar 5 ribu rupiah per orang dan melewati candi candi yang lain di sekitaran komplek candi prambanan, seperti candi sewu yang sudah terlihat sangat rapuh termakan usia dan sebagian sudah hancur.

Sesampainya di pintu keluar, tidak lupa kami mengambil foto dari fotografer keliling yang menjajakan jasanya di sekitar candi. Karena capek berkeliling, kami istirahat sebentar di pendopo yang ada di taman dekat jalan keluar dan bersyukur bisa menikmati hasil karya leluhur yang sangat luar biasa ini.

Categories
Hiking

Pesona Gunung Papandayan, Pendakian Istimewa

Pendakian ke gunung Papandayan sudah direncanakan dari sebulan sebelumnya. Dan akhirnya, kami berangkat tanggal 19 Oktober 2012 dan kembali ke Jakarta tanggal 21 Oktober 2012 tepatnya berangkat jumat malam dan pulang minggu sore. Selama kurang lebih satu bulan ini, saya bersama teman mencari teman yang lain yang tertarik ikut pendakian ini. Dan ternyata lumayan, dari 23 orang yang terdaftar yang memastikan ikut, akhirnya yang benar-benar berangkat sebanyak 22 orang, 21 orang dari Jakarta dan 1 orang dari Bandung, lumayaann.. hehe, tadinya saya pikir tidak akan sampe 20an orang, karena mengingat pendakian sebelumnya ke gunung Gede yang pertama kita berangkat dengan 15 orang dan pendakian gunung Gede yang kedua Cuma 10 orang, Jadi dengan 22 orang yang berangkat pendakian gunung Papandayan akan semakin seru dan semakin semangat. Apalagi, selama persiapan sampai menunggu tanggal yang sudah dipastikan untuk berangkat, teman-teman sudah tidak sabar untuk nanjak, haha..semua bersemangat, semua penasaran, sungguh memancarkan energi positif, dan saya suka. Hehe..

Masa pencarian teman mendaki dan pencarian informasi

Karena merasa sudah lama tidak mendaki gunung, ada rasa kangen juga untuk mendaki karena terakhir mendaki bulan Mei 2012 ke gunung Gede. Maka, saya dengan teman-teman satu komunitas yaitu OMKKJ merencanakan pendakian ke gunung Papandayan. Berhubung saya belum pernah ke gunung Papandayan bahkan ke Garut pun belum pernah (haha..) jadi saya tidak punya gambaran gimana situasi disana. Maka mulailah om google berfungsi kembali, mencari dan mencari sebanyak mungkin info mengenai gunung Papandayan.

Gunung Papandayan tidak setinggi gunung Gede Pangrango sehingga sangat cocok untuk pemula. Gunung Papandayan dengan ketinggian 2665 mdpl berada di desa Cisurupan kabupaten Garut. Dan awal tracking juga tidak dimulai dari bawah banget, karena hampir setengah perjalanan sudah beraspal dan dapat dilalui dengan menggunakan mobil pick up.

Setelah membaca artikel teman-teman yang sudah pernah kesana, saya mulai kebayang bagaimana situasi disana dan bagaimana menganggarkan biayanya. Nah, belum bisa lega karna jujur kami tidak punya perlengkapan nge-camp yang memadai bahkan bisa dibilang sangat minim. Mencari penyewaan  perlengkapan nge-camp seperti tenda, matras, nesting di Jakarta menurut saya agak sulit (karna saya tidak tau tempatnya dimana dan walau searching di google juga tidak nemu hiks..), akhirnya usaha dan berharap banget niy di Garut atau di desa Cisurupan ada yang menyewakan perlengkapan yang kami butuhkan dan jumlahnya cukup.

Tidak banyak informasi, tapi akhirnya dapat juga satu website yang menyediakan jasa porter dan menyewakan perlengkapan nge-camp dan tepat banget di desa Cisurupan, hooraayy.. saya bersorak dalam hati.. hehe.. ada pencerahan, dan langsung menghubungi nomor telepon yang tercantum di website tersebut. Waktu di telpon, nyambung dan ada yang angkat, hhh.. agak lenga, yang menyahut di seberang sana namanya Kang Rahayu. Saya langsung menanyakan apakah perlengkapan yang kami butuhkan tersedia dan cukup, karna Kang Rahayu juga menawarkan untuk membantu transportasi selama di Garut ke Papandayan, saya langsung menerima niat baiknya. Akhirnya segalanya saya tanya ke Kang Rahayu. Orangnya cukup ramah dan banyak memberikan informasi. Tadinya siy dia juga menawarkan jasa porter atau guide tapi saya piker jasa itu tidak perlu karena teman-teman yang saya bawa untuk mendaki bukan newbie dalam dunia pendakian.

Jumat,19 Oktober 2012

Akhirnya hari ini tiba juga, setelah penantian dan persiapan, kami akan berangkaat.. ^^

Saya mengumpulkan pasukan pukul 20.00 malam dan meeting point di Cililitan karena kami akan menggunakan bus primajasa jurusan Garut. Awalnya bus terakhir yang berangkat ke Garut katanya pukul 21.00, namun setelah nego sama pak mandor maka kami akan ditunggu sampai pukul 21.30, sambil menunggu teman-teman yang belum nyampe di cililitan, saya dan beberapa teman packing bahan makanan dan barang-barang yang akan kita bawa, tidak terlalu banyak karena perlengkapan seperti tenda, matras, nesting, dan sleeping bag akan kita sewa di tempat Kang Rahayu. Maka tibalah pukul 21.30 dan kita langsung capcus menuju terminal primajasa dan go go, berangkaat..

Pasukan 22 berangkat dengan perasaan hepi.. di bus semua sudah mengambil posisi dan beristirahat untuk saving energy, walau pun demikian sebagian pada ga bisa istirahat atau tidur, memang kawan-kawan saya ini gemar bercerita. Estimasi sampai di Garut pukul 03.00 dini hari agak meleset, karena pukul 01.30 kami sudah hampir sampai, untung pak supir pick up yang akan menjemput kami selalu standby jadi kami tidak terlantar menunggu jemputan. Kami berhenti di bunderan tarogong sebelum terminal guntur, dan akan dijemput pick up dari situ. Untung tidak lama menunggu, pick up kami datang dan langsung meluncur. Tadinya, kami berencana langsung ke pelataran parkir gunung Papandayan, namun berhubung kami kecepatan nyampe di Garut, maka kami singgah dan ngaso dulu di rumah Kang Rahayu di desa Cisurupan.

Sekitar pukul 03.00 dini hari  kami tiba di rumah Kang Rahayu, dan teman saya yang dari Bandung sudah sampai duluan dan sudah bersantai ria. Sebagian teman langsung ngantri di toilet, mungkin pada masuk angin diterba angin yang bukan sepoi-sepoi lagi selama diatas mobil pick up haha..

Pukul 05.00 pagi, kami lanjut ke pelataran parkir gunung papandayan menggunakan mobil pick up yang dari tadi setia menunggu. Setibanya disana, masih agak gelap karena warung-warung yang ada disana memang tidak memakai listrik sehingga tidak ada lampu yang menerangi, hanya ada lilin dan lampu badai. Kami langsung menuju pos jaga dan menyewa perlengkapan yang sudah di booking sebelumnya ke Kang Rahayu. Sambil menunggu fajar menyingsing dan kabut pagi itu menghilang, kami beristirahat, nongkrong di warung dan sarapan.

Sabtu, 20 Oktober 2012 —Start tracking

Setelah packing ulang dan embun pagi mulai meninggalkan padang rerumputan, dan bukit dibelakang pos jaga mulai memancarkan pesonanya, lets goooo.. tracking dimulai.

Batu kerikil yang sangat labil kami lalui sepanjang jalan menuju ke pondok saladah tempat dimana kami akan mendirikan tenda dan menginap. Hamparan kawah dengan asap yang mengepul dari setiap lubang kawah, bau belerang yang tajam, dan suara seperti air mendidih yang terdengar dari lubang kawah menjadi pesona tersendiri bagi yang mendaki gunung Papandayan. Karena bau belerang yang sangat kuat, disarankan memakai masker atau slyer yang dibasahi air, sehingga tidak susah bernafas dan bau belerangnya jadi tidak terlalu menyengat. Berhubung pasukan 22 belum pernah satu orang pun ke gunung ini, sempat kehilangan arah karena adanya longsor yang akhirnya mengubah sedikit jalur pendakian, namun tidak terlalu susah untuk mencari jalur pendakian yang baru, karena gunung papandayan tidak banyak ditumbuhi pepohonan sehingga jarak pandang mata sangat luas.

Setelah kurang lebih 2 jam berjalan akhirnya sampai juga di pondok saladah. Kami bertemu juga dengan para pendaki dari komunitas lain yang akan nge-camp disini. Pondok saladah merupakan suatu dataran yang berumput dan terdapat air yang bisa dikonsumsi dan cocok sebagai tempat beristirahat bagi para pendaki. Setelah semua tenda berdiri dengan kokohnya dan makan siang, maka kami bersantai ria dan istirahat menikmati angin semilir.

Dari pondok saladah terlihat beberapa puncak Papandayan, sempat agak heran puncak sebenarnya yang mana. Dari kejauhan juga terlihat hutan mati sebagai akibat adanya erupsi di tahun 2002 yang membuat papandayan semakin mempesona.

Malam hari dibawah sinar rembulan yang terang, udara mulai terasa dingin, kami membuat perapian untuk menghangatkan badan, agar tidak terlalu dingin kami pun bernyanyi ria sambil bersahutan sehingga angin yang menusuk tidak terasa dingin.

Minggu, 21 Oktober 2012 — tracking berlanjut

Tracking selanjutnya adalah padang tegal alun. Tracking ini akan kami tempuh kurang lebih selama satu jam. Karena beberapa teman tidak ikut untuk track ini, maka kami tugaskan mereka untuk packing semua perlengkapan hehe..

Track menuju tegal alun sangat terjal, kami melalui bebatuan besar sebagai pijakan untuk naik, mungkin jalur itu merupakan jalur aliran sungai yang kering. Cuaca sangat cerah dan terik, tapi tidak mematahkan semangat untuk melihat edelweis yang tumbuh subur di tegal alun. Selama perjalanan, semua asik narsis berfoto ria, karena view nya baguus banget.. hehe

Setelah turun kembali ke pondok saladah, teman yang menunggu di pondok saladah ternyata sangat teladen karna sudah menyelesaikan tugas yaitu membereskan semua perlengkapan. Dan setelah istirahat sejenak kami langsung bersiap untuk pulang kembali ke Jakarta.

Banyak hal kami rasakan, mulai dari pertemanan, sukacita, pemandangan yang luar biasa dan kesan yang tak kan terlupakan sepanjang perjalanan ke gunung Papandayan. Mendaki sampai ke puncak tanpa ada kata menyerah, menghilang sejenak dari peradaban kota yang penuh sesak, mendengar bisikan angin dan menyatu dengan alam, menghirup udara segar yang takkan didapat di kota yang penuh polusi. Semangat mendaki gunung semoga mengalir sampai semangat untuk tetap mendaki mimpi yang lebih tinggi dari gunung.

Categories
News

Just Say Hello

say hello