Niat untuk mendaki Gunung Sinabung pupus sudah. Desember telah tiba, dan Sinabung masih belum selesai berdentum memuntahkan material vulkanik dari perutnya. Gunung Sibayak menjadi pilihan lain. Di Sumatera Utara, Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak sudah lama menjadi primadona di kalangan para pendaki gunung. Bahkan saat ini, tidak hanya pendaki saja yang bisa sampai di puncak Sibayak, pemerintah daerah setempat telah membuat jalan mulus sampai tiba di tubuh Sibayak, sehingga jalur ini dapat dilalui oleh mobil.
Gerbang pendakian Gunung Sibayak ada tiga jalur pendakian. Rute pertama bisa dilalui dari kaki Gunung Sibayak di Desa Raja Berneh atau sering disebut sebagai Desa Semangat Gunung. Desa ini berjarak 15 km dari Berastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas yang tersebar di sekitar kaki gunung. Di desa ini juga terdapat PT Pertamina yang memanfaatkan sumber panas bumi.
Jalur kedua dapat ditempuh dari kaki Gunung Sibayak dari Desa Jaranguda. Desa ini sangat dekat dari kota Berastagi yakni hanya berjarak 3 km. Bagi pendaki atau wisatawan lebih banyak memilih jalur ini.
Jalur ketiga yang terkenal cukup ekstrim adalah jalur 54 yang ditempuh dari kawasan Penatapan yang terletak di jalan raya Medan-Berastagi. Jalur ini berada di KM 54 dari Medan menuju Berastagi. Jalur ini merupakan rute terpanjang dan tergolong ekstrim. Bagi pemula tidak disarankan untuk mendaki lewat jalur ini.
Kebetulan, teman-teman saya juga lagi berada di Medan saat tanggal nanjak ditetapkan. Jadi kami sepakat Berastagi sebagai meeting point. Awalnya terjadi perdebatan diantara kami, apakah menginap dan mendirikan tenda di area perkemahan Gunung Sibayak atau pulang hari itu juga. Namun, karena berbagai pertimbangan, maka kami putuskan untuk melakukan perjalanan pulang hari itu juga.
Gunung Sibayak berada di ketinggian 2.212 mdpl, lebih rendah dari Gunung Sinabung. Pendakian Gunung Sibayak sangat cocok untuk para pemula,apalagi melalui jalur dari Desa Jaranguda. Kami memutuskan naik dari Desa Jaranguda dan turun lewat Desa Raja Berneh. Gunung Sibayak tergolong gunung berapi aktif mengeluarkan belerang. Gunung ini sempat meletus disekitar tahun 1800.
Persiapan kami tidak terlalu banyak karena akan pulang hari itu juga.Kami membawa bekal siang dan pakaian anti hujan. Pakaian anti hujan dan pakaian ganti menjadi prioritas saat itu karena dipenghujung Desember sudah sering terjadi hujan ekstrim. Berangkat menapaki aspal yang meliuk mengikuti jalan. Langkah kami harus terhenti sejenak ketika ada mobil angkutan yang melewati kami. Terlihat beberapa bule kece didalamnya. Namun kami masih bertekad untuk berjalan kaki sampai gerbang pendakian.
Pandangan sedikit berkabut sisa embun yang belum sirna ketika kami memulai pendakian. Ladang penduduk di kiri kanan yang kami lewati tersusun rapi. Kebanyakan mereka menanam daun bawang. Jalur pendakian ini masih mulus. Kami berjalan santai dan sesekali menyapa pendaki lain yang telah turun.
Pukul 10 pagi kami berada di gerbang pendakian. Setelah mengurus administrasi, kami bergegas naik. Perjalanan santai sambil menikmati udara segar menjadi pilihan yang menyenangkan. Hari itu cuaca pagi juga bersahabat, tidak telalu terik dan tidak mendung. Kami masih menyusuri jalan beraspal.
Jalan beraspal kemudian terputus di tengah jalan karena ada beberapa longsor yang disebabkan hujan deras yang mengguyur seputar gunung belakangan ini.
Mobil yang tadi melewati kami juga akhirnya terhenti di penghujung jalan beraspal. Kami terus melanjutkan perjalanan. Setelah tiga jam perjalanan, kami tiba di bukit kapur. Disini terdapat area yang datar walaupun tidak seluas surya kencana di Gunung Gede, tapi cukup menampung puluhan penenda. Mungkin disini biasanya orang mendirikan tenda, tapi kami tidak melihat ada tenda disekitar sini, hanya sampah-sampah yang terserak dan bekas perapian. Selain dsini, pendaki juga senang mendirikan tenda di lembah dekat kawah Gunung Sibayak.
Kami beristirahat disini sebelum menembus hutan. Bekal kami keluarkan. Sambil menahan terik kami menikmati makanan, karena kami tidak membawa tenda sama sekali.
Perjalanan selanjutnya adalah melewati hutan khas hutan hujan tropis yang menyelimuti Gunung Sibayak. Jenis pepohonan disekitar gunung ini selain kayu-kayu yang menjulang ternyata banyak jenis palem yang berduri. Saya beberapa kali terpaksa meringis menahan sakit tertusuk duri saat berpegangan.
Jalan menuju puncak Sibayak sudah terdapat anak-anak tangga dari semen. Namun, tangga-tangga ini terkadang menyulitkan karena menjadi sumber genangan air karena tangga yang berlubang tergerus endapan air hujan. Sesekali kami harus menunduk karena jalan ditutupi oleh dedaunan palem yang rendah.
Setelah melewati anak-anak tangga itu, maka akan terdengar desingan suara yang keluar bersamaan dengan asap belerang di kawah Gunung Sibayak. Melewati area ini, saya kembali teringat ketika melakukan pendakian ke Gunung Papandayan di Garut. Terdapat beberapa lubang yang mengeluarkan asap belerang. Bau belerangnya tidak sepekat di Gunung Papandayan. Kami berdiam sejenak di sekitar kawah sambil menikmati eksotisme suasana gunung. Menikmati deretan bebatuan di puncak gunung disebelah kiri menambah eksotisme gunung ini.
Bebatuan di sekitar kawah ini sangat menawan. Berfoto mengabadikan kebersamaan bersama sahabat menjadi momen yang tak terlewatkan. Hehe..
Puncak Sibayak sudah tak jauh dari kawah. Butuh perjalanan sekitar 15-30 menit untuk menuju puncak yang bernama tapal kuda. Sebenarnya ada tiga puncak yang terbentuk di Gunung Sibayak namun yang paling sering dijalani adalah puncak tapal kuda. Kami melewati beberapa pendaki yang mendirikan tenda di sekitar lembah dekat kawah. Cuaca semakin sore semakin mendung. Tiba di puncak, kabut tebal menyapa kami. Alhasil pemandangan ciamik dibawah sana tertutup kabut. Di puncak, bebatuan khas gunung vulkanik mendominasi. Karena berkabut, saya hanya menunggu disisi yang datar saja. Beberapa teman masih berusaha menggapai puncak dengan tebing-tebingnya yang curam.
Perjalanan turun kami pilih melewati jalur Desa Raja Berneh. Ternyata jalur ini sangat licin apalagi ditengah perjalanan hujan mulai turun dengan deras. Tidak ada tempat untuk berteduh, akhirnya kami harus rela berbasah-basah ria dan terus menuruni tangga-tangga licin dan rusak itu. hari semakin gelap, kami harus tiba di Desa Raja Berneh sebelum malam tiba.
Hujan di tengah hutan sangat menyulitkan untuk melangkah. Beberapa kali saya terpeleset dan terkena guratan dari batang pohon yang berduri. Ingin sekali rasanya cepat-cepat tiba di desa. Kata Tommy, kalau sudah keliatan bambu-bambu maka desa sudah semakin dekat. Dan juga suara bising dari panas bumi pertanda perjalanan semakin mendekati desa.
Kami tiba di Desa Raja Berneh dengan basah kuyub. Hari semakin gelap, tapi sangat sayang melewatkan hari itu tanpa singgah di pemandian air panas yang menjadi objek wisata populer di daerah ini. Akhirnya kami memilih untuk berendam sejenak melepas lelah di pemandian air panas. Rasanya segar sekali berendam air hangat ditengah hawa dingin dengan pemandangan kemegahan Gunung Sibayak.
Malam semakin gulita, kami beranjak dari pemandian dan bersiap pulang. Perpisahan kami dipersimpangan jalan menuju Desa Raja Berneh. Air hujan mengguyur kami sekali lagi di perjalanan menuju persimpangan jalan itu. Suara kami riang berteriak memecah guyuran suara hujan. Mungkin desa yang tenang ini menjadi semarak ditengah teriakan riang kami.
Karena beberapa teman memutuskan untuk kembali ke Medan malam itu juga, maka sisanya kami yang pulang ke arah Berastagi sepakat untuk singgah berburu durian… hihiihi..
Daerah ini menjadi sarangnya para pemburu durian saat musim durian tiba. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk berburu durian. Di sepanjang jalan Berastagi telah berjejer penjaja durian. Kita tinggal pilih tempat mana yang lebih nyaman dan durian yang besar dan bagus.
Kami memilih untuk bersantai sambil bersantap durian di sekitar tugu kol Berastagi. Cahaya remang dari lampu pijar yang disematkan diatas tenda penjual durian menambah semarak malam yang dingin ini kawan. Kebersamaan menyantap durian menjadi kenikmatan yang sempurna dikala bau durian lewat menyentuh rongga hidung penguat rasa menjadikan durian menjadi makanan yang sempurna…
Sempurnalah sudah malam ini melewatinya bersama sahabat.
Dulu ketika masih tinggal di Tanah Karo, saya tak pernah sedikitpun tertarik dengan budaya Karo ataupun kesenian Karo. Menurut saya, semua itu hal yang biasa dan tak ada keindahan sedikitpun yang bisa menarik hati saya untuk mengetahui lebih dalam mengenai Karo. Sampai suatu ketika di Bandung, saya kemudian masuk ke suatu komunitas Karo. Awalnya hanya iseng saja, itupun karena sebuah ajakan memaksa dari seorang teman.
Indonesia terkenal dengan kekayaan alamnya. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa untuk bergantung pada alam yang melimpah ruah sejak dahulu kala. Alam yang kaya ini sampai-sampai menjadi rebutan negara-negara lain yang ingin merasakan nikmatnya alam kita ini.
Namun terkadang manusia Indonesia seakan terlena akan kenikmatan alam yang berlimpah. Kelalaian manusianya menjadi ancaman besar bagi kelestarian alam Indonesia. Kesadaran akan pentingnya menjaga alam yang telah menjadi bagian penting dalam hidup Indonesia sering diabaikan. Pelestarian dan menjaga alam bukan hanya tugas pemerintah semata. Kontribusi besar dari masyarakat Indonesia akan sangat mempengaruhi alam kita tetap terjaga.
Keindahan alam Indonesia kini mendunia. Wisata alam Indonesia tak hanya Bali dan Lombok dengan pantainya yang membuat setiap orang berdecak kagum melihatnya. Indonesia kaya akan pegunungan dengan puncak-puncak gunung yang indah. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia dihiasi deretan gunung-gunung yang menyimpan keindahan memukau yang hanya orang-orang yang berani saja yang bisa merasakannya.
… Never take anything but pictures, never leave anything but footprints, and never kill anything but time …
Perjalanan ini memang dadakan dan modal nekad. Belum ada perencanaan sebelumnya, tiba-tiba kami beranjak saja pergi naik busway sampai di kampung rambutan. Setelah browsing, katanya siy bus ke Pangandaran banyak berseliweran di terminal kampung rambutan. Kami sengaja berangkat malam karena akan menghemat waktu dan bisa beristirahat lebih tenang di bus. Saya memang sangat suka perjalanan malam, karena tidak akan berhadapan dengan terik matahari yang menggila dan udara malam itu enak dan adem. Tapi yang ngga enaknya siy saya kurang bisa melihat pemandangan sepanjang perjalanan karena gelap dan mata kantuk.
Sesampainya di terminal kampung rambutan, berdasarkan saran dari bapak supir busway, kami akhirnya menunggu bus Pangandaran di pintu keluar terminal. “Kalau nunggu di dalam terminal suka banyak calo mbak,” kata supir busway. Jam menunjuk pukul 20.00 malam, bus jurusan Pangandaran belum juga terlihat. Dari tadi yang terlihat bus yang ke Tasikmalaya, hmm.. sebenarnya siy dari Tasikmalaya juga bisa, nanti nyambung bus lagi yang ke Pangandaran, tapi berhubung malam dan agak repot untuk gonta ganti bus, kami kekeuh menunggu bus jurusan Pangandaran.
Setelah menunggu sekitar 45 menit, bus itu datang, awalnya saya syok karena waktu melogok ke kaca bus ada cowok bertopeng monyet menyeramkan, saya sempat menarik tangan Anu untuk ngga usah naik, pikiran saya langsung terbang ke cerita-cerita menakutkan tentang perjalanan jauh di malam hari, apalagi kami berdua cewek. Ugghh.. Segera saya tepis pikiran jelek itu dan langsung melangkah memasuki pintu bus, daripada ketinggalan bus dan harus menunggu lebih lama lagi.
Saya arahkan pandangan ke seluruh ruang bus, bus setengah penuh dan cowok bertopeng tadi ternyata anak-anak yang iseng, dia tertawa terkekeh melihat saya yang masih terkejut dan syok. Kami memilih tempat duduk di tengah-tengah, kami lebih bersyukur bus ini tidak kosong, jadi masih merasa aman karena beberapa keluarga menjadi penumpang bus ini, jadi mungkin kami bisa tidur nyenyak malam ini.
Bus yang kami tumpangi ini ternyata bisnis non AC, alhasil angin glebug menghempas tepat di muka saya, kaca bus di buka lebar-lebar oleh seorang bapak diseberang tempat duduk saya. Oh my, kalau begini sampai pagi, bisa-bisa sampai di Pangandaran udah masuk angin duluan. Akhirnya saya pindah ke belakang, dan Anu pindah ke belakangnya lagi. Jadi tidur lebih lega.
Pukul 04.00 pagi kami akhirnya sampai di terminal Pangandaran, sepi.. Ada beberapa warung dan mang tukang ojek yang sudah mondar mandir menawarkan ojek. Kami janji ketemu dengan seorang teman lagi disini, dia dari Bandung ke Pangandaran dan tadi pukul 02.00 dini hari dia sudah sampai di Pangandaran, dan dimanakah dia?
Seorang bapak menyampiri kami, “Neng, ada temannya ya? Dari tadi udah nyampe, nunggu di warnet,” kata bapak itu. Waah, pasti Bang Alex nanya sana sini tadi ke bapak-bapak itu tempat untuk nangkring sembari menunggu kami, hihihi..
Kami duduk sebentar di kayu di depan warnet, ada Si Mbah yang menggendong dan menjajakan nasi kuning. Kata Si Mbah dia mau ke pantai timur, mau jualan nasi kuning. Ah, apa ngikutin Si Mbah aja ya ke pantai timur, tapi Si Mbah jalan kaki. Walaupun udah tua, tapi dia tampaknya masih sangat kuat dan sudah terbiasa menggendong barang dagangannya ke pantai.
Akhirnya kami berkemas dan berniat mengikuti Si Mbah yang sudah menghilang ditelan gelap. Bapak tukang ojek sempat mengingatkan kalau mau ke pantai timur itu jauh, mendingan naik ojek, dan kami merasa itu hanya gurauan bapak ojek saja biar kami pake ojeknya. Nekatlah kami terus berjalan.
Kami kehilangan jejak Si Mbah, waahh.. ternyata walaupun udah uzur, jalannya cepat juga. Kami bertanya sama Aa yang nongkrong di pos jaga.
“Kalau ke pantai timur mah dari sana neng, kalau dari sini ke pantai barat,” Aa itu menjelaskan. Tapi keyakinan saya mengatakan Si Mbah tadi berbelok kearah sini dan dia tadi katanya mau ke pantai timur. “Oiya, dari sini juga boleh sih, nanti jalan terus belok kiri terus luruuus aja, nanti pantai timur setelah melewati cagar alam.”
Kami melanjutkan langkah, jalan subuh-subuh seperti ini memang sudah sangat jarang saya lakukan jadi sekalian olahraga peregangan otot, hehee.. Tadi kata si Aa jaraknya sekitar 2 km, saya masih kurang pintar untuk mengukur jarak 2 km itu jauh apa tidak, jadi kami tetap memutuskan untuk berjalan, apalagi hari juga masih gelap.
Belum lama berjalan, Aa tukang ojek menghampiri kami, dan kami tetap menolak. Dia tetap mengiringi kami, tak terasa dia menemani kami sepanjang perjalanan. Dia banyak cerita sana sini, saya sampaikan juga niat saya untuk ke Green Canyon, dan dengan bangga dia menunjukkan fotonya di handphone yang sedang bergaya di Green Canyon. “Naik ojek saja kesana, 100 ribu satu hari penuh, mau kemana saja saya antar deh!” rayunya. “Nanti sekalian juga ke pantai pasir putih, batu hiu, Green Canyon, Citumang, gimana?” “Aaahh, Aa mahal banget!!” kataku tersentak. Belum lagi biaya kapal untuk masuk Green Canyon yang kata si Aa udah naik. Nekad kesini juga ga bawa uang lebih. Huh, dengan berfikir keras menimbang-nimbang apakah harus tetap ke Green Canyon apa disini saja, kami tetap mengayun langkah.
Nafas saya mulai tersengal, kata Aa ojek, ini masih setengah jalan. “Kita masih belum melewati cagar alam, jadi perjalanan masih setengahnya lagi,” kata Aa ojek sambil menunjuk-nunjuk peta yang terpampang di tepi jalan. Dia dengan luwes juga sempat menjelaskan isi peta itu, dimana kami berada saat ini dan apa saja yang bisa kami eksplor di tempat ini.
Kami masih bertahan tidak naik ojek, dan Aa ojek juga bertahan mengiringi kami berjalan. “Matahari udah mau terbit, ayo naik ojek aja, takut telat ketemu matahari terbitnya,” dia masih mencoba melobi kami. Haha…
Setelah berjalan hampir satu jam, yah.. satu jam dan kami tidak menyadari itu, hari sudah terang benderang, tapi tak ada matahari yang menyembul. Pagi ini memang masih mendung, tadi malam hujan deras di daerah ini. Hal itu juga yang membuat kami mengurungkan niat ke Green Canyon. Katanya sih kalau baru selesai hujan, Green Canyon sudah ngga green lagi tapi brown.
Kami memilih saung yang sekaligus tempat menyandarkan kapal-kapal nelayan di pinggir pantai. Pantai timur terlihat tenang pagi ini, sangat berbeda dengan pantai barat yang kami lewati tadi, ombak menerjang-nerjang pantai dan mengamuk. Yang unik di pantai Pangandaran ini, kita bisa menyaksikan sunrise dan sunset. Sunrise bila beruntung bisa kita nikmati melalui pantai timur dan sunset bisa kita lihat dari pantai barat. Pantai timur dan pantai barat ini hanya dipisah oleh cagar alam yang berbentuk tanjung yang menjorok kearah laut.
Hari ini sudah kami putuskan untuk menikmati waktu disepanjang pesisir Pangandaran ini. Ada Pak Iyus, orang Bandung yang sudah menetap di Pangandaran hampir 20 tahun. Beliau yang akan menemani langkah kami hari ini. Setelah sarapan, kami siap-siap untuk beraktivitas.
Kapal kami melaju membelah tenangnya laut. Alat snorkel sudah terpasang dikepala dan kami siap nyebur, Pak Iyus memilih spot terbaik untuk snorkeling tak jauh dari batu layar. Batu layar adalah batu raksasa yang berdiri tegak di pinggir laut dan sisi bawahnya sangat tipis namun tetap kokoh menopang batu besar itu. Bentuknya kalau dilihat dari sisi depan seolah-olah mirip gajah.
Pagi-pagi udah nyebur ke laut bbbrrrr… dingin!
Kali ini kami beruntung, banyak ikan yang berseliweran dibawah sini. Air yang tenang juga sangat membantu, karena kami bisa dengan santai menikmati ikan warna-warni di sela-sela terumbu karang. Eh, ada kapal lewat berisi wisatawan memenuhi kapal itu, tetapi mereka ngga mau nyebur, hanya say heloo saja dan berlalu dari tempat kami snorkeling.
Setelah puas snorkeling, kami menepi di cagar alam. Tepat ketika kapal kami mendarat di tepian pantai, hujan rintik-rintik mulai turun. Dengan gesit Pak Iyus mendorong kapal ke pinggir dan kami berlari ke teras bangunan yang juga biasa dijadikan tempat menginap bagi pengunjung yang ingin menginap di sekitar cagar alam ini.
Sementara kami berteduh, monyet-monyet yang tadi bergelantungan di pohon mulai turun dan mendekati kami. Pak Iyus melempar gorengan dan roti yang kami bawa. Tak mau kalah, beberapa rusa ikut menghampiri. Karena tidak berani memberi makan langsung, saya suruh Pak Iyus saja yang memberinya makan, hehehe…
Hari ini kami puas menjelajah goa yang saya ceritakan disini. Hari sudah siang, namun kami masih enggan beranjak dari Pangandaran. Tujuan kami selanjutnya memang Ciamis, ada acara nikahan temannya Anu besok. Kami masih mau menunggu senja disini.
Karena hari ini bukan hari libur atau akhir pekan, jadi tempat ini sangat sepi, tapi itulah yang saya cari. Saya tidak butuh keramaian untuk merayakan keindahan alam ini, saya menikmati sepinya suasana pantai ini. Karena letih menjelajah goa, kami tepar di saung dermaga di tepi pantai timur. Kapal-kapal bersandar di dermaga bambu ini. Kami rebahan, karena kecapekan dan disapu angin sepoi kami pun terlelap.
Saya terbangun ketika seorang bapak dan anak muda menghampiri kami. Mereka turun ke dermaga dan mulai menyalakan kapal. Si bapak ternyata mau memancing di kapal di tengah laut itu, sedangkan anak muda itu mau ke pantai pasir putih, katanya sih mau memperbaiki kapal yang bocor. Kami diperbolehkan ikut, jadi kami sangat bersemangat dan hoop.. melompat ke kapal.
Ternyata kapal bocor itu kapal Pak Iyus yang kami tumpangi tadi, dan anak muda ini adalah anak Pak Iyus. Pak Iyus sudah menunggu perlengkapan yang dibawa anaknya dan siap memperbaiki kapal. Sementara Pak Iyus memperbaiki kapal, kami kembali mengeksplor pulau ini. Kami baru mau beranjak setelah hari sudah semakin sore, karena takut ketinggalan angkutan ke Ciamis kami memutuskan tidak menunggu senja di pantai barat, tapi kami langsung ke terminal dan menaiki elf ke Ciamis.
Saya baru tahu ternyata Pangandaran mempunyai beberapa goa setelah Pak Iyus mengajak untuk menjelajahinya. Pengalaman memasuki goa bukan yang pertama, namun masuk ke goa menjadi pengalaman menakjubkan bagi saya. Sebelumnya saya pernah memasuki goa di pedalaman Tasikmalaya. Goa itu tidak dikelola menjadi tempat wisata, bahkan jalan menuju kesana tidak ada, kami membuat jalan sendiri. Jadi aroma goa yang pernah saya datangi dulu seperti mencuat kembali disela rongga-rongga tenggorokanku.
Kami mulai beranjak ketika tanda-tanda hujan mulai mereda. Namun beberapa langkah memasuki hutan, hujan mengguyur bumi lagi, secepat kilat kami berlari kembali ke pondokan untuk berteduh, tapi tetap saja basah sudah menguasai sekujur tubuh. Dengan sedikit menggigil kami mengunyah gorengan yang masih hangat, lumayan untuk menghangatkan tubuh.
Walau hujan masih rintik kami memutuskan untuk menembusnya. Kami bela-belain basah karena memang sudah terlanjur basah. Kami melangkah mengikuti Pak Iyus. Langkah awal menyusuri hutan itu, disebelah kiri terdapat sungai kecil berair tawar. Kata Pak Iyus air sungai ini berhulu dari mata air yang ada di Goa Rengganis.
Setibanya di depan mulut Goa Rengganis, saya terdiam sejenak. Ada aura mistis yang saya rasakan namun adem dan sejuk sekali. Dasar goa ini digenangi air tawar yang sejuk dan tenang. Goa dan mata air ini konon katanya berawal dari sebuah legenda petilasan Ibu Dewi Rengganis. Rakyat sekitar juga percaya bila membersihkan badan disini akan berkasiat dan awet muda. Pak Iyus juga mengatakan begitu, namun karena hujan dan basah kuyup kami tidak masuk ke dalam Goa.
Kami melanjutkan perjalanan ke Goa Keramat/Parat. Konon goa ini merupakan tempat bersemedinya para keluarga pangeran Mesir yaitu Syech Ahmad dan Syech Muhammad yang ditugaskan untuk mengajarkan agama islam di daerah ini. Kemudian di depan goa dibuat dua petilasan untuk Syech Ahmad dan Syech Muhammad oleh penduduk yang menerima ajaran. Petilasan ini bukan kubur namun untuk mengenang kedua pangeran yang menghilang tanpa diketahui keberadaannya.
Hal yang unik di dalam goa ini terdapat stalaktit yang mirip seperti alat kelamin perempuan dan laki-laki. Mitosnya stalaktit ini manjur bagi yang sedang mencari jodoh, untuk lelaki pegang stalaktit yang berbentuk mirip alat kelamin perempuan dan demikian sebaliknya, perempuan pegang stalaktit yang berbentuk mirip alat kelamin laki-laki. Selain itu, ada juga stalaktit yang berbentuk paha ayam dan batu yang berkilat-kilat ketika sinar handphone saya sorotkan. Unik sekali sekaligus indah, seperti permata yang berkilat-kilat.
Goa ini lumayan panjang dan tembus ke mulut goa yang lain. Saya memang tidak bisa menunjukkan foto dari bentuk stalaktit di dalam goa ini, karena goa ini sangat gelap dan kemampuan kamera saya yang terbatas ( hehe..). Karena tidak ada persiapan memasuki goa yang gelap, cahaya dari handphone satu-satunya menjadi penerang bagi jalan kami di gelapnya goa ini. Yah, ini adalah kegelapan abadi.
Oiya, masih ada yang menarik mengenai Goa Keramat/Parat ini. Kami bisa melihat landak dipojokan goa yang gelap. Landak itu memang pemalu, dia bersembunyi dilubang kecil disudut goa. Selain itu ada kelelawar yang menggelantung dan sebagian beterbangan diatas kami. Goa Keramat/Parat ini merupakan gua yang terpanjang disekitar cagar alam ini. Yang lainnya hanya beberapa meter saja dan tidak sampai gelap sempurna seperti goa ini.
Setelah menyusuri goa ini kami keluar dari mulut goa yang satunya, di depan mulut goa ini terlihat dua berbentuk nisan, mungkin inilah yang dimaksud dengan petilasan itu. Kami melanjutkan penjelahan kami menapaki jalan kecil disela pepohonan.
Kami tiba di Goa Miring, kenapa dikatakan Goa Miring? Untuk memasuki goa ini, kita harus memiringkan badan kita karena celah memasuki goa ini sangat sempit. Kalau saya amati, goa ini seperti bongkahan batu raksasa yang terbelah dan membentuk celah yang sempit dan terbentuk ruang didalam pecahan batu itu. Goa ini kecil, jelas terlihat dari sempurat sinar matahari dari ujung goa yang tak lain dari mulut goa seberang sana. Goa ini dekat dengan pantai, hempasan ombak bisa terdengar samar dari sini. Hal yang unik yang kami temui di dalam goa ini adalah stalaktitnya yang berbentuk pocong. Di dinding goa juga kami melihat susunan batunya menyerupai tulang belakang manusia, bentuknya sangat mirip.
Setelah puas menelusuri setiap sudut Goa Miring, kami melipir ke Goa Lanang. Berjalan kaki mengitari hutan, beranjak dari satu goa ke goa yang lain memang agak menguras tenaga, apalagi kami berhujan ria. Pakaian di badan agak berat, tapi untunglah cuaca mulai membaik di tengah perjalanan. Untuk menuju goa ini, kami harus melewati beberapa anak tangga. Yaa… memang Goa ini agak berbeda dengan goa yang lain, posisi mulut goa vertikal, namun tidak terlalu dalam.
Setelah sampai dibawah dan menyelesaikan anak tangga terakhir, saya terkesiap dan takjub. Di depan saya terdapat mulut goa yang sangat besar dan luas. “Disini sering dijadikan lokasi syuting film laga,”kata Pak Iyus. Yaa.. memang terlihat beberapa bekas di goa ini menunjukkan sering terjadi beberapa aktivitas. Kami beristirahat sebentar di goa ini. Karena mulut goa vertikal maka sinar matahari sempurna masuk ke dalam goa. Suasana goa bersih dan sepertinya memang sering dibersihkan. Terdapat perapian juga di pojok sana. Kalau dipikir-pikir tempat ini cocok juga menjadi tempat berteduh sambil menyalakan perapian.
Goa ini dulu merupakan kerajaan Penanjung dengan rajanya bernama Prabu Anggalarang dan permaisurinya Dewi Rengganis. Prabu Anggalarang merupakan lelaki yang gagah dan sakti sehingga dijuluki “Sang Lanang” dan goa ini merupakan tempat tinggalnya sehingga disebut Goa Lanang. Goa Lanang ini menjadi keraton kerajaan Galuh pertama. Di goa ini ada batu gamelan yang bila ditabuh dengan tangan akan mengeluarkan nada seperti gamelan. Selain itu stalaktit indah terdapat di goa ini. dari stalaktit yang besar dan bertebaran di sekitar goa ini menunjukkan goa ini sudah berdiri tegak selama berabad-abad lalu.
Ada satu lagi goa yang akan kami masuki yaitu Goa Jepang. Perjalanan menanjak ternyata tidak gampang. Kami harus sangat hati-hati karena jalanan sangat licin habis diguyur hujan. Karena wilayah ini merupakan cagar alam, selama perjalanan menjelajah goa ini kita bisa menyaksikan monyet-monyet yang dengan bebas menggelantung di pepohonan. Dan yang menakjubkan lagi, ketika hampir sampai di Goa Jepang, kami bertemu dengan biawak dan rusa yang bersantai di sela-sela dedaunan. Mereka bergerak bebas tanpa merasa terusik. Diam-diam saya memotret mereka.
Goa Jepang dikawasan ini dibuat pada masa Perang Dunia Kedua (1941-1945) dengan menggunakan kerja paksa atau Romusha selama kurang lebih satu tahun. Keunikan dari goa ini adalah dibuat dibawah bukit kapur dengan dinding batu karang dan pintu goa berbentuk persegi empat. Pada bagian akhir goa ini terdapat tangga yang berakhir dengan lubang kecil sebagai tempat untuk berlindung. Secara sepintas memang lubang goa ini tidak terlihat.
Penyusuran Goa berakhir ketika kami melewati Batu Kalde. Batu ini merupakan situs peninggalan sejarah pada masa kerajaan Galuh. Namun sayangnya, bebatuan peninggalan sejarah ini kurang terawat dengan baik dan terserak. Di sisi yang lain terlihat beberapa makam tanpa nisan. Menurut saya, mungkin berapa dekade silam terdapat peradaban penting di daerah ini, namun sejarah yang mahal ini masih kurang terawat dan kurang perhatian.
Setelah sampai di homestay, saya langsung merebahkan diri di dinding dekat kamar, mendekati kipas angin yang mengirim sedikit kelegaan setelah hampir tiga jam terpanggang matahari seperti cerita saya disini..
Makanan sudah terhidang, rasa lapar memang sudah terasa, sarapan tadi pagi masih belum nendang dan tak bisa menahan perut lebih lama, hehehe..
Kami lahap menyantap makanan yang sudah disiapkan pemilik homestay, selain rasanya yang nikmat menggoyang lidah, rasa lapar karna lelah sangat mendukung. Tak berlama-lama kami beristirahat di homestay, aroma laut sudah memanggil-manggil dari tadi, jadi bergegas kami ke dermaga dan goo…!
Perahu perlahan meninggalkan dermaga dan menuju pulau-pulau yang akan kami selami. Ada beberapa pulau kecil yang berada di sekitar Pulau Harapan, dan terumbu karang di sekitar pulau-pulau itu terkenal ciamik. Tak perlu berlayar terlalu lama, sekitar setengah jam perjalanan kami sudah sampai di spot yang bagus untuk menikmati indahnya etalase laut itu. Seorang awak kapal menyebur untuk memastikan bahwa tempat perhentian kami ini memang spot terbaik di sekitar pulau kecil ini.
Perlengkapan snorkeling siap terpasang dikepala dan mulut, dan byuurr… satu persatu melompat dari kapal dan mulai asyik menikmati indahnya alam Indonesia. Bagaimana tidak bersyukur kita punya alam seindah ini di Nusantara, sampai-sampai alam indah ini membuat iri negara-negara sebelah. Alam sudah menyuguhkan beribu pesona tak terbantahkan dan sekarang tugas kita untuk menjaga alam ini tetap lestari dan terhindar dari pengrusakan liar, yah paling tidak berkunjung tanpa merusak harmoni biota yang sudah ada.
Beberapa spot terbaik untuk menikmati terumbu karang di sekitar Pulau Harapan seperti Pulau Kayu Angin Sepa, Pulau Bira, Pulau Bulat, Pulau Papatheo, Pulau Pelangi. Tapi spot terbaik bagiku menikmati coral-coral yang paling bagus itu ada di Pulau Bira. Ada juga Pulau Kotok yang sering dijadikan tempat diving para diver.
Kegiatan snorkeling ini memang memancing rasa lapar cepat muncul kembali, kapal kami kembali melaju ke tepian sebuah pulau. Pulau ini terdapat dua warung yang biasa menjadi tempat persinggahan bagi para wisatawan yang asyik snorkeling di dekat pulau ini. Pulau ini kecil dan tak berpenghuni. Selain kami ada juga komunitas lain yang singgah ke pulau ini. menikmati gorengan dan air kelapa muda memang nikmat sambil memandang ke laut lepas… hihihi..
Agak lama kami bersantai di pulau ini, yah sekalian menunggu teman-teman yang lain yang penasaran untuk mengeskplor pulau ini. Bermain air laut yang putih bening menyapu bibir pantai berpasir putih satu simponi yang indah, menikmati surga yang mungkin esok takkan sama lagi.
Puas menikmati pulau ini, kami kembali beranjak ke kapal dan melipir ke pulau yang lain, ombak agak mengguncang kapal kami sore itu, tapi tak ada yang gentar, pulau-pulau itu masih menanti untuk di eksplor, hihi..
Sore telah datang, kami baru naik ke kapal, tak terasa rasa lelah telah menggelayut setiba diatas kapal, sang mentari perlahan meninggalkan peraduannya di bagian barat, kapal kami bergerak dengan perlahan, hening itu yang saya rasakan, kami bener-bener menikmati aroma sunset walau menikmati sunset di tengah jalan diatas kapal. Kami menikmati setiap detik pergerakannya sampai sisa-sisa binarnya masih terasa ketika kami menginjakkan kami kembali di dermaga Pulau Harapan. Rasa senang tentu saja menghiasi senyum kami sore itu.
Saya ingat, kamar mandi di homestay hanya dua dan kami ada sekitar 10 orang cewek, jadi saya memilih leyeh-leyeh dulu bersama Tommy di dekat dermaga. Disini ada semacam pasar malam kecil yang menjual aneka ragam makanan. Kami sengaja mencari makanan yang khas tapi tidak ada, tidak ada yang unik di deretan makanan-makanan itu. Akhirnya saya dan Tommy memilih melahap gorengan di pinggir jalan disamping dermaga..Ehhmm.. yummmyy..saya menyantap gorengan yang masih panas sambil meniup-niupnya biar cepat dingin. ( ngga tahu lapar apa emang doyan, hahaa.. 😀 )
Karena capek banget, jadinya tidur pun nyenyak, pagi hari berasa cepaat banget datangnya. Kami bergiliran mandi. FYI, air di kamar mandi homestay di pulau ini tidak tawar, asin, jadi walaupun udah mandi tapi masih berasa kurang segar, hihihi.. jadinya rambut yang dikeramas kalau diraba berasa kasar.
Setelah voting, kami sepakat hari ini kami tidak akan snorkeling, sebagian bilang sudah puas sebagian bilang sudah capek, jadi kami putuskan hari ini benar-benar menikmati pulau dan bibir pantainya. Segera berangkat, kami bergegas kembali ke dermaga. Bapak pemilik kapal kami bersama tiga orang anaknya sudah menunggu kami.
Kali ini saya duduk dekat bapak pemilik kapalnya ( saya lupa nama bapaknya, huhu..). Bapak banyak cerita mengenai rumahnya yang nun jauh di seberang lautan sana. Pulau Sebira sekitar 4-5 jam dari Pulau Harapan. Disana pulaunya lebih bagus dan lebih jernih katanya, terumbu karangnya juga jauh lebih bagus. Oooo… saya hanya bisa manggut-manggut, saya pikir Bapak warga Pulau Harapan, ternyata dari pulau yang kalau dipandang dari sini takkan terlihat digaris batas pembelah langit dan bumi. “Disana sudah ada air tawar, jadi kalau mandi ngga perlu pakai air asin lagi,”katanya pula. Widiih, kok lebih canggih yah daripada Pulau Harapan.
Bapak ini lantas mengundang kami untuk datang ke rumahnya, mau siiyy.. tapi,.. tapii.. jauuh banget, butuh satu hari waktu untuk perjalanan saja.. hmm… mungkin lain waktu ada kesempatan kesana.
Kami telah sampai di satu pulau, hari ini kami bebas keliling pulau. Kami menyebar, mencari spot bagus untuk foto-foto (biasaa narsis hehe..). Eh, tiba-tiba nemu pantai ini, ada tempat duduk yang sengaja dibangun di tepiannya. Saya tak melihat sedikitpun jejak kaki dsini, tandanya belum ada yang menginjak pantai ini yah paling tidak sepanjang hari ini, suasana sepi, suara teriakan terdengar samar disebelah sana, tapi suara ombak yang menghempas pantai lebih terdengar jelas. Angin yang semilir mengelus kulit terasa lembut dan bau pantai yang khas. Nikmat banget dan sejenak saya hanya terdiam dan menatap jaauuuh.. Tatapan terhentak seketika waktu teman-teman berlarian dan berteriak histeris ke pantai tempat saya berdiam itu, seketika pula pantai itu menjadi ramai.
Hari ini kami hanya setengah hari. Tengah hari kami harus kembali ke Jakarta. ada dua kapal penumpang yang siap mengangkut penumpang untuk dihantarkan ke Jakarta siang ini. kapal yang kami tumpangi terlihat semakin penuh. Saya menduga siang ini matahari akan sangat garang bersinar jadi saya minta Tommy agar kami ambil posisi duduk di dalam kapal saja, tapi Tommy menolak dan memilih nangkring diatap kapal, uugghh.. nurut juga deh, daripada pisah, ga asik banget apalagi kapal kami semakin sesak dipenuhi penumpang. Ternyata peminat diatap kapal cukup banyak, sampai kami berebut space dengan tiga orang bule Jepang (dari bahasanya siy Jepang, kok sok tau gini yah hihi).
Setelah lama menunggu, akhirnya kapal melaju, karena kami berada diatas atap dan ombak siang ini lebih ganas dari kemarin, jadi kami terombang ambing diatasnya, sebagian berteriak samar ketika kapal diayun ombak, kami ternyata harus dipanggang kembali, uughh.. saya coba untuk tidur ditutupi handuk lembab, tapi tidak bisa,ombaknya terlalu tinggi untuk menina bobokkan saya, haha… Eh, tapi ada bonusnya ketika saya tidak tidur dan menikmati sepanjang perjalanan pulang ini, mau tauuu… hihi.. sepasang lumba-lumba mulut botol melompat beriringan tepat di sebelah kapal kami. Huuuaahh.. bonus banget ini mah. Lumba-lumba ini tanpa malu menunjukkan keanggunannya dan beberapa kali menampakkan diri. Hmmm.. I love Indonesia. ^^
Ini lanjutan cerita saya dari yang sebelumnya disini
Hari yang ditunggu tiba, semua persiapan matang. Yang salah, ternyata Rano lupa mengkonfirmasi kepada ibu warung untuk menyediakan nasi untuk sarapan dan makan siang. Kami sepakat berangkat tengah malam. Ini bukan tak disengaja, kenapa? Tentu masih berkaitan dengan istilah ekonomis, hehe.. kami tak rela mengeluarkan kocek lebih dalam demi penginapan yang ditempati hanya beberapa saat saja. Jadi kami putuskan tidak menginap dengan cara menargetkan tiba di tujuan pagi hari. Maka kami sudah pesankan ke driver bus untuk menjemput kami pukul 12 malam.
Rano panik, ibu warung tak bisa dihubungi, panggilan telpon yang dilakukan berulang kali tidak diangkat, bahkan SMS yang dilayangkan Rano juga tidak mendapat balasan. Tidak mau mengambil resiko untuk iseng-iseng berhadiah mudah-mudahan si Ibu memasakkan kami sarapan, segera keputusan untuk memasak sendiri nasi kami lakukan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Teman-teman semakin rame berkumpul. Yeah.. saya belum bilang ya, kami berangkat sekitar 60 orang kali ini. Suatu keputusan nekad pula memasak sendiri bekal untuk nyawa 60 orang. Karena belum ada kepastian dari ibu warung, terpaksa Rano dan beberapa teman beli beras dan mulai masak. Sambil menunggu teman semua komplit, nasi menunggu matang. Suara semakin riuh seiring bertambahnya manusia yang berkumpul. Ibu warung itu membalas SMS Rano hampir ketika tengah malam, sudah tentu agak telat karena nasi sudah bertegger di kompor, akhirnya kami hanya memesan nasi untuk makan siang besok kepada si Ibu.
Kami berangkat pukul setengah dua dini hari, meleset dari perkiraan. Bus melaju menembus gelapnya malam. Tentu perjalanan mulus tanpa ada macet sedikitpun. Ini tengah malam. Jalanan sepi. Mata saya semakin tertahan dan meredup dan seketika terlelap. Saya sama sekali tak merasakan situasi malam yang kami lewati sampai saya tersentak mendengar teriakan histeris teman-teman. Mata saya terbuka mendadak, saya melihat teman-teman melihat keluar lewat jendela bus. Apa yang mereka lihat, semua gelap, mata saya tak bisa menembus gelapnya malam dibalik jendela bus itu, saya juga tak terlalu tertarik untuk melirik lebih dekat. Ah, paling pekikan teman-teman yang ga sabar untuk sampai di pantai, pikirku. Mata saya yang mulai redup kembali tersentak ketika pekikan itu terdengar histeris dengan kata BANJIIR…
Saya melompat mendekati jendela bus, kuusap-usap jendela yang berkabut. Ternyata hujan yang mengguyur Banten menyebabkan banjir dimana-mana. Sangat memperihatinkan. Banjir meluap sampai setengah badan bus, kasian rumah-rumah yang mengambang di pinggir jalan. Jalanan sudah tak terbedakan dengan selokan. Bus bergerak pelan beriringan dengan mobil di depan dan di belakang kami. Hujan deras masih enggan berhenti, saya sedikit khawatir acara hari ini akan hancur berantakan terguyur hujan.
Ini memang diluar dugaan, cuaca hari ini memang sangat berbeda dengan minggu lalu ketika kami melakukan survey ke daerah ini, semua tampak cerah, warna langit yang biru memantulkan warna nya dilaut lepas dan melukiskan warna cerah bersih. Dan kini, semua berbeda. Huh, saya kembali terlelap, banjir itu sekitar pukul tiga dini hari.
Setelah perjalanan lamban terjebak banjir, akhirnya hujan deras berhenti ketika hari menjelang pagi, ini tentu pertanda baik. Acara yang kami susun dengan apik menuju sinyal akan terlaksana dengan baik. Saya merasakan bus membelok ke kanan dan tak lama berhenti di tempat parkiran. Pukul 04.45 kami tiba di Pantai Pasir Putih Carita. Sepi, bahkan petugas di posko tiket masuk juga tak ada. Kami main masuk saja dan mengambil posisi paling cocok untuk parkir. Sebagian turun dari bus, meregangkan tubuh yang sedari tadi kaku terduduk di bangku bus.
Diluar masih gelap gulita. Saya enggan keluar, mata saya masih tertarik dan nikmatnya tidur masih terasa. Saya biarkan tubuh saya terkulai di dudukan bus, hiruk pikuk teman-teman saya hiraukan saja, waktu untuk tidur masih berlangsung. Pukul 06.00 saya terbangun, mengucek mata dan menyegarkan badan. Saya segera turun dari bus, melihat ke sekeliling, masih sepi juga. Saat itu pandangan sudah jelas terlihat. Suara deru ombak juga jelas terdengar, tampaknya ombak laut saat ini lagi tinggi, saya bisa prediksikan berdasarkan suara ombak yang menerjang pantai dengan kasar. Mungkin memang pengaruh hujan deras tadi malam.
Tak lama, lelaki setengah baya menghampiri kami.
“Neng, bayar uang parkir..,” katanya sambil menunjukkan tiket masuk untuk bus seharga 600ribu Rupiah.. “WHAATT! “ saya tersentak membelalak melihat angka di lembaran yang masih digenggamnya. Naluri tawar menawar saya mulai bergerak. “ Pak, ini kan bulan puasa, saya yakin tidak akan rame orang yang liburan, apalagi ke pantai,” celetuk saya. Oh tuhan, agak susah tawar menawar dengan si Bapak. Kami hanya berhasil menawarnya menjadi 500ribu Rupiah. Padahal jurus jitu sudah saya keluarkan, ah lumayan deh. Bener saja sampai siang pantai yang seminggu lalu terekam lautan manusia, kini hanya kami dan beberapa pengunjung di sekitar pantai yang mempunyai garis pantai yang panjang dan landai ini.
Kami menggelar tikar tepat di bawah pohon di tepi pantai, ini spot terbaik. Tempat ini memang menjadi pilihan jitu dengan waktu yang jitu bagi kami yang ingin menyepi. Disini hanya kami yang meramaikan tempat ini, yeah memang terlihat beberapa keluarga kecil bermain air di pojok sebelah sana, namun suara kami mengalahkan ocehan anak kecil itu bahkan deburan ombak terlahap oleh teriakan kami yang sedang beradu. Hah, beradu?
Yups.. tim acara tidak mati gaya untuk membuat acara-acara yang bikin urat-urat leher hampir keluar saling meneriakkan kelompok masing-masing. Tim acara membentuk beberapa kelompok dan membuat permainan-permainan seru. Salah satunya, pertandingan sepak bola pantai antara perempuan tapi semuanya kudu pake sarung diikatkan di dada. Ini permainan seru, apalagi gaya permainan cewek-cewek bermain bola, kemana bola menggelinding, seluruh peserta berlari merebut bola rame-rame. Gelak tawa pecah dan teriakan beradu tatkala bola sampai dikuasai pihak lawan. Permainan bola para laki-laki tampaknya lebih ahli. Gerak geriknya lebih luwes ketimbang cewek-cewek yang sambil menendang bola sembari teriak histeris. Mereka memang sudah terbiasa main futsal.
Acara bebas tentu ada juga. Pihak pengelola menyediakan wahana banana boat bagi yang berminat menerima tantangan yang memacu adrenalin. Banana boat itu ditarik oleh speedboat sampai ke pulau kecil di suatu sudut yang terlihat dari pantai ini dan sebelum tiba di daratan itu, banana boat itu akan digulingkan dan penumpang akan terjungkal ke air dan siap-siap berenang. Tapi tenang saja, tidak akan tenggelam bagi yang tidak bisa berenang karena pelampung siap menyelamatkan nyawa dengan mengapungkan tubuh kita.
Tapi saat itu saya kurang tertarik dengan wahana itu. Ombak yang berderu sejak pagi tadi lebih kuat menarik saya dan bermain bersamanya. Pantai saat ini memang kurang baik, agak keruh. Hujan yang baru berhenti subuh tadi sangat perperan penting dalam mengeruhkan pantai ini. sudah ombaknya tinggi dengan angin yang tidak bisa dibilang sepoi, airnya juga terlihat keruh. Langit memang sedang tidak secerah minggu lalu, tapi saya masih bisa bersyukur, hari ini hujan tidak kembali datang. Pantai yang agak keruh karena angin yang mengayun ombak menghempas pantai tidak menyurutkan kami bermain-main diayun ombak.
Ombak kencang itu tidak menggetarkan ketakutan kami, malah kami lebih menikmati ombak yang datang dengan tinggi nya. Kami dengan papan selancar ditubuh menanti ombak tinggi untuk menghempaskan tubuh kami ke tepi pantai. Berulang dan kami tergelak. Pasirnya bersih, pandangan luas, seluas mata memandang, bahkan tak terbentur oleh tubuh manusia. Ini memang pilihan yang tepat dan waktu yang tepat.
Dimana pun, bila bermain di air pasti bawaannya lapar. Begitupun kami, makan siang seadanya dilahap tanpa celetukan dari setiap mulut yang kelaparan. Makan siang ini terasa nikmat diiringi deburan ombak yang masih kasar menyentuh pasir pantai, kami menikmati setiap rasa yang terhidang, makanan itu tampak sederhana namun nikmat dilidah. Nyam..nyam.. air laut itu sukses merampas energi kami untuk sesaat dan kelaparan yang melanda membuat kami melahap apa saja yang sudah disediakan panitia.
Sore hari, menjelang pulang hujan rintik-rintik kembali pelan-pelan datang. Dengan sigap, kami membereskan semua barang yang terserak dan berlarian ke bus sebelum hujan benar-benar menguasai bumi. Rasa lebih namun bahagia ringan kami rasakan, penat yang terkukung sebelum melihat pantai, kini terlepas dan terbawa angin ke tengah laut. Saya ucapkan selamat tinggal pada penat dan selamat datang jiwa yang baru dengan pikiran segar dan semangat yang bergelora.
Bertepatan dengan menyambut bulan puasa tahun 2013 ini, saya bersama teman-teman yang senasib sepenanggungan menjadi perantau sejati (tidak pulang ke kampung halaman) memutuskan untuk meregangkan otot-otot saraf yang mengencang sepanjang minggu-minggu terakhir kesibukan kerja menjelang bulan puasa. Setelah perdebatan sengit, akhirnya kami memutuskan untuk menjelajah ke pesisir pantai di seputaran Banten.
Tentu sudah tidak menjadi kabar baru bagi para pemburu alam bahwa Banten menawarkan pantai-pantai yang masih bersih dan masih menjadi pilihan terbaik saat ini karena lokasinya yang cukup dekat dengan ibukota kita tercinta ini tempat dimana kami dan segerombol orang bermukim. Trus nanti ngapain aja disana??
Akhirnya, terpilihnya lima orang menjadi tim kecil yang mengurusi segala titik bengek persiapan sebelum meluncur ke TKP. Tim kecil ini sebut saja tim volunteer yang siap mengemban tugas dan merelakan waktu dan tenaga demi kesuksesan acara bermain ini. Kami mulai browsing mencari informasi selengkap-lengkapnya mengenai pantai Banten. Pantai mana yang akan kami tuju, berapa lama perjalanan, bagaimana dengan konsumsi, transportasi. Yeaahh.. bagaimana layaknya panitia, itulah yang sedang kami lakoni.
Kami ingin memberikan yang terbaik dan membuat acara yang murah meriah dan bahagia. Pertemuan tim pun kami adakan demi mematangkan rencana dan menimbang-nimbang alternatif terbaik seperti apa yang akan kami suguhkan kepada teman-teman tercinta ini.
Untuk transportasi tidak sulit mendapatkan bus yang sesuai dengan budget kami. Yeahh berhubung saat itu bulan puasa bagi umat muslim, mungkin tidak banyak orang yang berwisata ke pantai. Buktinya banyak bus yang kami telpon sangat bersedia untuk mengantarkan kami ke tempat wisata itu. Nah, tentu harga harus getol untuk menawarnya karena mereka kerap berkelit karena puasa maka tips untuk driver lebih mahal. Jurus negosiasi harga terpaksa dikeluarkan bila situasi tak mendukung seperti itu.
Dengan perhitungan detail akhirnya untuk konsumsi, kami memutuskan untuk memasak sendiri lauk pauk, tinggal nasi yang akan kami beli di sekitar Banten. Rano dan beberapa teman siap membantu untuk memasak bekal kami nanti. Tentu ini sangat meringankan biaya perjalanan. Kabarnya jalan menuju sekitaran pantai Banten sudah bagus, jadi perjalanan tidak akan terlalu lama seperti yang dulu-dulu yang katanya bisa sampai enam jam perjalanan. Namun kabar ini pun masih diragukan beberapa pihak teman yang akhirnya kami memutuskan mengutus beberapa untuk melakukan survey seminggu sebelumnya.
Tujuan kami survey selain untuk melihat jalanan dan berapa lama sebenarnya jarak tempuh Jakarta Banten saat ini, kami ingin menentukan pantai mana yang sesuai dengan keinginan kami dan cocok untuk tempat kami bermain nantinya. Selain itu, kami mencari dimana tempat untuk memesan nasi, yeah..cukup nasi saja.. hehee..
Dan entah kenapa, penentuan siapa yang akan berangkat survey saja ternyata sangat runyam sodara-sodara. Semua ingin ikut survey, ternyata kebanyakan tidak sabar untuk menyapa nyiur melambai di pesisir Banten itu. Setelah berebut siapa yang akan berangkat, ternyata pada kenyataannya yang akhirnya bisa berangkat hanya bertiga.. krik..krik.. telpon si ana si anu susah dihubungi, masih pada molor di kosan masing-masing. Alhasil kami berangkat saja tanpa ada satu orang pun diantara kami bertiga yang tahu jalan.. haha, sangat gambling tapi kami pasrah saja deh.
Petunjuk jalan menuju Banten ditambah berbekal hasil browsing dari internet, ternyata tidak susah untuk mencapai pantai. Jalanan ternyata sudah bagus dan mulus, walaupun masih ada beberapa sisi jalan yang mengalami perbaikan. Katanya sore hari masih diberlakukan sistem buka tutup. Kayak jalan ke puncak saja ya. Perjalanan kami mencapai Banten ternyata cukup sekitar tiga jam.
Banten, yeah kami sudah berada di daerah Banten, aroma pantai sudah tercium setelah melewati Krakatau steel. Setelah makan di pinggiran jalan, kami mulai memilih pantai mana yang akan kami masuki. Pantai pertama tentu pantai yang terdekat yang kami dapati. Namanya pantai pasir putih, kami masuk dan ternyata dipungut biaya 70 ribu rupiah karena bawa mobil. Agak tercekat mendengar harga yang harus dibayar, mahal bo..
Pantai ini sangat tidak terurus menurut penilaianku. Ada beberapa saung kecil dan tentu lengkap dengan penunggunya yang menawarkan tikar bertarif. Pantainya sangat luas namun agak kotor. Mungkin karena banyak pengunjung yang kurang menjaga kebersihan. Entah kenapa dibilang pantai pasir putih, yang terlihat pasirnya cenderung kehitaman. Kami Cuma sebentar disini, pantai ini tidak masuk kualifikasi kami.
Setelah menyusuri jalanan dipinggir pantai ternyata kebanyakan pantainya memang mereka namai pantai pasir putih. Agak membingungkan memang, tapi begitulah. Kami akhirnya berhenti di Karang Bolong. Kenapa karang bolong, ternyata pantai ini tidak begitu landai dan sebagian pantainya berkarang sehingga kurang cocok untuk berenang,tapi tidak berarti pantai ini tidak bisa digunakan untuk berenang. Di Banten, pantai mana sih yang sepi peminat? Hehe.. Sepanjang pantai yang kami lewati, semua penuh dengan hamparan manusia yang membanjiri laut. Selain itu ada batuan besar yang membentuk karang dan di tengahnya bolong dan memperlihatkan pantainya yang eksotik. Tepat di depan karang yang bolong itu berdiri satu saung yang agak tinggi, sehingga pengunjung juga bisa menikmati sentuhan angin laut yang lembut dari saung ini.
Dipikir-pikir, Karang Bolong lumayan asyik dan lebih bagus dari pantai sebelumnya. Namun kami masih belum puas, kami masih mau mencari, lagi pula masih ada waktu sebelum mentari semakin kesudut barat. Mobil melaju, kami masih bersemangat, yuhuu…
Beberapa gerbang menuju pantai yang entah apa namanya kami lewati, dan kami berhenti di pantai yang namanya jelas-jelas dibilang pantai pasir putih Carita. Banyak bus yang berbaris di parkiran. Hmm.. tampaknya peminat di pantai ini lebih banyak, kami mencari parkir yang nyaman diluar kawasan pantai. Kami masuk ke dalam jalan kaki, saya melongok ke tukang tiket, tapi tak ada orang. Orang-orang juga lalu lalang begitu bebasnya, maka dengan inisiatif tinggi kami masuk saja melewati palang yang melintang di depan kami.
Saya agak terkejut melihat begitu ramainya orang membanjiri pantai ini, ini jauh lebih ramai dari pantai-pantai yang kami lihat sebelumnya, bahkan melebihi kapasitas bus-bus yang berderet diparkiran itu. Ramai banget dan pantai ini sangat luas, aneka wahana seperti berenang dengan ban, banana boat juga ada beberapa disini. Ahaa.. ini sepertinya sesuai dengan kualifikasi kami. Kami mencari warung yang bisa menyediakan nasi untuk kami nantinya.
Setelah semuanya beres, sebelum beranjak pergi meninggalkan Banten, kami menikmati sore sambil menyantap makanan seafood yang lezat di tepi jalan. Sambil memandangi jalanan yang macet karena efek sistem buka tutup yang diberlakukan sore itu, jalanan benar-benar tak bergerak di satu sisinya. Sedangkan sisi lainnya lancar tanpa rintangan. Malam semakin temaram ketika kami tiba kembali di Jakarta dan saya sudah tak sabar menyentuh kasur setelah seharian berkeliaran hari ini.
Tidak jauh dari Jakarta menjadikan Kepulauan Seribu menjadi pilihan destinasi bagi para penikmat alam. Pulau Harapan merupakan salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Dari ratusan pulau-pulau yang bertebaran di Kepulauan Seribu, Pulau Harapan menjadi salah satu tujuan favorit para wisatawan. Selain waktu tempuh yang masih relatif dekat dan cara menjangkaunya juga tidak sulit, Pulau Harapan menawarkan keindahan yang tidak kalah saing dengan pulau-pulau di daerah lain.
Perjalanan kami berawal dari Muara Angke. Dermaga nelayan yang juga menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal penumpang menuju pulau-pulau di Kepulauan Seribu seperti Pulau Harapan, Pulau Tidung dan Pulau Pari. Sabtu pagi-pagi sekali saya harus sudah berangkat dan berusaha sebelum pukul 07.00 pagi tepat tiba di dermaga. Kalau telat sampai di dermaga muara angke jangan harap bisa menunggu kapal berikutnya.
Pagi itu saya bangun kesiangan, entah kenapa alarm yang sengaja saya pasang tak berbunyi. Karena hari terasa begitu cepat siang dan terang benderang, saya memutuskan untuk naik ojek menuju Muara Angke. Saya masih membayangkan kemacetan yang luar biasa setelah mendekat Muara Angke waktu saya dan teman-teman ke Pulau Tidung di Tahun sebelumnya. Saya tidak mau gara-gara ketinggalan kapal saya tidak bisa bersantai di tepi pantai sore ini.
Inilah saatnya saya berlari bersama sang mentari pagi yang semakin menunjukkan taringnya. Setelah tawar menawar harga, saya sepakat dengan bapak ojek membayar dua puluh ribu Rupiah sampai di depan pom bensin di pinggir dermaga Muara Angke. Saya tidak lupa pesankan pada bapak ojek untuk ngebut sekencangnya karena kapal akan segera berangkat. Bapak ojek sangat mengerti kepanikan saya sampai ojek melaju sangat kencang, saya sempat agak deg-deg an karena saking kencangnya, ojek yang saya tumpangi hampir menyerempet sepeda motor lain yang tiba-tiba melaju dari arah berseberangan. Bapak ojek sempat memaki tapi tetap fokus dan menyelip di antara mobil-mobil yang berhenti karena macet total.
Teman saya sampai menelpon beberapa kali karena kapal sudah mau berangkat. Mereka ternyata sudah berada di kapal dan tinggal saya dan Tommy yang masih belum naik. Kepanikan semakin menjadi ketika mendekati dermaga, jalanan sangat macet luar biasa. Untung bapak ojek tahu jalan kecil untuk mencapai pom bensin. Memasuki jalanan kecil yang becek dan bau amis saya mengangkat kaki agar tidak terciprat air jalanan yang becek.
Setelah membayar ongkos ojek, kami sedikit berlari menuju dermaga, jalan menuju dermaga persis disamping pom bensin ada terowongan dan kami masuk ke dalam dan terlihat begitu banyak kapal bersandar. Pun begitu, ternyata orang yang lalu lalang ternyata jauh lebih banyak. Saking banyaknya kami sempat bingung menemukan rombongan yang diperparah karena kami belum kenal teman-teman satu rombongan. Saya mulai memperhatikan tampang orang-orang yang hilir mudik. Tampang mereka kebanyakan memang seperti ingin menyeberang ke pulau, tapi rombongan saya manaa??
Kepanikan semakin memuncak, manusia tumpah ruah. Sebagian sudah mengantri untuk menaiki kapal menuju pulau masing-masing. Para wisatawan berebutan dengan penumpang domestik yang memang tempat tinggalnya di Kepulaun Seribu. Sang mentari pagi ini memang agak menggigit, sebenarnya kawasan dermaga ini kurang kondusif untuk menampung ribuan wisatawan yang ingin menggapai nikmatnya angin sepoi dan deburan ombak di pesisir pantai di gugusan pulau di Kepulauan Seribu.
Kapal penumpang berjejer berdampingan dengan kapal nelayan. Padatnya aktivitas dermaga yang tidak dibarengi dengan pemeliharaan kebersihan dan kenyamanan menyebabkan dermaga ini tampak kotor dan kumuh. Airnya yang keruh kecoklatan lengkap dengan bau amis terbawa angin semilir. Pun begitu, orang-orang terus berdatangan. Ternyata, Kepulauan Seribu telah menunjukkan pamornya di mata para penikmat alam yang haus akan alam-alam yang eksotis.
Saya bolak balik menelpon teman, katanya mereka sudah menaiki kapal dan kapalnya sudah mau berangkat. Saya mulai memperhatikan kapal yang mana yang mereka naiki. Kami harus berteriak-teriak di telpon karena suara kami memang lenyap di telan suara ratusan orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
Akhirnya saya melihat lambaian tangan. Berdasarkan cirri-ciri yang dia sebutkan, yeah.. mungkin itu memang orang yang saya cari. Saya mulai mengantri dibelakang ibu-ibu yang membawa anaknya dan melompat dari satu kapal ke kapal yang lain untuk mencapai kapal yang kami tuju. Saya dan Tommy akhirnya tiba di kapal yang akan membawa kami ke Pulau Harapan dengan terengah-engah dan masih bersyukur tidak ditinggal. Kapal ini sudah dipenuhi puluhan orang yang sibuk mencari posisi yang paling nyaman. Berhubung perjalanan ini adalah perjalanan serba ekonomis, maka kapal yang kami naiki juga super ekonomis, semua penumpang bebas duduk dimana saja asal tidak menghalangi nakhoda dan awak kapal selama menjalankan tugasnya.
Saya sadar kalau saya memang telat, dan itu impas dengan mendapatkan tempat di pinggir kapal dan menahan teriknya matahari pagi itu. Karena kapal bertumpuk, maka kapal kami sulit untuk keluar dari tumpukan kapal-kapal lain. Penumpang bergencetan duduk dimana saja, ada yang berdiri termasuk kami yang duduk di pinggir kapal disamping pintu tempat singgasana sang nakhoda.
Waktu berlalu, kapal semakin menjauh dari tepian dermaga, hiruk pikuk para penumpang yang masih berusaha menggapai kapal masing-masing masih terdengar samar. Matahari tepat mengarah ke tempat kami bersandar. Sinarnya persis menampar wajah saya sampai saya harus memicingkan mata dan menarik kain pantai dari ransel untuk menutupi muka saya.
Perjalanan ini akan berlangsung selama kurang lebih tiga jam, dan saya tidak rela kulit saya gosong duluan sebelum mencapai bibir pantai Pulau Harapan. Berusaha membaluti tubuh dengan kain pantai, menimbulkan penyesalan kenapa ga bawa topi atau jaket.
Ngantuk tertahan diantara menangkis teriknya matahari dan kapal yang bergoyang diayun ombak laut yang lumayan besar. Tidur tak nyenyak namun sangat mengantuk membuat kepala saya pusing dan ingin mengakhiri semua ini. Tapi ini dimanaa?? Ini di tengah laauuutt.. hhuuhhh.. pilihan terakhir hanya bisa bertahan dan berharap semua ini cepat berlalu.
Untuk menghibur diri, saya pandangi penumpang lain yang meringkuk disela lututnya, yang lain pasrah dan berpura-pura menikmati matahari garang itu. Yang lainnya memaksakan diri masuk ke dalam yang tentu juga tetap panas plus sesak karena rame banget. Yang lain lagi, sama seperti saya, berusaha menarik apa saja yang bisa menjadi pelindungnya dari panas matahari yang semakin mendidih.
Cuaca hari itu memang sangat bagus, tidak ada rintangan berarti selama perjalanan itu. Disela-sela ngantuk saya, saya menguping pembicaraan penumpang dengan salah seorang yang lain yang menurut saya sangat mengenal Kepulauan Seribu ( mungkin dia awak kapal atau mungkin tour guide-nya, ah entahlah). Saya juga ikut manggut-manggut saat sang wisatawan itu manggut-manggut tanda paham.
Setelah dipanggang hampir tiga jam, pulau-pulau mulai kelihatan. Saya dan Tommy mulai tebak-tebakan, di pulau yang mana kapal kami akan bersandar.. Yeaahh.. lewat, bukan pulau inii.. tebakan saya salah, ternyata kapalnya terus melengos melewati pulau yang sudah menyambut. Ternyata pulaunya masih berada dikejauhan.. hm..hmm.. hm
Sepertinya kapal mengarah ke Pulau yang terlihat besar diantara pulau-pulau kecil disekitarnya. Dan terang saja, kapal kami semakin mengarah ke Pulau itu. Yesss, saya berteriak dalam hati, ternyata penantian panjang ditambah perlawanan terhadap tambaran matahari terbayar, laut biru gradasi biru muda mulai mengeluarkan pesonanya. Jelas ini sangat berbeda dengan pemandangan di dermaga Muara Angke yang sudah tiga jam yang lalu kami tinggalkan. Awal kapal melempar jangkar dan menikatkan tali di tepian dermaga Pulau Seribu. Dan Hup..hup.. penumpang melompat satu persatu ke dermaga.
Tulisan selamat datang di Pulau Harapan menyambut kami, leher, lengan dan pinggang aku putar-putar untuk membuatnya kembali ke posisi semula. Meringkuk selama tiga jam di cuaca yang mendidih seperti tadi cukup membuat tulang-tulang saya remuk dan meretak ketika di putar-putar. Setelah bergabung kembali dengan rombongan, bersama kami jalan-kaki menuju homestay. Homestay kami tepat dipinggir pantai Pulau Harapan, dekat dengan dermaga. Tentunya ini menjadi posisi yang sangat strategis untuk memandang dan menikmati laut tanpa batas.
Kakiku sudah sangat ingin melangkah. Hatiku sudah sangat ingin menyentuh hal baru. Mataku sudah merindukan kesejukan alam. Sudah lama rasanya aku tak merasakan angin dingin menusuk tulangku, dedaunan menyentuh kalbuku. Aku sangat merindukan alam yang tenang. Sudah lama aku berkutat dengan laporan-laporan kantor yang semakin menumpuk. Aku butuh bernafas. Alam adalah nafasku.
Kuputuskan untuk beralih sejenak dari kepenatan ini. Aku mulai menggerak-gerakkan mouse komputer di depanku dan mencari informasi wisata yang menarik. Aku terpaku pada suatu open trip ke Suku Baduy yang diadakan oleh suatu komunitas backpacker. Peminatnya cukup banyak, ada dua rombongan yang mengadakan trip ke Baduy di komunitas ini untuk tanggal yang sama. Setelah melihat jadwal aku segera mendaftarkan diri untuk bergabung dengan salah satu rombongan trip tersebut.
Aku agak heran kenapa begitu banyak orang yang tertarik untuk mengunjungi suku Baduy di pedalaman Banten ini. Ini bukan trip untuk bersenang-senang dengan keindahan pantai menakjubkan atau pendakian gunung dengan iming-iming keindahan tak terkira setelah pencapaian puncak gunung. Ini sebuah perjalanan ke pedalaman hutan yang tak jauh dari Jakarta.
Ini adalah suatu perjalanan yang berbeda bagiku. Selama ini perjalanan yang sering aku lakukan adalah mendaki puncak-puncak gunung nan tinggi atau menjejali pulau-pulau nan elok. Kali ini suatu perjalanan penuh makna menyentuh hati akan suatu pendirian dan kecintaan akan budaya dan tradisi. Memasuki pedalaman Baduy bagai memasuki alam lain dengan sentuhan keramahan penduduk dan kelembutan alamnya.
Perjalanan ini adalah perjalanan dengan dana seadanya. Tak akan ada kursi empuk, tak akan ada AC sejuk untuk menepis panasnya sengatan matahari siang. Perjalanan ini diawali dengan transportasi kelas ekonomi dan sarapan murah di pinggir jalan di depan stasiun.
Aku melangkah dengan semangat menembus pagi yang muram menuju Stasiun Tanah Abang tempat kami berkumpul. Selama perjalanan ke Stasiun Tanah Abang, aku sangat penasaran dan tidak sabar bertemu dengan orang-orang baru yang akan menjadi teman baruku selama semalam menginap di atap bumi Baduy. Hal ini juga baru pertama kali kulakukan, melakukan perjalanan dengan orang asing. Aku tidak tahu pasti semangat yang menggelora di dada ini datangnya darimana. Yang aku tahu pasti aku merasakan jiwaku begitu antusias menangkup alam. Sudah terbayang dibenakku alam dengan rimbunnya pepohonan dan orang-orang Baduy seperti yang aku lihat di foto-foto perjalanan para blogger.
Aku menyempatkan diri menyantap sarapan pagi di pinggir Stasiun Tanah Abang. Sarapan ini akan menjadi energi bagiku sampai siang ketika tiba di Ciboleger. Cukup murah untuk sarapan yang memuaskan itu. Aku beranjak dan berlari kecil memasuki stasiun ketika melirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07.30. Tentu saja aku takut ketinggalan kereta. Sungguh tidak lucu rasanya ketinggalan kereta padahal sudah berada di stasiun, bukan?
Aku lurus memandang ke sekeliling ruang tunggu itu, sepagi ini terlalu banyak orang yang lalu lalang di ruangan itu sehingga mengaburkan pandanganku ke arah teman-teman baruku. Aku melewati satu gerombolan orang yang aku tebak bukan bagian dari gerombolanku. Aku mencari satu sosok orang yang menjadi tim leader di rombongan kami. Dua hari sebelum berangkat kami sempat mengadakan pertemuan sembari saling berkenalan satu sama lain di Angkringan Pancoran. Fafa sebagai penggagas trip ini yang menyarankan pertemuan itu. Tidak semua yang datang sehingga memudahkan aku memingat beberapa orang. Kucari sosok wajah itu dan akhirnya kutemukan mereka berada di pojok ruang tunggu di stasiun ini, duduk berkeliling dan membekap tas ransel masing-masing.
Sudah hampir semua datang, wajah-wajah mereka masih asing bagiku. Fafa yang sudah siap dengan kertas ditangannya mengecek kehadiran para peserta. Kami masih duduk membentuk lingkaran dan secara spontan saling berkenalan. Sungguh wajar harus berkenalan dengan teman yang akan satu atap denganku malam ini. Perkenalan ini membuka keluarga baru bagiku, setelah perkenalan itu tentu mereka bukan menjadi orang asing lagi. Tidak begitu sulit untuk menjadikan pembicaraan kami hangat. Semua sangat cepat berbaur. Tentu ini awal yang sangat menyenangkan.
Pukul 07.50 kami mengantri memasuki gerbong kereta ekonomi seharga dua ribu rupiah ini menuju Rangkas Bitung. Orang berjejal memasuki pintu gerbong dan berebut kursi yang terbatas. Asap rokok dan sampah makanan bertebaran sepanjang gerbong. Kami berusaha mendapatkan tempat duduk untuk sekedar menghemat energi untuk perjalanan yang masih panjang.
Aku bersyukur masih mendapat tempat duduk disamping seorang ibu dengan anak kecil yang mendekap ibunya dengan erat. Di depanku beberapa bapak-bapak dengan asap rokoknya yang mengepul. Aduuhh.. kenapa si bapak begitu cuek dengan asap rokoknya tanpa memedulikan sekitar gerbong yang semakin pengap dan panas, ditambah lagi bau asap rokok yang membuat mual dan bau-bau lain yang sulit aku deskripsikan. Ini sangat menyesakkan, aku berusaha menutup hidung dengan tisu namun bau itu masih menembus tisu yang kupegang. Seorang temanku sangat kreatif. Dia membeli satu buah jeruk dari penjual yang sangat sibuk lalu lalang menjajakan dagangannya sepanjang lorong kereta ini. Jeruk yang dibeli bukan dimakan karena rasanya juga sudah tak terdeskripsikan. Dia mengajariku untuk mencium kulit jeruk itu sepanjang perjalanan untuk menghilangkan bau yang terhirup. Tentu saja itu lumayan mujarab, aku mencium bau aroma jeruk dari kulitnya. Sangat membantu, pikirku.
Aku berusaha untuk menyandarkan punggungku ke sandaran tempat duduk kereta yang keras dan sebenarnya jauh dari kata nyaman tapi tetap tidak bisa. Hiruk pikuk para pedagang itu sangat memekakkan telinga dan bapak disampingku terus berbicara padaku. Dari dia bertanya kami mau kemana sampai bagaimana dia setiap harinya menggunakan kereta ini selama beraktifitas, dimana dia tinggal, mengenai sanak saudara dan kampung halamannya. Dia begitu bangga menceritakan semua itu.
Hampir tiga jam, kami tiba di stasiun Rangkas Bitung. Sebelum kami turun Fafa sudah dari tadi memperingatkan untuk mengambil barang-barang jangan sampai ada yang tertinggal dan membangunkan beberapa teman yang masih terlelap. Huuaahh.. akhirnya menghirup udara segar juga, teriakku ketika tepat menginjakkan kaki keluar gerbong sesak itu. Weeww.. sejenak aku terkesan dan masih memandangi kereta itu yang kemudian kembali mengangkut penumpang.
Penumpangnya sangat beragam. Kebanyakan warga lokal dengan barang bawaan yang super besar.Mungkin barang dagangan atau barang belanjaan. Sepintas aku teringat ketika aku masih kecil dulu, waktu pertama kali naik kereta api dari Pematang Siantar ke Medan. Hari itu hari yang tak terlupakan bagiku dan sangat berkesan. Ayah sengaja mengajak kami pulang ke Medan menggunakan kereta saat itu. Beliau mau memberikan kejutan padaku dan mungkin beliau juga mau melihat senyum lebarku ketika takjub melihat ular besi itu melaju kencang. Walaupun ekonomi, sudah cukup membuatku bahagia tidak kepalang saat itu. Banyak penjaja makanan di sekitar gerbong, persis seperti ini ditambah dengan bau-bau aroma yang bercampur aduk tidak jelas. Sepanjang jalan aku tidak mau tidur untuk melewatkan momen selama perjalanan itu. Aku berdiri diatas tempat duduk dan memandangi deretan rumah kumuh yang kami lewati. Disini juga seperti itu, deretan rumah kumuh juga menjadi pemandangan pilu sepanjang perjalanan ini. Apakah rel kereta identik berdampingan dengan rumah kumuh? Pertanyaan itu sempat menggelayut dalam benakku.
Perjalanan kami tidak berhenti sampai di Stasiun Rangkas Bitung. Setelah mengantri ke toilet untuk melaksanakan ‘panggilan alam’, kami segera bergegas untuk menuju Ciboleger menggunakan mobil elf yang sudah di booking oleh Fafa. Ciboleger adalah sebuah desa di Banten yang menjadi salah satu gerbang memasuki bumi Suku Baduy. Karena kami lumayan ramai maka dua mobil cukup untuk kami untuk meregangkan kaki yang dari tadi tertekuk di kereta yang padat tanpa space sedikitpun. Sampai-sampai kakipun sulit dan bingung diletakkan dimana.. hahaa..
Mobil elf melaju dengan kencang. Mungkin lebih kencang dari bus kopaja atau metromini yang lalu lalang di Jakarta. yeah.. tentu saja, mobil elf ini melaju tanpa rintangan yang berarti di depannya. Jalanan yang mulus melintang tanpa ujung. Sesekali mobil seperti terjungkal melewati jalanan yang berlubang. Aku dan seorang teman memilih untuk duduk disamping abang sopir.
Kumiringkan kepalaku dan melirik ke abang supir yang serius menatap ke depan. Perawakan tinggi dengan kulit hitam legam yang terkena sengatan matahari setiap hari. Ketika berhenti di pom bensin, dia berbicara dengan temannya dengan bahasa Sunda Kasar. Pandangannya yang tajam dan sangar agak menyeramkan bagiku sehingga aku enggan berbicara padanya. Namun diperjalanan dia yang mulai membuka pembicaraan. Ternyata orangnya ramah, benakku berbicara. Yeah.. tidak pantas menilai seseorang dari tampilan luar fisik saja kan.
Tugu selamat datang sudah menyambut kami di Desa Ciboleger. Satu persatu turun dari elf. Lengan dan wajah kami langsung ditampar oleh sengatan matahari yang sudah tepat berada diatas kepala kami. Kami bergegas ke warung yang berada di salah satu pojok. Kami beristirahat sejenak disini sebelum melanjutkan perjalanan. Kali ini bukan naik kereta atau naik mobil elf lagi. Kami akan berjalan menyusuri bukit-bukit, melewati desa-desa untuk menuju Desa Cikeusik. Salah satu desa tempat bermukimnya Suku Baduy Dalam.
Makan siang di warung ini menjadi menu kuliner sederhana tapi enak dan mengenyangkan. Entah bagaimana si ibu warung mengulek sambelnya menjadi begitu segar dan enak. Sambelnya berikut sayur dan lauk sudah habis kami serbu. Mungkin ibu warung akan cepat menutup warungnya hari ini, target penjualannya tercapai, kata temanku sok tahu.
Pukul setengah dua siang kami berangkat untuk memulai perjalanan yang pasti akan menguras tenaga itu. Karena perjalanan kurang lebih lima jam naik turun bukit maka kami membawa masing-masing dua botol air mineral masing-masing ukuran 1,5 liter. Air mineral kemudian bergabung dengan pakaian ganti dan bahan makanan di dalam ransel. Berat tentu saja, tapi itu tak kami rasakan ditengah gelak tawa dan semangat menggelora.
Setelah memasuki gerbang masuk bumi Baduy, kami melewati beberapa desa yang dimukim oleh warga Baduy Luar. Sapri, seorang Baduy Dalam yang akan menemani kami sepanjang perjalanan ini dan sekaligus penunjuk jalan bagi kami. Bertubuh kecil agak pendek dibalut kulit putih bersih dengan mata cokelatnya yang lembut dan segar menyambut kami. Dia tersenyum seakan mengatakan selamat datang di tanah kelahirannya.
Dia masih sangat muda, baru 16 tahun usianya. Namun dia sudah terbiasa dengan perjalanan sejauh ini hampir setiap hari. Dia mengenakan pakaian putih dan bawahan putih dengan ikat kepala putih tersemat disekeliling kepalanya. Dia tidak memakai alas kaki dan tas kecil yang entah apa isinya.
Sapri cepat sekali bergaul dengan kami. Dia begitu ramah dan dengan lugas menceritakan berbagai hal mengenai kampungnya ini. Dia begitu semangat ketika dia menceritakan penjelajahannya ke seantero Jakarta. Dan yang lebih mengejutkan lagi mereka mengelilingi Jakarta dengan berjalan kaki. Aku sempat terhenyak dan tak percaya, bagaimana mungkin perjalanan dari Baduy Dalam ke Jakarta dan tanpa alas kaki. Sudah kubayangkan perjalanan yang begitu panjang dan sentuhan telapak kaki di aspal jalan yang membara, bisa jadi telapak kaki melepuh. Aku berdecak kagum pada mereka. Mereka sangat luar biasa.
Sapri juga menceritakan mengenai keluarganya dan mengundang kami untuk singgah ke rumahnya nanti. Dia ingin mengenalkan kami dengan ayah ibunya, katanya. Sapri juga bisa menjadi porter dadakan untuk membawakan tas-tas pengunjung yang sudah kelelahan. Dan salutnya lagi, ketika peluh keringat kami berjatuhan dan air mineral sudah hampir habis, Sapri masih begitu segar tanpa keringat yang berarti dan tanpa minum air sebanyak yang kami minum. Dia masih sangat santai ketika kami meminta untuk berhenti sejenak menarik nafas dan menjemput energi yang hilang. Dia hanya tersenyum menatap kami. Kami mungkin malu melihat ini, kami yang sudah lunglai tanpa beban ransel di pundak, sedangkan dia masih begitu segar dengan beberapa ransel tergantung dipundak dan dadanya. Wah..wah…wah, ini tidak boleh terjadi, pikirku. Kunaikkan ransel ke punggungku dan kuhapus peluh yang sedari tadi menetes membasahi sekujur tubuhku. Aku berdiri dan mengajaknya melanjutkan perjalanan.
“Kenapa mereka disebut Baduy Luar?,” Tanyaku pada seorang bapak yang duduk disampingku ketika kami beristirahat di depan rumah seorang warga Baduy. Rumah itu masih berada di wilayah desa Baduy Luar. Rumahnya terbuat dari bambu, lantai dan dinding, segalanya dari bambu dan kayu. Rumahnya sederhana namun bersih dan nyaman. Atap rumahnya dari ijuk sehingga sangat teduh berada dibawahnya.
“Pada awalnya, semua Baduy adalah Baduy Dalam, mereka melanggar peraturan dan tradisi orang Baduy Dalam, sebagian memang ingin keluar dari Baduy Dalam”, cerita bapak itu. Katanya, Baduy Dalam tertutup terhadap perkembangan teknologi. Mereka sangat mempertahankan budaya leluhur sehingga tidak menerima perkembangan dari luar. Bahkan listrik dan pendidikan untuk anak-anak juga mereka tolak memasuki kampung mereka. Pemerintah pernah ke kampung membujuk mereka namun mereka tetap menolak.
Tradisi begitu mengikat mereka, namun tidak semua merasa terkekang. Hanya sebagian orang saja yang melanggar dan terpaksa keluar dari Baduy Dalam. Secara penampilan, perbedaan Baduy Luar dan Baduy Dalam sangat jelas terlihat. Baduy Dalam hanya mengenakan pakaian dengan warna putih atau hitam atau hitam putih, tidak ada warna lain. Dan mereka tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki sejauh apapun perjalanan itu. Yang lebih mencengangkan lagi, Baduy Dalam juga menolak untuk naik kendaraan ketika melakukan perjalanan. Maka bisa kita bayangkan bagaimana mereka melakukan perjalanan menggunakan kaki telanjang menyusuri jalanan beraspal dan mengarungi Kota Jakarta.
Oleh sebab itu pula tidak semua warga Baduy Dalam yang sanggup pergi ke Jakarta, mereka memilih untuk tetap tinggal disekitar kampung Baduy Dalam dan Baduy Luar. Terlebih lagi perempuan, tak satupun perempuan yang sanggup melakukan perjalanan ke Jakarta. Memilih menetap di kampung saja. Maka tak heran, hanya beberapa dari orang Baduy Dalam saja yang mengerti Bahasa Indonesia. Para perempuan tidak aku temukan yang mengerti Bahasa Indonesia.
Turis mancanegara tidak diperbolehkan menjamah wilayah Baduy Dalam. Itu sudah menjadi aturan baku dan semua warga tahu. Turis-turis luar itu hanya bisa mencapai desa-desa disekitar Baduy Luar. Dan di wilayah Baduy Dalam tidak boleh melakukan prosesi foto-foto. Jadi kami hanya berfoto ria sepanjang masih wilayah Baduy Luar.
Orang Baduy Luar sudah menerima perkembangan teknologi. Mereka menetap di beberapa desa di sekeliling desa Baduy Dalam. Pakaian mereka sudah banyak bercorak dan seperti pakaian masyarakat pada umumnya. Mereka juga sudah menggunakan alas kaki dan naik kendaraan. Mereka juga sudah menggenggam handphone. Mereka sudah seperti masyarakat pada umumnya tanpa tradisi yang mengekang. Walaupun terpisah karena tradisi, orang Baduy Dalam dan Baduy Luar masih berkerabat dan tetap menjalin hubungan baik antar kerabat. Mereka hidup berdampingan dengan harmonisasi perbedaan itu.
Perjalanan terus berlanjut, tidak hanya bukit dan desa yang kami lewati tapi juga beberapa sungai yang harus kami seberangi. Jembatannya dibuat dari kumpulan bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga kokoh menahan beban yang lewat menyeberangi sungai. Bambu-bambu itu diikat dengan sejenis ijuk dan kuperhatikan tidak ada paku yang tertancap disana. Satu persatu kami menyeberangi sungai ini. Tak ada keraguan bagi kami jikalau jembatan ini akan runtuh dan kami terperosok masuk ke sungai.
Selama perjalanan panjang itu, aku banyak berbincang dengan Sapri. Keingintahuanku begitu besar dan meledak-ledak. Teman yang bersamaku berjalan juga ikut nimbrung menimpali percakapan kami. Perjalanan yang santai dan penuh dengan cerita unik dan luarbiasa dari Baduy Dalam membuat semua ini semakin berkesan dan lelah tak kami hiraukan.
“Orang Baduy Dalam juga punya agama,” celetuk Sapri. “ Agama kami disebut Sunda Wiwitan dan nabinya Nabi Adam, ini adalah agama para leluhur” dia menjelaskan. Mungkin bagi mereka agama dan budaya itu masih satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka juga berpuasa sama seperti umat muslim, namun puasanya hanya sekali dalam sebulan dan berlangsung dalam tiga bulan berturut-turut. Setelah puasa itu, mereka juga merayakan hari raya yang disebut Kawaluk.
Ditengah jalan, kami perpapasan dengan serombongan orang yang memikul berkwintal beras dan yang lain menggotong ayam-ayam yang diikat rapi di kayu yang dijadikan penyangka dan diletakkan di bahu. Mereka berjalan lebih cepat dari kami, mungkin agar perjalanan tidak terlalu lama untuk menahan beban berat itu. Mereka mengarah ke jalan menuju Kampung Cikeusik. Kata Sapri, akan ada acara pernikahan di kampung. Mendengar itu, aku melonjak senang dan berharap bisa menyaksikan perhelatan besar itu.
Masih penasaran, aku menanyakan apa saja kegiatan selama pesta. Bagaimana pakaian pengantinnya. Pertanyaan bertubi-tubi itu tetap disambut Sapri dengan santai. “ Perayaan akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut, ada beberapa tradisi yang dilakukan. Perayaan dilakukan di lapangan kampung. Semua orang akan berkumpul dan sanak saudara diundang. Bagi para tamu yang berkunjung kesana juga boleh turut serta memeriahkan perhelatan itu. Kalau Pakaian sih, biasa saja tidak ada manik-manik atau asesoris lain yang menghiasi sang pengantin untuk terlihat lebih anggun, hanya saja pakaiannya lebih baru, kata Sapri yang membuat kami tergelak.
Hari semakin kelabu, malam semakin temaram. “Kita harus sudah sampai di kampung sebelum malam semakin gelap,” seru Sapri. Kami semakin mempercepat langkah karena kampung sudah dekat. Setelah melewati satu sungai lagi, kami sudah melihat rumah penduduk suku Baduy Dalam. Disini sangat gelap, tak ada lampu yang menerangi rumah, hanya lampu kecil yang dibuat dan bahan bakarnya minyak tanah berada disudut ruangan rumah itu.
Kami akan menginap di rumah Bapak Herman. Beliau sudah berkeluarga dan memiliki dua orang putra putri. Mereka masih terlihat sangat muda. Bapak Herman mengerti Bahasa Indonesia, namun sang istri dan anak-anak tidak. Kami jadi lebih banyak mengobrol dengan Bapak Herman. Beliau begitu ramah menyambut kami. Beliau dan istri begitu romantis memasak berdua untuk menjamu kami malam ini.
Walaupun diluar sana mereka tidak menggunakan alas kaki, rumah mereka sangat bersih dan nyaman. Setiap kali masuk rumah wajib cuci kaki yang sudah disediakan di depan rumah. Ada setumpuk bambu-bambu yang disenderkan didinding rumah dan isinya air bersih. Airnya bisa langsung diminum dan sangat segar. Kampung ini sangat terhindar dari polusi baik polusi udara, polusi air ataupun polusi lain. Kami tidak diperkenankan menggunakan berbagai sabun ketika membersihkan diri di sungai atau masih berada di sekitar kampung ini. Mereka sangat menjaga keaslian dan keasrian kampung ini, kampung dimana mereka hidup dan tumbuh. Kalau bukan mereka siapa lagi yang akan menjaga kampungnya dari segala ancaman polusi itu.
Aku tidak mau melewatkan malam ini hanya meringkuk dan tidur. Kami bercengkerama didepan rumah sambil menikmati rembulan malam. Kampung ini akan begitu sepi tanpa kehadiran kami. Anak-anak berlarian hanya sekitar jam tujuh malam. Mereka berlari kesana kemari tanpa penerangan dan tidak takut gelap. Mereka sudah terbiasa dengan malam gelap ini. langkah mereka pasti menyusuri sungai-sungai tanpa alas kaki selembar pun. Tanpa takut kaki mereka akan tergores benda tajam.
Bapak Herman juga menyempatkan diri untuk bercerita dan mengobrol dengan kami. Mereka kebanyakan sudah dijodohkan dari kecil. Mereka tidak menolak dan menjalankan semua tradisi itu sepenuh hati. Mereka sangat mencintai budaya dan tradisi mereka. Keramahan dan kelembutan mereka begitu nyata.
Malam ini begitu dingin namun tidak sedingin diluar rumah. Kami tidur berjejer di rumah sederhana ini. suara jangkrik diluar sana terdengar samar. Satu hal yang masih kuingat ketika kami ke sungai membersihkan diri, ada kunang-kunang berterbangan dipinggir sungai. Tubuhnya yang menghasilkan cahaya dimalam gelap bagai lampu berkelap kelip menghiasi malam senyap itu.
Aku bangun lebih pagi dan menyempatkan berkeliling sekitar kampung kecil ini. deretan rumah dengan cirri khas Baduy Dalam tersusun rapi membentuk lorong sebagai jalan. Banyak orang Baduy yang bersantai di depan rumahnya sambil menikmati pagi yang sejuk. Anak-anak bergerombol dan menatap kami yang lewat di depan rumah mereka. Anak-anak disini putih bersih dan cantik dan ganteng. Mereka pemalu dan berlari ketika kami mendekat.
Karena perjalanan yang jauh, sebelum siang kami sudah berbenah untuk kembali ke kota. Ikat kepala khas Baduy sudah terikat di setiap kepala kami. Bapak Herman juga akan ikut bersama kami dan menghantar kami sampai kami bertemu elf di perkampungan Baduy Luar.
“Kabari kalau mau ke Baduy lagi,” pesan Bapak Herman. Mereka dengan senang hati membuka rumahnya dan turun bukit untuk menyambut kami.